tanah airku

tanah airku tidak kulupakan.
kan kukenang selama hidupku...
biarpun aku pergi jauh...
tidak kan hilang dari kalbu...
tanah ku yang ku cintai...
tetap kusayangi....

Sabtu, 09 Januari 2010

Islam vs Orientalis

Islam VS Orientalis

A. Pendahuluan

Orientalis bagi sebagian kalangan memang sering dipersepsikan sebagai "momok" yang harus diwaspadai dan disingkirkan jauh-jauh. Lepas dari keberadaannya yang problematis, memang kadang orientalis melakukan kajian atau analisis dengan tujuan untuk mendiskreditkan (menyempitkan) dan menghegemoni dunia Islam. Namun di sisi lain, diakui ataupun tidak mereka telah memberikan kontribusi yang sangat berharga bagi peradaban Timur dengan memperkenalkan metodologi analisis yang obyektif dalam menyorot sebuah paradigma.
B. Pembahasan
1. Pengertian Orientalis
Banyak definisi orientalisme di kalangan para pakar dan ulama. Menurut Dr. Muthabaqani, pakar orientalisme dari Fakultas Dakwah Universitas Imam Muhammad Ibnu Sa’ud Madinah, istilah orientalisme mulai muncul sejak dua abad yang lalu [abad ke-18 M], meski aktivitas kajian bahasa dan sastra ketimuran (khususnya Islam) telah terjadi jauh sebelumnya.
Menurut Rudi Paret (orientalis Jerman, lahir 1901) orientalisme adalah “ilmu ketimuran (‘ilmu al-syarq) atau ilmu tentang dunia timur (‘ilmu al-‘alam al-syarqiy).” Sementara A.J. Arberry menggunakan Kamus Oxford untuk mendefinisikan orientalis, yaitu “orang yang mendalami berbagai bahasa dan sastra dunia timur.”
Definisi lain yang lebih ideologis dikutip juga oleh Muthabaqani dari pendapat Ahmad Abdul Hamid, dalam kitabnya Ru`yah Islamiyah li Al-Istisyraq (hal. 7). Menurut Ahmad Abdul Hamid, orientalisme adalah “studi-studi akademis yang dilakukan oleh orang-orang Barat yang kafir –khususnya Ahli Kitab— terhadap Islam dan kaum muslimin, dari berbagai aspeknya : aqidah, syariah, budaya (tsaqafah), peradaban (hadharah), sejarah, sistem-sistem kehidupanya (nuzhum), kekayaaan alam, dan potensi-potensinya…”
Yang menarik dari definisi orientalisme Muthabaqani di atas, beliau memasukkan karya intelektual muslim yang dipengaruhi oleh orientalis, sebagai kegiatan orientalisme. Karena itu, Fazlurahman boleh juga disebut seorang orientalis, karena dia mengadopsi pikiran Joseph Schahcht tentang sejarah hukum Islam. Harun Nasution, juga seorang orientalis, karena memandang sunnah (hadits) dengan cara pandang orientalis, seperti Schacht dan Ignaz Goldziher. Nurcholish Madjid (murid Fazlurahman) juga tiada lain seorang orientalis, karena banyak mengadopsi pikiran sekuler dari Harvey Cox dalam bukunya The Secular City (1967). Walhasil, Luthfi Asy-Syaukanie juga hakikatnya seorang orientalis, karena banyak mengadopsi ide kaum orientalis seperti Arthur Jeffrey, Theodore Noldeke, dan Joseph Schacht.
2. Sejarah Munculnya Orietalis
Singkatnya, sejarah orientalisme memiliki beberapa tahapan. Sebelum negara-negara dunia ketiga merdeka, orientalisme memiliki misi melanggengkan penjajahan atau imperialisme dunia Eropa, dan dalam waktu yang sama melakukan da'wah Nasrani. Di abad ke-19 sampai awal 20 banyak Islamolog yang memiliki latar belakang gereja. Duncan mac Donald, sebagai contoh, adalah ilmuan islamologi handal seluruh hidupnya didedikasikan sebagai pendeta kenamaan di Amerika.
Dari banyak pendapat , yang lebih mendekati kebenaran Muthabaqani mengutip pendapat Dr. Ali an-Namlah dalam kitabnya Al-Istisyraq wa Al-Adabiyat Al-‘Arabiyah hal. 31-33 yang berkata,”Bahwa semua peristiwa-peristiwa itu hanyalah tanda-tanda awal (irhashat) bagi orientalisme. Apa yang datang setelah itu dapat dianggap sebagai pendalaman ide tentang orientalisme, perluasan orientalisme, dan peningkatan perhatian terhadap orientalisme.” Jadi, titik awal yang sesungguhnya dari orientalisme adalah sejak abad ke-16 M, yakni suatu masa di mana Eropa tengah mengalami kebangkitan dengan aktivitas Reformasi Gereja, Renaissance, dan Humanisme. Sejak abad ke-16 itulah di Eropa mulai banyak karya cetak berbahasa Arab, juga mulai banyak lembaga-lembaga kajian yang mengeluarkan berbagai karya berupa buku. Pada tahun 1632 telah terbentuk lembaga studi bahasa Arab di Cambridge, dan pada tahun 1638 terbentuk pula di Oxford.
3. Tujuan Orientalis
Keberadaan kaum orientalis bagi dunia Islam telah menimbulkan perdebatan panjang. Sebagian kaum muslim menolak karena mengangap bahwa kajian para orientalis dipandang sangat melecehkan Islam karena telah mewartakan bahwa Islam adalah agama "saduran" dari agama dan budaya sebelumnya. Namun di sisi lain terdapat umat muslim yang mengambil jalan kompromi, yakni memanfaatkan konsep-konsep positif yang ditelurkan oleh barat untuk memperkuat barisan Islam
Nilai positif yang sangat signifikan adalah bahwa dewasa ini adalah kesadaran baru dikalangan orientalis untuk menyajikan Islam sesuai dengan warna aslinya. Diantara mereka adalah Mitsuo Nakamura dari Jepang, Markwood Ward dari Arizona State University, AS, dan Jhon L. Esposito dari College of the Holy Cross. Imuan-ilmuan ini bahkan sangat bersimpati terhadap Islam, baik Islam sebagai realita sosial maupun sebagai agama.
Apa yang menjadi tujuan kaum orientalis dalam melakukan kegiatannya? Jelas, tujuan-tujuan orientalis ini beraneka ragam , Orientais itu sangat erat hubungannya dengan Kristenisasi semuanya termasuk akal pembaratan dan senjata perang kebudayaan yang mencolok. Keduanya mempunyai medannya sendiri-sendiri, tetapi mereka saling melengkapi dalam hal bahwa orientalisme mempersiapkan racun yang disebarluaskan oleh kristenisasi di lembaga-lembaga dan perguruan-perguruan tinggi.
Orientalis bertujuan mengabdi kepada penjajahan melalui jalan keilmuan, mempersiapkan semua teori yang digunakan untuk melemahkan dan menghinakan Islam, Rasulnya, sejarahnya, dan Kitabnya. Semua teori tersebut digunakan sebagai alat penipu oleh sebagian orientalis. Teori-teori tersebut ditegakan diatas landasan hawa nafsu dan keterpihakan, bukan pada metode ilmiah sebagaimana yang mereka gembar-gemborkan. Telaah umum diketahui bahwa mereka itu menetapkan hipotesis-hipotesis yang sesuai dengan hawa nafsu mereka, kemudian menggali dari Al-Qur'an, Hadits, dan berbagai riwayat (atsar) yang mendukung pandangan mereka, tak peduli dengan cara mencabut nash-nash dari konteksnya, ataupun dengan menyimpangkan artinya.
4. Pengaruh Orientalis Terhadap Islam
Suatu perkembangan menakjubkan dari gerakan kaum modernis adalah meningkatkan jumlah sarjana Muslim tertentu yang tunduk dibawah slogan "Islamic Researc", guna menerima validitas serta kebenaran semua usaha kaum orientalis dalam merongrong serta keyakinan serta praktek-praktek Islam fundamentalis dengan tanpa mempermasalahkannya. Keberhasilan penting dari pengaruh orientalisme modern ini ialah kemampuannya dalam merangsang para sarjana Muslim ternama melalui metode ilmiah "researc" yang denga berani menyatakan bahwa kitab suci al-Qur'an serta hadis, keduanya merupakan gabungan dan tidak merupakan wahyu yang diturunkan kepada Nabi suci. Dikatakan bahwa kitab suci al-Qur'an itu adalah tak ubahnya seperti Bibel dan kitab suci agama-agama lainnya yang telah mengalami perubahan dan modifikasi dengan aluran waktu.
Jika hal ini tidak bisa dibuktikan (yang seharusnya demikian), maka kaum orientalis menginginkan agar para sarjana muslim tersebut paling tidak akan membedakan secara tegas antara bagian-bagian sejarah dalam kirtab suci tersebut yang sesuai dengan masayarakat Arab yang primitif pada masa Nabi. Dan konsekuensinya adalah bahwa ajaran-ajaran yang terkandung didalamnya tidak sesuai lagi dengan masa sekarang serta prinsip-prinsip keabadian moral moral kebutuhan universal.
4. Respon Islam terhadap Orientalis
Jika saat ini orentalisme masih terlalu ampuh dibanding ilmuwan-ilmuwan dari Timur atau negara-negara berkembang, sesungguhnya hal ini menunjukan bahwa ilmuwan-ilmuwan timur masih terjajah oleh supremasi pengetahuan dan informasi dunia Barat. Dalam rangka memerdekakan diri secara total, disiplin ilmu baru oksidentalisme (occidentalism) sebagai tandingan orientalisme perlu dikembangkan. Tujuan utama oksidentalisme adalah, sebagaimana anjuran intelektual Muslim dari Mesir, Prof. Hassan Hanafi (1995), adalah upaya pembebasan atau dekolonisasi. Jika orientalisme adalah studi ketimuran dari dunia Barat, Oksidentalisme adalah studi tentang Barat dari dan oleh dunia Timur.
Oksidentalisme akan mengimbangi supremasi dunia Barat yang sudah terlalu dominan. Jika orientalis turut memperkuat Amerika sebagai polisi dan pusat dunia, oksidentalisme akan membangkitkan bangsa lemah dan negara-negara berkembang yang selama ini berada dipinggiran. Dengan oksidentalisme, dunia ketiga khususnya Indonesia akan mampu mempertahankan watak nasionalnya. Hal ini sangat penting karean tren globalisasi ternyata telah menindas dan menggilas budaya-budaya kecil dari negara-negagra adikuasa.
C. Kesimpulan
Aqidah Islam adalah aqidah yang jelas dan tegas, jauh dari keraguan dan sangkaan serta khayalan (imaginasi). Dengan aqidah yang betul, manusia mampu mengendalikan hawa nafsunya; dan aqidah inilah yang diperkokoh oleh akal supaya tetap baik dan sampai pada hakekat yang sebenamya.
Dengan begitu jelaslah bahwa Orientalisme adalah alat yang dipakai oleh musuh-musuh Islam yang ingin merusak dan menggerogoti da’wah dan ajaran Islam yang sangat sesuai dengan fitrah manusia tersebut.
Para Orientalis berusaha keras memerangi Islam dengan segala cara, gaya dan dayanya dan dengan berbagai bentuk; karena tujuan mereka terang-terangan anti dan ingin menghancurkan Islam itu sendiri. Syukur, Allah selalu melindungi ummat Islam dan menenangkan ummat Islam, betapapun benci dan lihainya orang kafir.
D. Daftar Pustaka
Badawi, Abdurrahman, Ensiklopedi Orientalis, Yogayakarta: LKIS, Cet II, 2003.
Muthabaqani, Mazin bin Shalah, Al-Istisyraq, (www.saaid.net)
Mas'ud, Abdurrahman Menuju Paradigma Islam Humanis, Yogyakarta: Gama Medika, 2003.

al-Jundi, Anwar, Pembaratan Di Dunia Islam, Diterjemah: Ahsin Muhammad, Bandung: PT. Rosdakarya, 1991.

Jameela, Maryam (Margaret Marcus), Islam Modernisme, penerjemah: A. Januri, Syafiq A. Mughni, Surabaya: Usaha Nasional, th..

Tidak ada komentar:

Posting Komentar