tanah airku

tanah airku tidak kulupakan.
kan kukenang selama hidupku...
biarpun aku pergi jauh...
tidak kan hilang dari kalbu...
tanah ku yang ku cintai...
tetap kusayangi....

Sabtu, 09 Januari 2010

mutasyabih

KAJIAN TENTANG
AYAT-AYAT MUTASYABIH











Makalah Ini Disusun Guna Memenuhi Tugas
Mata Kuliah Ulumul Qur'an I

Dosen Pengampu : Masnukhin, S.Ag



Oleh:
Cholid Abdullah
NIM 30.06.4.1.002








JURUSAN USHULUDDIN/TH
SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI (STAIN)
SURAKARTA
2007

AYAT-AYAT MUTASYABIH

A. Pendahuluan
Allah menurunkan al-Qur’an kepada hambanya agar ia menjadi pemberi peringatan bagi semesta alam. Ia menggariskan bagi mahlukNya itu akidah yang benar dan prinsip-prinsip yang lurus dalam ayat-ayat yang tegas keterangannya dan jelas ciri-cirinya. Itu semua merupakan karuniaNya kepada umat manusia. Dimana ia menetapkan bagi mereka pokok-pokok agama untuk menyelamatkan akidah mereka dan menerang kanjalan lurus yang harus mereka tempuh.
Pokok-pokok agama tersebut dibeberapa tempat dalam al-Qur’an terkadang datang dengan lafaz, ungkapan dan uslub (gaya bahasa) yang berbeda-beda tetapi maknanya tetap satu. Maka sebagiannya serupa dengan sebagian yang lain tetapi maknnya cocok dan serasi. Tak ada kontradiktif didalamnya. Adapun mengenai masalah cabang (furu’) agama yang bukan masalah pokok, ayat-ayatnya ada yang bersifat umum dan samar-samar (mutasyabih) yang memberikan peluang bagi para mujtahid yang handal ilmunya untuk dapat mengembalikannya kepada yang tegas maksudnya (muhkam) dengan cara mengembalikan masalah cabang kepada masalah pokok.

B. Pembahasan
I. Definisi Mutasyabih
Mutasyabih menurut bahasa diambil dari kata masdar tasyabuh, yakni bila salah satu dari dua hal yang serupa dengan yang lain. Sedangkan Syubhah adalah keadaan di mana satu dari dua hal itu tidak dibedakan dengan yang lain karena ada kemiripan secara kongkrit ataupun secara makna.
Sedangkan secara istilah terjadi banyak perbedaan pendapat para ulama’ tentang definisi mutasyabih. Pertama, mutasyabih adalah ayat yang samar yang tidak diketahui maknanya baik secara akal maupun dengan nash, karena hanya Allah yang mengetahuinya. Pendapat ini disandarkan pada segolongan ulama hanafiah. Kedua, mutasyabih adalah ayat yang mengandung banyak makna. Pendapat ini banyak dipakai para ahli ushuluddin. Ketiga, mutasyabih adalah ayat yang tidak dapat berdiri sendiri tetapi butuh terhadap penjelasan, karena banyaknya perbedaan dalam penakwilannya. Pendapat ini diceritakan dari Imam Ahmad. Sedangkan menurut Fakhrurrozi mutasyabih adalah ayat yang dalilnya tidak kuat (marjuh), yaitu yang mengandung lafadz yang musytarok, mujmal dan mu’awwal.
Thabathaba’i mengemukakan dua pengertian yang berbeda antara golongan Sunni dan Syi’ah tentang mutasyabih. Menurut golongan Sunni, mutasyabih adalah ayat yang makna lahirnya berbeda dengan yang dimaksud, sedangkan makna hakikinya yang merupakan ta’wilnya tidak ada yang dapat mengetahui maknanya kecuali Allah. Menurut Syi’ah, hampir sama dengan Sunni, tetapi Rasulullah dan Ahlul Bait juga dapat mengetahui makna hakikinya dengan tepat.

II. Ruang Lingkup Mutasyabih
Apabila diamati secara seksama, maka akan dijumpai paling tidak tiga bentuk tasyabuh dalam ayat-ayat al-Qur’an, yaitu:
a. Tasyabuh dari segi lafadz saja.
Tasyabuh ini terbagi menjadi dua, yaitu:
1. Tasyabuh dalam kata-kata tunggal (mufrad) baik karena artinya yang asing, seperti الاب dan يزفّون, ataupun karena lafadznya memiliki arti yang banyak (isytirak), seperti اليد dan اليمين
2. Tasyabuh dalam kata-kata gabung (kalam murakkab). Tasyabuh ini terkadang timbul karena untuk menyingkat kalimat (ikhtisar),seperti:
وان خفتم الاّ تقسطوا فى اليتامى فانكحوا ماطاب لكم من النساء
atau untuk memperpanjang kalimat, seperti:ليس كمثله شيئ
atau karena susunan kalimatnya, seperti:
الحمد لله الذى انزل على عبده الكتاب ولم يجعل له عوجا * قيما
b. Tasyabuh dari segi makna saja
Tasyabuh dari segi makna ini seperti ayat-ayat yang menjelaskan tentang sifat-sifat Allah, keadaan hari kiamat, nikmat-nikmat surga, siksa-siksa neraka. Sifat-sifat ini tidak bisa digambarkan di dalam jiwa dan tidak disa dirasakan karena tidak ada yang pernah mengalaminya.
c. Tasyabuh dari segi lafadz dan makna
Berkata Imam Raghib al-Ishfahani bahwa tasyabuh ini terbagi atas lima bagian, yaitu:
1. Tasyabuh antara yang umum dan yang khusus, seperti: اقتلوا المشركين
2. Tasyabuh antara yang wajib dan yang sunnah, seperti:
فانكحوا ماطاب لكم من النساء
3. Tasyabuh karena faktor waktu, seperti ayat-ayat nasikh dan mansukh.
4. Tasyabuh karena lokasi dan peristiwa yang terjadi di dalamnya, seperti:
وليس البرّ بأن تأتوا البيوت من ظهورها
5. Tasyabuh antara syarat-syarat yang mensahkan sebuah perbuatan atau membatalkannya, seperti syarat sahnya sholat dan nikah.

III. Macam-macam Mutasyabih
Apabila kita teliti lebih jauh lagi, dari pengertian tentang ayat mutasyabih yang sudah diterangkan sebelumnya maka memungkinkan bagi kita untuk membagi ayat-ayat mutasyabih menjadi tiga macam, yaitu:
1. ayat mutasyabih yang mana manusia tidak akan bisa sampai pada pengetahuan yang sebenarnya. Seperti: pengetahuan tentang dzat Allah dan hakekat-hakekat sifat Allah, pengetahuan tentang waktu hari kiamat dan lain sebagainya dari hal-hal ghaib yang hanya Allah yang mengetahuinya.
2. ayat mutasyabih yang mana manusia mampu untuk mengetahuinya dengan jalan pembahasan dan pembelajaran. Seperti ayat yang tasyabuhnya timbul karena keijmalannya, karena panjangnya kalimat, karena susunan kalimat dan lain sebagainya.
3. ayat mutasyabih yang hanya diketahui oleh ulama’ khusus bukan seluruh ulama’. Berkata Imam Raghib al-Ishfahani bahwa ayat ini hanya diketahui oleh orang mendalam ilmunya (arrosikhuuna fil ‘ilmi) dan masih samar bagi selain mereka.

IV. Sikap Ulama’ Terhadap Ayat-Ayat Mutasyabih
Menghadapi ayat-ayat mutasyabih yang tergabung dalam tiga kategori di atas, para ulama’ mempunyai pendapat yang berbeda-beda, khususnya berkenaan dengan ayat-ayat tentang sifat Tuhan. Tetapi secara garis besar pendapat pendapat tersebut terbagi kedalam tiga kelompok juga, yaitu:
1. Madzhab Salaf
Madzhab ini disebut juga madzhab al-Mufawwidhoh. Mereka adalah golongan yang menyerahkan saj maknanya kepada Allah. Mereka menerima dan memercayai begitu saja secara apriori tanpa mau mempermasalahkan.
2. Madzhab Khalaf
Madzhab ini juga disebut madzhab al-Mu’awwilah. Pada periode Khalaf ini Ulama’ sudah mulai toleran dan berlapang dada dalam menghadapi pemikiran-pemikiran yang tumbuh berkenaan dengan pemahaman ayat-ayat mutasyabih. Golongan ini terbagi atas dua kelompok. Pertama dipelopori oleh Abu Hasan al-‘Asy’ari, yang menakwilkan ayat-ayat mutasyabih sesuai dengan sifat-sifat yang diterima (dari-Nya) tanpa diketahui maksudnya secara tegas (pasti).
Kelompok kedua menakwilkan ayat-ayat mutasyabih itu sesuai dengan makna atau sifat-sifat yang dimaklumi manusia. Dengan demikian kelompok ini berusaha memalingkan makna yang terkandung dalam ayat-ayat mutasyabih kepada makna yang dipahami manusia, tetapi pantas dengan keagungan Allah ditinjau dari segi logika dan agama. Imam Haramain pernah menganut pendapat ini, tetapi kemudian ia menarik kembali pendapatnya itu dan berkata dalam Risalah al-Nizhamiyah: “Pendapat yang memuaskan kita secara religius dan dengan berpegang kepada agama Allah ialah mengikuti pendapat ulama’ salaf, di mana mereka berusaha menghindar dari pemberian interpretasi terhadapnya (ayat-ayat mutasyabih)”.
3. Madzhab al-Mutawassithun
berkata Imam Assuyuthi bahwa Ibn Daqiq al-‘Iid menganut madzhab ini dan berkata: “Bila penakwilan itu dekat dengan pemahaman bahsa Arab tak dapat diinkari (keberadaannya), tetapi bila jauh, maka tidak bisa menerima dan kita harus mengimani makna yang dikandungnya sekaligus mensucikan Allah sehingga tidak serupa dengan makhlukNya”.

V. Hikmah Adanya Ayat-Ayat Mutasyabih
Seperti telah kita ketahui bahwa macam-macam ayat-ayat mutasyabih terbagi menjadi tiga, maka dapat kita bagi hikmah yang terkandung dalam ayat-ayat mutasyabih menjadi dua kriteria.
1. Hikmah yang terkandung dalam ayat-ayat mutasyabih yang takwilannya hanya diketahui oleh Allah (jenis yang pertama).
• sebagai rahmat Allah terhadap manusia yang lemah yang tidak mampu mengetahui hakikat segala sesuatu.
• sebagi ujian dan memberi kabar bagi manusia apakah mereka percaya dengan yang ghaib sebagi bentuk kepercayaan terhadap Nabi atau tidak.
• memperjelas dalil atas kelemahan dan kebodohan manusia serta menjadi saksi atas kekuasaan Allah yang luar biasa.
• karena yang menjadi tujuan al-Qur’an adalah mengikat hubungan manusia dengan Allah, maka ikatan ini tidak mungkin terjadi kecuali dengan mengguyurkan topik-topik yang ada kaitannya dengan alam ghaib sehingga menjadi motifasi bagi manusia untuk melangkah lebih jauh ke alam tempat ia akan bergerak ke sana.
2. Hikmah yang terkandung dari ayat-ayat mutasyabih yang takwilannya diketahui oleh Allah dan orang-orang tertentu (jenis yang kedua dan ketiga).
• menguatkan tentang mukjizat al-Qur’an.
• sebagaimana dikatakan Imam Fahrur Razi bahwa ketika ayat-ayat mutasyabih itu ada maka untuk sampai pada pengetahuan yang hakiki membutuhkan pemikiran yang lebih sulit dan lebih sukar. Dan semakin bertambah sukar maka semakin bertambah pula pahalanya.
• menujukkan keutamaan dan selisih derajat bagi orang yang berkecamuk dengan masalah ini dengan orang lain. Karena kalau al-Qur’an itu muhkam semua tentulah tidak butuh takwil dan pengamatan sehingga kedudukan manusia itu sama dan tidak tampak keutamaan orang yang Alim dengan yang lain.
• al-Qur’an sengaja membuka akal manusia dengan masalah-masalah baru, seperti masalah-masalah alam, manusia, konsep-konsep ghaib supaya ia bisa memecahkan hakikat dan menyingkapkan misterinya yang masih gelap, atau mendekatinya sesuai dengan pengetahuan.

VI. Urgensi Mempelajari Ayat-Ayat Mutasyabih
Apabila direnungkan lebih mendalam eksistensi ayat-ayat mutasyabih dalam al-Qur’an maka akan terasa bahwa kedudukannya sangat strategis dan teramat penting. Hal ini terutama dalam rangka mengembangkan potensi akal budi dan nalar pikiran. Dengan adanya ayat-ayat mutasyabih yang kurang terang pemahamannya, maka para ulama, pakar ilmuwan an sebagainya berusaha mengerahkan segenap kemampuan daya pikir dan zikir mereka untuk mengetahui makna-makna yang terselubung di balik ungkapan yang samara-samar itu.
Dengan demikian, terjadilah usaha-usaha yang kreatif dan inovatif secara berkesinambungan untuk mencapai suatu cita-cita. Kondisi inilah kemudian yang membuat peradaban Islam berkembang sebagaimana tercatat dalam sejarah dunia, khususnya pada abad-abad pertengahan yang terkenal dengan zaman keemasan Islam.
Memang perkembangan peradaban sebagaimana digambarkan itu bukan disebabkan semata-mata oleh adanya ayat-ayat mutasyabih, tapi sebagai pendorong pertama untuk memotivasi para ulama agar menggunakan nalar mereka, hal ini tak dapat dilepaskan dari pengaruh adanya ayat-ayat mutasyabih itu. agaknya inilah peranan penting yang patut dicatat dari keberadaan ayat-ayat mutasyabih itu dalam al-Qur’an.

C. Penutup
Setelah diuraikan lebih lanjut sebelumnya, maka tampak jelaslah bahwa ayat-ayat yang terkandung di dalam al-Qur’an (walaupun masih terjadi perbedaan pendapat para ulama’) terbagi ke dalam dua kriteria, yaitu muhkam dan i apapun itu pengertiannya. Di mana keduanya ini saling mendukung dan melengkapi.
Perbedaan di kalangan para ulama’ janganlah dijadikan alasan untuk saling menguatkan pendapat golongan masing-masing. Tapi yang lebih penting perbedaan itu merupakan keunikan tersendiri di dalam dunia Islam dan hendaknya dijadikan sebagai tonggak untuk menggali lebih dalam lagi al-Qur’an, terutama di abad modern ini, dan adanya ayat-ayat mutasysbih justru lebih menguntungkan bagi umat Islam karena di dalamnya masih banyak rahasia yang belum terungkap. Wallahu a’lam.

D. Referensi
1. Jalaluddin Asssuyuthi, al-Itqan fii Uluum al-Qur’an, Kairo, Dar al-Fikr, Juz II, 1951.
2. Mannaa’ al-Qaththaan, Mabaahis fii ‘Uluum al-Qur’an, Beirut, Er-Risalah, 1997.
3. M. Baqir Hakim, Ulumul Quran, Al-huda, Jakarta, 2006.
4. Muhammad ‘Abd al-‘Azhim al-Zarqoni, Manaahil al-‘Irfan fii ‘Ulum al-Qur’an, Dar El-Fikr, Juz II, t.th.
5. Muhammad Chirzin, Al-Qur’an dan Ulumul Qur’an, PT Dana Bhakti Prima Yasa,Yogyakarta, 1998.
6. Nashruddin Baidan, Wawasan Baru Ilmu Tafsir, Yogyakarta, Pustaka Pelajar, 2005.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar