tanah airku

tanah airku tidak kulupakan.
kan kukenang selama hidupku...
biarpun aku pergi jauh...
tidak kan hilang dari kalbu...
tanah ku yang ku cintai...
tetap kusayangi....

Sabtu, 09 Januari 2010

Hermeneutik

METODE HERMENEUTIKS


A. Pendahuluan
Al- Quran alam Islam menampilkan kaidah- kaidah hukum yang abadi dalam menyiapkan segala yang diperlukan manusia baik yang berkaitan dengan spiritual maupun material. Tidak mengheraqnkan jika dikatakan bahwa Al- Qur'an adalah kitab yang kompleks dan berisi petunjuk yasng komprehensif dalam seluruh aktivitias kehidupan manusia, Dalam mengungkap isi kandungan Al- Quran maka manusia wajib mempelajari dan memahaminya. Untuk memahaminya adalah melalui apa yuang disebut dengan interpretasi atau penafsiran. Yakni, dalam hal ini manusia dengan segenap upaya dan keorisinalitas makna dan nilai yang terkandung tetap terjaga.

B. Pembahasan

Pengertian
Hermeneutika diambil dari bahasa Yunani, Hermeneus, yang secara etimologi berarti tafsir (interpretasi), terjemah, pemberitahuan, dan lain sebagainya. Spekulasi historis menyebutkan hermeneutika pada mulanya pada dewa Yunani Kuno, Hermes. Dalam sejarah Yunani, Hermes adalah utusan Tuhan. Ia diberi tugas untuk menyampaikan berita dari Sang Maha Dewa yang dialamatkan pada manusia. Menurut Hosain Nasr, Hermes tidak lain adalah Nabi Idris as., yang disebut dalam Al- Quran. Dalam legenda pekerjaan Nabi Idris adalah menenun (tukang tenun). Qomaruddin Hidayat menyebutkan bahwa kata kerja memintal, padanannya dalam bahasa latin adalah tegere, sedang produknya adalah texus, atau tex. Texus atau text merupakan isu sentral dalam kajian hermeneutik. Karenea itu hermeneutika berhubungan dengan penyampaian berita yang dapat dimengerti. Dengan demikian hermeneutika yang diambil daari peran Hermes adalah sebuah ilmu dan seni menginterpretasikan sebuah teks.
Hal senada juga dikemukakan oleh Zygmun Bauman, Bahwa Hermeneutika berasal dari Yunani yang berkaitan dengan "upaya menjelaskan dan menelusuri" pesan dan pengertian dasar dari sebuah ucapan atau tulisan yang tidak jelas, kabur, remang-remang dan kontradiktif, sehingga menimbuklkan keraguan dan kebingungan bagi pendengar atau pembaca.
Berangkat dari pemahaman tersebut, Hemeremneutiks itu ialah pembahasan tentang kaidah (teori) atau metode yang digunakan untuk memaknai atau menafsirkan suatu teks (pesan) agar didapatkan pemahaman yang benar, kemudian berusaha menyampaikan kepada audien sesuai tingkat dan daya serap mereka, hermeneutiks secara substansial tidak jauh berbeda dari Ilmu Tafsir, namun secara konseptual antara kedua istilah itu terdapat perbedaan yang amat mendasar.

Persamaan Dengan Ilmu Tafsir
Dalam sejarah hermeneutiks tafsir Al-Quran terbagi menjadi dua: pertama, hermeneutika Al-Quran tradisional perangkat metodologinya hanyas sebatas pada linguistik dan riwayat, jadi belum ada rajutan sitematikantara teks, penasfsir, dan audiens sasaran teks. kedua, hermeneutika Al-Quran kontemporer telah melakukan perumusan sistematis ketiga unsur tersebut. Di dalamnya, suatu proses penafsiran tidak lagi berpusat pada teks, tapi penafsir dan satu sisi, dan pembaca disisi yang lain secara metodologis merupakan bagian yang mandiri.
Kesamaannya dengan tafsir adalah bahwa setiap kata tidak mengandung dalam dirinya makna yang independen, sebaliknya kata senantiasa dikaitkan dengan kata yang laian guna melahirkan kata. Kata "khasyyah" digunakan dalam struktur yang berbeda dengan kata "khauf". Karena itu, disitu diperlukan adanya kaidah-kaidah kebahasaan, yang dalam ilmu tafsir dikenal dengaqn kaidah penafsiran. Sedang dlam hermeneutiks dikenal dengan kaidah sintagmantik dan paradigmatik.
Hermeneutiks mempunyai tujuan yang sangat luhur, yaitu ingin menjelaskan, kepada umat suatu ajaranm sejelas-jelasnyaan sejujurnya dalam bahasa yang dimengerti oleh umat itu sendri. Dari itu seorang hermeneunt harus mermahami secara mendalam dan utuh tentang teks yang akan disampaikan kepada umat. Hermeneutiks ada tiga unsur pokok yang harus dipenuhi (triadic struktur) yaitu teks, interpreter, dan audians (penerima tafsir).
Ketiga aspek itu secara implisit berisi tiga konsep pokok yakni 1) membicarakan hakikat sebuah teks; 2) apakah interpreternya memahami memahami teks dengan baik; dan 3) bagaimana suatu penafsiran dapat dibatasi oleh asumsi-asumsi dasar serta kepercayaan atau wawasan para audiens.
Sedangkan hermenutika kesentralan Al-Quran menurut Fazlur Rahman didasari pada dua pilar: pertama, teori kenabian dan hakikat wahyu, dan kedua, pemahaman sejarah. Kedua komponen itu merupakan hermeneutika umumnya terhadap Al-Quran.
Ketiga unsur pokok yang menjadi pilar utama dalam teori hermeneutiks itu tidak jauh beda dari yang dipakai para Ulama' Tafsir dalam menafskan Al-Quran. Ibnu Taumiyyah, misalnya, menyatakan bahwwa dalam setiap proses penafsiran harus diperhatikan tiga hal: 1) siapa yang menyabdakan; 2) kepada siapa ia diturunkan; dan 3) ditujukan kepada siapa.
Perbedaan Hermeneutika dengan Tafsir
Sebelum membahas perbedaan antara Hermeneutika dengan Tafsir, kita perlu tahu terlebih tentang definisi kedua istilah tersebut. untuk pengertian hermeneutik telah dijelaskan pada bab sebelumnya. adapun tafsir menurut Prof. Dr. Nashirudin Baidan adalah “ penjelasan atau keterangan terhadap maksud yang sukar memahaminya dari ayat-ayat Al-Quran. dengan demikian menafsirkan Al Quran ialah menjelaskan atau menerangkan makna-makan yang sulit pemahamannya dari ayat-ayat Al Quran tersebut.” Dari penjelasan diatas, kita telah tahu baik definisi hermeneutik maupun tafsir.
Dr. Ugi Sugiharto menandaskan: di dalam Al-Qur’an ada ayat-ayat yang muhkamat, ada ushul ajara Islam, ada hal-hal yang bersifat tsawabit, semua ayat-ayatnya adalah qhat’iy al tsubut al wurud. Dan bagian-bagiannya ada yang menunjukkan qoth’I al dilalah ada perkara-perkara yang termasuk dalam al ma’lum min al bin bi al dhoruroh. Ada sesuatu yang ijma’ mengenai Al Qur’an dan ada yang dipahami sebagai al Quranyang disampaikan dengan ajalan mutawatir, yang semuanya itu dapat dipahami dan dimengerti oleh kaum muslimin dengan derajat yakin bahwasanya itu adalah ajaran al Qur’an yang dikehendaki oleh Allah. Apabila filsafat Hermeneutika digunakan kepada al-Qur’an, maka yang muhkamat akan menjadi mutasyabihat, yang ushul menjadi furu’, yang tsawabit menjadi mutaqhayyarot, yang qoth’I menjadi dhonniy, yang ma’lum menjadi majhul, yang ijma’ menjadi ikhtilaf, yang mutawattir menjadi ahad, dan yang yakin menjadi dhonn, bahkan syakk.”
Nampaknya, tidak berlebihan apa yang diungkapkan Uki Sugiharto diatas. dalam hermeneutika, sebuah teks kitab suci (Al Qur’an) yang akan ditafsir haruslah dianggap atau diperlakukan seperti teks-teks lain, bukan sebagai teks atau kalam Illahi. Dalam hal ini mereka berpedoman dengan loggo mereka” Jika kitab suci diyakini sebagai tulisan tuhan sendiri, maka siapa yang mampu memahami maksud tuhan secara sempurna”. Berangkat dari asumsi ini para hermeneut (orang yang menafsirkan) berhak mengotak-atik atau mengubah teks kitab suci tersebut. Mereka beranggapan bahwa teks itu selalu lebih luas dari pada apa yang dimaksudkan oleh pengarangnya. Jika hal seperti ini diterapkan dalam al Qur’an, maka yang terjadi semua ayat al Qur’an bisa menjadi relatif maknanya, tidak ada kebenaran mutlamnya. Dan imbasnya tidak ada lagi yang namanya ayat-ayat muhkamat, qathiy dalalah, tsubut dan sebagainya.
Lebih jauh lagi, Prof. Dr. Narhirudin Baidan membedakan antara hermeneutika dengan tafsir, yang secara singkatnya sebagai berikut:
1. Jika dibandingkan antara posisi atau tugas hermes sebagai seorang utusan dewa, dengan Nabi Muhammad sebagai utusan tuhan, maka dalam posisinya sebagai utusan dewa hermes berwenang penuh dalam menyampaikan pesan yang dibawanya. Bahkan ia diberi lisensi untuk melakukan interpretasi bahkan penyaduran pesan selama hal itu sesui dengan audien. Itu berarti dia memperoleh kewenangan yang luar biasa dari dewa tersebut, sehingga terkesan semua yang dikatakannya harus diyakini itu berasal dari dewa. Jika hal ini terjadi maka pesan yang disampaikannya merupakan hasil rekayasa secara pribadi, karena hermes tersebut sudah lepas kontrol dari dewanya. Hal ini sangat berbeda dengan risalah yang dibawa Nabi Muhammad, disini Nabi Muhammad tidak mempunyai kewenangan mengubah sedikitpun risalah yang diterimanya kecuali hanya sekedar menyampaikan, dan menjelaskan apa-apa yang belum dipahami oleh umatnya, jadi dia tidak berhak sama sekali merefisinya. Dalam kaitan ini Allah menegaskan “sekiranya Muhammad berani merevisi sedikit saja (yang kami turunkan) niscaya akan kami cengkram dengan tangan kanan kami, kemudian untuk urat nadinya kami potong. tidak seorangpun diantara kalian yang mampu mempertahankannya.
kemudian lebih jelas lagi Pror. Dr. Nasrudin Baidan membedakan keduanya dalam sekema berikut:



Perbandingan Tugas Risalah-Risalah.
HERMENEUTIK (Hermes) ILMU TAFSIR ( Muhammad)
1. Berwenang Menginterpekasi dan menyedur risalah yang akan disampaikan 1. tidak berwenang mengubah sedikitpun risalah yang akan disampaikan kecuali hanya sebatas menyampikan apa adanya dan sekedar penjelasan kalau ada pesan yang kabur atau kurang jelas.
2. tidak ada kontrol dari risalah yang disampaikan apakah telah sesuai dengan norma yang berlaku apa tidak / belum 2. selalu dibawah kontrol Allah , sehingga Muhammad tidak boleh berbuat sesukannya sendiri

Posisi Rasul setelah Menerima Risalah

Hermeneutik Ilmu Tafsir






2. Dalam Proses penafsiran, hermeneutika tidak mementingkan urutan prosedural yang akan ditetapkan sebagaimana ditegaskan oleh Schleiemacher. “Kitab suci tidak membutuhkan tipe khusus prosedur penafsirannya. betapapu, permasalahan yang mendasar dalam memahami suatu teks adalah mengembangkan gramatika dasar dan kondisi psikologis”.
Dalam hal ini Prof. Dr. Nasrudin Baidan memaparkan bahwa kondisi semacam ini bertolak belakang dengan ilmu tafsir; dimana langkah-langkah prosedural dalam penafsiran Al Qur’an amat dibutuhkan.. Para ulama pada umumnya mengakui bahwa urutan penafsiran itu merupakan salah satu upaya untuk menghasilkan suatu produk tafsir yang representatif dan dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah. Urutan-urutan langlah penafsiran yang ditawarkan oleh ulama ialah menempatkan penafsiran Al Qur’an (ayat) dengan Al Qur’an(ayat) lain pada urutan pertama: kemudian penafsiran al Qur’an (ayat) dengan sunnah (hadits Rasul); kemudian penafsiran sholat dan selanjutnya Tabi’in.
Namun demikian menurutnya hal urutan prosedural seperti itu bukanlah mutlak dan satu-satunya. Artinya urutan-urutan seperti itu digunakan sekaligus atau permasalahan yang dihadapi memang mirip dengan yang terjadi pada tiga generasi itu; jika tidak ditemukan kasusnya pada masa-masa tersebut maka seorang mufassir harus mencari alternatif lain dengan memperhatikan teks, ayat dan konteks pembicaraan.
3. Ruang lingkup hermeneutika berkisar pada tiga elemen pokok yakni teks,interprenter dan audien (konteks, dan sebagainya) atau apa yang diistilahkan dengan triadic stucture yang berarti teori hermeneutik sangat simpel dan umum: tidak memberikan penjelasan yang rinci untuk membimbing para mufassir menemukan sebuah penafsiran yang benar dan representatif atau dalam istilah ilmu tafsir hermeneutik hanya sebatas asbab nuzul , peristiwa-peristiwa atau kondisi psikologis atau sosial yang melatar belakangi turunya suatu ayat yang dalam ilmu hadits tafsir jauh lebih detail dari pada kriteria yang dikembangkan dalam nermeneutik; bahkan mereka tidak hanya menetapkan kaidah-kaidah kebahasan yang berhubungan langsung dengan teks, melaikan menetapkan prasayaratan bagi seorang mufassir yakni selain dia harus mempunyai iktikat yang baik, tidak munafik, dan lain-lain, dia harus mempunyai ”ilmu mauwibah” yaitu ilmu yang dikaruniai Allah hamba-hambanya yang tekun.
4. dalam teori hermeneutik terkesan bahwa seorang hermeneut dapat menafsirkan semua teks tanpa terkecuali selama dia dapat menguasai ketiga unsur dalam herneutik secara baik. sedangkan dalam ilmu tafsir, tidak semua yang ada di dalam al-Qur’an dapat ditafsirkan , akan tetapi ada ayat yang menginformasikan alam Ghaib yang takmungkin dapat dijangkau oleh rasio. dilarangnya menafsirkan ayat yang suprarasional bukan untuk mengekang pemikiran mereka, melainkan untuk membimbing mereka bahwa hal semacam itu tidak terlalu urgen bagi mereka dalam memperoleh bahagia dunia dan akhirat.
5. Dalam teori hermeneutik seorang interpreter memahami diri penulis (pengarang) lebih baik dari pada penulis mengenai dirinya sendiri. Sebaliknya bila masuk kewilayah Al Qur’an teori ini sangat mustahil dapat dipakai sebab al Qur’an tidak dibuat oleh manusia (Muhammad), melainkan diturunkan langsung oleh Allah, sedikitpun tidak ada perubahan olehnya (Muhammad). sangat mustahil bagi manusia memiliki pengetahuan tentang Allah melebihi dari apa yuang diketahui Allah tentang diriNya. bahkan mengenai substansi makhlukNya saja manusia tidak ampu seperti hal-hal yang ghaib.
Urgensi
Dengan hermeneutika, makna yang merupakan konstruksi budaya dan makana yang dimaksud agama dapat dipisahkan satu sama lain. Demikian juga dengan hemermeneutika, makna bahasa akan senantiasa berdialektika dengan realitas budaya, sehingga bahasa akan senantiasa berdialektika dengan realitas budaya, sehingga bahasa akan kontekstual dengan diluar dirinya. Bahasa akan kontekstual, karena makna bahasa tidak tergantung pada hubungan dialektis antara bahasa dengan relitas. Ketika bahasa dibawa kedalam medan semantik yang berbeda dalam analisa semantiknya, maka makna kata juga akan mengalami perubahan. Demikian juga ketika kata dibawa kedalam susunan gramatika yang berbeda, maknanya juga akan berbeda.

C Penutup
Dapat disimpulkan bahwa hermeneutiks merupakan metode berfikir falsafi, radikal, dan ilmiah demi meraih kebenaran yang objektif. Mengingat yang demikian, maka teori-teori atau kaidah- kaidah yang dibahas dalam hermeneutiks lebih diandalkan untuk membantu mufasir dalam proses penelitian karya-karya tafsir, bukan untuk menafsirkan ayat-ayat suci karena dalam memahami ayat-ayat suci Al-Quran seseorang harus memiliki kaedah-kaedah dan teori-teori spesifik yang tidak dibahas dalam hermeneutiks.








D. Daftar Pustaka

Aminuddin, Luthfi Hadi dkk, Hermeneutika Al-Quran, Kodifikasi, Jurnal Penelitian Keagamaan dan Sosial-Budaya, volume 1 no. 1, STAIN Ponorogo.Tahun 2007.
Baidan, Nasruddin, Wawasan Baru Ilmu Tafsir, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 2005.

Jamil, M. Mukhsin, Tekstualitas Al- Quran Dan Problem Hermeneutika, Teologia, Jurnal Ilmu- ilmu Ushuluddin, Volume 17 Nomor 1, Januari, IAIN Walisongo, Semarang, 2006.
Ma'rif, Syamsul, Metode Hermeneutik Untuk Penelitian Agama, Teologia, Jurnal Ilmu- ilmu Ushuluddin, Volume 17 Nomor 1, Januari, IAIN Walisongo, Semarang, 2006.
Mansur, Membaca al-Quran Dengan Metode Baru, Dialogia, Jurnal Studi Islam Dan Sosial, Vol 4 No. 1 Januari-Juni , STAIN Ponorogo, 2006.
Rahman, Fazlur, Gelombang Perubahan Dalam Islam,Studi Fundamentalis Islam, Terjmahan, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2000.
Islamia, Vol. 2004

Tidak ada komentar:

Posting Komentar