tanah airku

tanah airku tidak kulupakan.
kan kukenang selama hidupku...
biarpun aku pergi jauh...
tidak kan hilang dari kalbu...
tanah ku yang ku cintai...
tetap kusayangi....

Senin, 03 Mei 2010

MENGENAL MUHAMMAD ADNAN

Seperti yang telah disebutkan di awal bahwa setiap mufassir dalam karangannya tentu mempunyai corak dan metode penafsiran masing-masing yang disebabkan oleh beberapa faktor, yaitu faktor internal dan eksternal. Faktor internal meliputi kondisi obyektif teks Al-Qur’an dan kondisi obyek dari kata-kata (kalimat dalam Al-Qur’an yang memungkikan ditafsirkan secara beragam).
Faktor eksternal adalah faktor di luar teks Al-Qur’an yaitu kondisi subyektifitas mufassir itu sendiri, untuk mengetahui subyektifitas mufassir maka pada bab ini akan dijabarkan tentang biografi, pendidikan, perjuangan-perjuangan dan hal-hal yang berkaitan dengan mufassir.
A. Masa Kecil dan Keluarga Muhammad Adnan
Muhammad Adnan, lahir pada hari kamis Kliwon tanggal 6 Ramadhan 1818 bertepatan dengan tanggal 16 Mei 1889, di dalam rumah "pengulon" (tempat kediaman Penghulu) di kampung Kauman, tengah-tengah kota Surakarta, Jawa Tengah. Nama lain Muhammad Adnan pada waktu kecil adalah Muhammad Shauman.
Orang tuanya Muhammad Adnan adalah almarhum Kanjeng Raden Penghulu Tafsir Anom V (lima), seorang ulama bangsawan sebagai abdi dalem (pegawai) kraton Surakarta. Penghulu Tafsir Anom V (lima) dilahirkan pada hari Rabu, 17 Rabiul Awal tahun Jimakir 1786 Jawa 1854 M dan wafat pada tanggal 21 september 1933, dalam usia 79 tahun. Penghulu Tafsir Anom V (lima) memangku jabatan pengulu (qadli) ketika Sri susuhunan Paku Buwana IX (1861-1893) berkuasa.
Kiai pengulu Tafsir Anom V adalah keturunan kanjeng kiai pengulu Tafsir Anom IV, yang menjabat penghulu semasa pemerintahan Sri Susuhunan Paku Buwana (PB) VII-IX. Jadi Muhammad Adnan adalah keturunan dari tafsir anom IV yang secara turun-temurun menjabat pengulu (qadhi) di keraton kasunanan Surakarta. Kalau di turut silsilahnya maka akan sampai pada Sultan Syah Alam Akbar III (R. Trenggono), sultan Demak terakhir.
Adapun putra dan putri Kiai Tafsir Anom V (lima) ayah Muhammad Adnan berjumlah 10 orang yaitu:
1. Raden Ngabei Diprodipuro alias Muhammad Qomar.
2. Raden Ngabei Tondhodipuro (Raden Ketib Cendhono), alias Muhammad Ridwan.
3. Raden Nganten Mursoko alias Mardiyah.
4. Kiai Haji Raden Muhammad Adnan, alias Shauman.
5. Kiai Kanjeng Raden Tumenggung Pengulu Tafsir Anom VI. Sebelum bergelar Raden Ketib Winong, dan nama kecilnya Sahlan.
6. Raden Ngabei Darmosuroto alias Muhammad Thohar, nama kecilnya Muhammad Ishom.
7. Raden Nganten Maknawi.
8. Raden Nganten Sumodiharjo, alias Siti Maryam.
9. Raden Nganten Projowiyoto alias Marfu'ah.
10. Raden Nganten Condrodiprojo alias Marhaman.
Melihat dari silsilah di atas Muhammad Adnan adalah putra yang ke 4 dari Tafsir Anom V (lima), saudara dari Pengulu Tafsir Anom VI sebagai pengganti Pengulu Tafsir Anom V, adik kandung atau saudara nomor lima.
Muhammad Adnan dilahirkan dan dibesarkan di kampung Kauman dan tinggal di rumah tradisional Jawa berbentuk joglo serta berpendapa besar. Mengenai bentuk rumah di Jawa yang ditentukan oleh bangunan atapnya, ada yang dinamakan rumah limasan, rumah serotong, rumah joglo, rumah penggangepe, rumah rumah daragepak, rumah macan jerum, rumah klabang nyander, rumah tajuk, rumah kutuk ngambang, dan rumah sinom.
Dari sekian banyak macam bentuk rumah tersebut rumah limasan adalah yang paling sering ditemui dan menjadi tempat kediaman keturunan penetap desa pertama, di samping rumah serotong. Adapun rumah joglo seperti yang ditempati Muhammad Adnan adalah porotipe rumah bangsawan.
Pada masa kecil dan remajanya suasana hidup yang meliputinya masih dipengaruhi oleh feodalisme; tradisi Kasunanan Surakarta sangat nampak sifat kefeodalannya.
Stratifikasi masyarakat Jawa tempo dulu dalam kenyataannya hanya dibagi menjadi tiga bagian; raja (pangeran), bangsawan, dan petani. Feodalisme Jawa berada pada puncaknya bertepatan dengan pengaruh Belanda yang telah masuk bukan saja dalam arti geografis, melainkan juga masuk kedalam struktur masyarakat Jawa. Sepanjang zaman itu empat tingkat dapat dibedakan; pertama para raja (monarkhi), kedua para kepala daerah (provinsi) lebih kurang setaraf dengan para bupati modern, ketiga para kepala desa, dan keempat massa penghuni desa.
Dapat dicontohkan pada penampilan ayahanda Muhammad Adnan, yakni Tafsir Anom V, dalam kesehariannya sering memakai jubah dan bersorban sebagaimana umumnya busanana ulama pada masa itu. Namun beliau sebagai pejabat kraton, kiai kanjeng pengulu ini memakai kain batik, berjas beskap hitam berenda-renda dan punggungnya diselipkan keris sebagai kelengkapan busana tradisional jawa. Tutup kepalanya bercorak khusus, kombinasi model udheng jawa dan sorban yang berwarna putih.
Pakaian model ini dipakai dalam tugas dinas ke kantor Yogaswara (departemen Urusan Agama Kraton), atau menghadap Sri Susuhunan ke kraton, selain itu beliau diiringi oleh para pembantunya yang membawa payung kebesaran yang berwarna hijau kuning keemasan. Orang-orang yang berjumpa dengan iring-iringan pisowanan itu biasanya lalu berjongkok, kadang-kadang disertai sembah (hormat) dengan tangan yang dirapatkan ke hidung.
Muhammad Adnan tinggal bersama orang tuanya di rumah pengulon (tempat pengulu), selain sebagai rumah juga dipakai semacam "kantor" yang mengurusi NTR (nikah, talak, rujuk) dan masalah keagamaan Islam, terutama yang menyangkut keluarga kasunanan.
Rumah pengulon berada di kampung kauman di sebelah utara masjid Agung. Letak yang demikian itu sesuai dengan tradisi kota di Jawa pada umumnya dan tata kota di ibu kota kerajaan Surakarta dan Yogyakarta pada khususnya, yakni istana (kraton), raja (bupati) disebelah selatan, dengan alun-alun di mukanya dan masjid disebelah baratnya, di sekitar Masjid (kauman) tinggal para agamawan (pemimpin, kiai dan santrinya).
Kebijaksanaan meletakkan tempat ulama dan para santrinya dekat dan kraton adalah usaha untuk menjalin hubungan yang dekat antara raja (pemimpin pemerintahan atau umara) dengan ulama (pemimpin agama). Rumah-rumah paman Muhammad Adnan berada di sekeliling rumah induk pengulon.


B. Pendidikan Muhammad Adnan
Muhammad Adnan pertama kali mengenal huruf-huruf Al-Qur'an (huruf Arab) melalui ayahnya sendiri Tafsir Anom V. Waktu itu belum banyak sekolah yang didirikan, apalagi sekolah yang memberikan baca tulis huruf Al-Qur'an. Sedangkan sekolah Rakyat baik yang dinamakan Volksscool (sekolah desa) mapun HIS (Hollands Inlandse School) bisa dihitung dengan jari.
Pengetahuan menulis dan membaca Jawa di peroleh di sekolah partikulir di Solo. Sedangkan pengetahuan baca tulis huruf latin dan pengetahuan umum lainnya mula-mula diperoleh dengan belajar secara pribadi dengan mengundang guru dirumahnya.
Dengan memperhatikan bahwa ayah Muhammad Adnan adalah seorang kanjeng raden penghulu Tafsir Anom V (lima), seorang ulama bangsawan sebagai abdi dalem (pegawai) kraton Surakarta maka tidak mengherankan jika darah perjuangan mengalir kepadanya. Dengan dukungan pendidikannya tentang agama, baik di lingkungan keluarga maupun di pesantren, sehingga dapat membentuk jiwanya dengan nilai-nilai agama di kumudian hari, menjadikannya sebagai seorang pejuang untuk nusa, bangsa dan agama.
Tetapi kemudian Adnan berkesempatan juga memperoleh pendidikan formal di sekolah rakyat, dan sesudah berdiri Madrasah Manba'ul Ulum, diapun belajar disana sampai selesai.
Selain di Madrasah Manbaul Ulum, pada usia 13 tahun Muhammad Adnan juga belajar dan memperdalam ilmu agama Islam di berbagai pesantren di Jawa Tengah dan Jawa Timur. Antara lain, pesantren “Mojosari” Nganjuk pada Kyai Zaenuddin, pesantren “Mangunsari” pada Kiai Imam Bukhari, pesanten “Tremas” Pacitan pada Kyai Dimyati Abdullah, lalu kembali ke Surakarta berguru kepada Kiai Idris di Pondok Jamsaren. Pondok Jamsaren ketika itu merupakan pesantren yang besar dan terkenal, dengan kiainya yang masyhur, dan yang juga mendapat simpati dari Sri Susuhunan.
Di Pondok Jamsaren Muhammad Adnan mempelajari sampai hafal kitab nahwu Alfiyah, karya Ibnu Malik. Alfiah adalah kitab gramatika bahasa Arab yang ditulis dalam bentuk puisi yang terdiri dari 1.000 bait. Keadaan kamar pondok pada waktu itu dinding penyekat kamar bukan dari batu bata merah melainkan dari gedhek (bambu yang di anyam). Jadi kalau ada anak yang menghafal dengan suara nyaring, maka di kamar sebelahnya akan mendengarnya dengan jelas.
Untuk alat penerangan belum digunakan listrik melainkan lampu teplok, yakni lampu minyak tanah yang bisa digantungkan di dinding atau diletakan di meja. Para santri hidupnya sangat sederhana. Tidurnya tidak ada yang berkasur, senin dan kamis mereka berpuasa sunnat.
Secara formal bersekolah di Madrasah Manbaul Ulum, madrasah yang sangat populer pada masa itu, tamat 21 April 1906, yang selama dua tahun telah lulus dengan mendapat ”Syahadah Islamiyah” No. I. Kamudian melanjutkan mengaji, memperdalam Agama Islam ke Hejaz, Makkah dan Madinah selama 8 tahun.
Pada tahun 1908 ayahanda, pengulu Tafsiranom V berkeinginan agar diantara putra-putrinya ada yang memperdalam ilmu agama Islam di tanah suci Makkah Al-Mukarromah. Pilihan ayahnya jatuh pada tiga putranya yakni: Muhammad Adnan Ali as-Shauman, Sahlan, dan Ishom alias Muhammad Thohar. Berangkatlah ketiga putranya itu ke Makkah Al-Mukarramah untuk mengaji, meningkatkan ilmu agama Islam, waktu itu Muhammad Adnan berusia 17 tahun.
Di Makkah Muhammad Adnan bersama kedua saudaranya belajar di Madrasah Darul Ulum dan berguru kepada beberapa kiai dan biaya belajar ditanggung orang tuanya sendiri, Pengulu Tafsir Anom V. Diantara guru-gurunya di Makkah adalah:
Kiai Mahfudz at-Tirmisi (1868-1919) dari Tremas Pacitan yang menjadi ulama di Makkah, telah mendapat ijazah dalam berbagai disiplin ilmu pengetahuan agama Islam dari para pengarang kitab yang hidup sebelum abad XV. Kiai Mahfudz at-Tirmisi sebagai ulama yang memiliki otoritas dalam bidang hadis memiliki silsilah dari gurunya, Abu Bakar ibnu Muhammad Syata al-Makki sampai al-Bukhari.
Kiai Idris, Syaikh Syatho dan Syaikh Ahmad Khatib Al-Minangkabaui (1855-1916) lahir di Bukit Tinggi dan pada tahun 1876 dibawa ayahnya ke Makkah dan kemudian bermukim di sana, serta memiliki kedudukan yang tinggi dalam mengajarkan agama, yaitu sebagai imam mazhab Syafi’i di Masjid al-Haram. Ia memiliki keahlian dalam bidang ilmu berhitung dan ilmu ukur, terutama digunakan dalam bidang hukum Islam. Dengan beberapa alasan ia menentang tarekat dan juga menentang harta pusaka menurut garis matrineal yang berlaku pada adat Minangkabau dalam hukum waris.
Muhammad Adnan bersama kedua saudaranya mengaji dengan tekun dan hidup sederhana sebagai layaknya santri. Ditengah-tengah masa studinya di Makkah ayahnya memerintahkan salah satu diantara ketiga bersaudara mau belajar di Universitas Al-Azhar, Kairo, Mesir. Atas persetujuan bersama, yang berangkat ke al-Azhar adalah saudara mudanya yaitu Muhammad Isham.
Menjelang tahun 1914 karena suasana dunia internasional genting, yaitu setelah terbunuhnya orang penting di Sarajevo yang menjadi penyebab perang dunia pertama, dan pada waktu di Arabia timbul bahaya kekurangan makan. Ayahnya memerintahkan agar putra-putranya kembali ke tanah air. Dimungkinkan ada kekhawatiran, jika nanti timbul peperangan besar, maka hubungan antara jazirah Arab dan Indonesia menjadi terputus dan dapat menyebabkan para mukimin Indonesia di Makkah terlantar hidupnya.
Oleh karena itu Muhammad Adnan bersaudara memutuskan untuk memenuhi perintah ayahnya pulang ke tanah air. Dengan naik kapal laut mereka kembali ke tanah air dan pada tahun 1916 tiba dengan selamat. Sekembali ke Indonesia beliau masih belajar lagi di madrasah Manbaul Ulum Solo.
Karena ketekunannya dalam mencari ilmu, Muhammad Adnan sampai mendapatkan gelar Profesor dalam ilmu Fiqh.
C. Membina Rumah Tangga
Muhammad Adnan ketika belajar di Makkah kenal dengan Kiai Haji Akram, seorang saudagar berasal dari Laweyan Surakarta dan haji Akram akhirnya menjadi kakak mertua Muhammad Adnan. Haji Akram memilih cucunya untuk dijodohkan dengan Muhammad Adnan. Cucu H. Akram adalah Siti Maimunah putri kedua H. Shafawi, yang dilahirkan di Surakarta tahun 1907.
Dengan persetujuan kedua keluarga Tafsir Anom V dan H. Shafawi, dilangsungkan pernikahan antara Muhammad Adnan dan Siti Maimunah Keduanya saling mebantu dan melengkapi, Muhammad Adnan seorang yang alim dalam ilmu agama Islam, sedangkan Maimunah keturunan saudagar muslim, dan terdidik taat beragama.
Sesudah pernikahannya dengan Siti Maimunah, kemudian Muhammad tidak lagi tinggal di rumah mertua H. Syafawi akan tetapi Muhammad Adnan tinggal dirumah yang terpisah.. Rumah itu terletak di jalan Bumi 9, kampung Tegalsari. Di sebelah jalan Bumi 9 berdiri sebuah masjid yang didirikan atas usaha Haji Shafawi dan Muhammad Adnan, serta dibantu oleh masyarakat muslim Tegalsari.
Dari perkawinannya dengan Siti Maimunah, Allah menganugrahkan amanah (titipan) 15 orang anak, laki-laki dan perempuan. Anak pertama sampai yang keenam atas kehendak Allah tidak diberi umur panjang. Putra-putri Muhammad Adnan yang pertama sampai keenam meninggal pada usia antara 1 sampai 2 tahun.
Pada tanggal 21 April 1930 Muhammad Adnan dianugrahi anak laki-laki yang ketujuh dan diberi nama dengan salah satu nama dari asma'ul husna, yakni Abdulhayi (Hamba Allah yang bersifat hidup). Berturut-turut lahirlah putranya yag lain.
Adapun jumlah putra-putri Muhammad Adnan berjumlah delapan orang yaitu:
1. Abdul Hayi (1930-2003) dengan istri Masadah, dikaruniai 6 orang anak.
2. 'Abdulllah (1931-1999) dengan istri Maryati, dikaruniai 8 orang anak.
3. Abdul Basit (1933-2003) dengan istri Makrifah, dikarunia 6 orang anak.
4. Muhtaromah (1936-2002) dengan istri M. Ishom, dikaruniai 5 orang anak.
5. 'Abdul Hakim (1937-1996) dengan istri Siti Maemunah, berputra 3 orang anak.
6. 'Abdul Nur (1938) dengan istri Bidayah, berputra 3 orang anak
7. 'Abdul Hadi (1940) dengan istri Ita Siti Khatijah, dikaruniai 3 orang anak
8. 'Abdul Latif (1943) dengan istri Normala, dikarunia 3 orang anak.
Selain sebagai ibu rumah tangga Maimunah istri Muhammad Adnan juga menjadi pengusaha batik dan tenun. Ketika usaha tenunnya berkembang, Muhammad Adnan bersama istrinya pindah kerumahnya sendiri, di jalan Bumi 1, sebelah selatan madrasah Ta’mirul Islam, tidak jauh dari rumah mertuanya.
Pada 1940 ketika Muhammad Isa, ketua Hoofd Voor Islamitische Zaken meninggal dunia, Gubernur menunjuk Muhammad Adnan sebagai gantinya. Berhubung dengan jabatan baru itu, ditinggalkannya jabatan sebagai Hoofd Pengulu Landraad Surakarta. Pada bulan Desember 1941 berangkatlah Muhammad Adnan bersama keluarganya ke Jakarta yang pada waktu itu masih bernama Betawi.
Ketika tinggal di jalan Kramat Raya, istri Muhammad Adnan mangandung putranya yang bungsu. Pada tanggal 6 Muharram 1363 Hijri atau bertepatan dengan 13 Januari 1943, Maimunah melahirkan putranya yang ke-9 (bungsu), bernama Abdul Latif lahir dalam keadaan selamat, akan tetapi ibunya Maimunah mengalami pendaharan terlalu banyak yang akhirnya jiwanya tak tertolong lagi.
Almarhumah dimakamkan pada tanggal 13 Januari 1943, dipemakaman Umum "Kawi-Kawi" di kawasan Gang Sentiong, Jakarta. Setelah tenggang waktu satu tahun dari wafatnya almarhumah Maimunah, Ibu Nyai Pengulu Tafsiranom V menganjurkan kepada putranya Adnan, agar menikah lagi dengan Nyonya Salamah, seorang Janda yang dahulu menjadi istri almarhum adiknya, Muhammad Ishom yang meninggal pada tahun 1941.
Muhammad adnan (57 tahun) menerima anjuran ibundanya, dan melangsungkan pernikahannya dengan Salamah binti Masyhuri, yang dilahirkan pada 10 Agustus 1911. pernikahan berlangsung pada bulan Desember 1943.
Pada hari Jumat, 17 Agustus 1945 Tahun Masehi, atau 17 Agustus 2605 menurut tahun Jepang, Proklamasi Kemerdekaan Indonesia dibacakan oleh Ir. Soekarno yang didampingi oleh Drs. Mohammad Hatta di Jalan Pegangsaan Timur 56, Jakarta Pusat. Peristiwa ini disambut gembira oleh seluruh rakyat Indonesia, dan juga keluarga Muhammad Adnan. Sejak proklamasi kemerdekaan itu rumah dan kantor Mahkamah Islam Tinggi tempat Muhammad Adnan bekerja tiada lagi dikibarkan bendera “hinomaru”. Sebagai gantinya, sang Merah Putih dikibarkarkan di rumahnya di Jakarta, bahkan di seluruh Indonesia.
Sebagai wakil sekutu, kedatangan tentara Inggris untuk melucuti tentara Jepang dan membebaskan tawanan perang Sekutu tidak menjadikan kota Jakarta menjadi lebih aman. Ketegangan-ketegangan semakin menjadi karena disamping tentara Inggris, ada tentara Belanda yang menyelundup di belakangnya. Pertempuran terjadi dimana-mana antara tentara Belanda/Sekutu dengan pemuda-pemuda Indonesia sehingga situasi kota tidak aman. Berhubung dengan itu, Muhamad Adnan memutuskan untuk memindahkan keluarganya ke kota Surakarta.
Muhammad Adnan beserta seluruh keluarganya berangkat ke Surakarta pada bulan Oktober 1945, dengan naik kereta api dari stasiun Jatinegara. Muhammad Adnan dari rumah menuju ke stasiun berkendaraan truk PMI (Palang Merah Indonesia) karena Muhammad Adnan menjadi penasehat PMI pusat Jakarta. Jalan menuju stasiun nampak sepi, dan tembakan-tembakan terdengar disana-sini. Namun demikian perjalanan tiada mengalami hambatan, dan rombongan keluarga Adnan selamat tiba di stasiun Jatinegara.
Kereta api yang ditumpangi Muhammad Adnan yang sarat oleh penumpang berangkat dari stasiun Jatinegara senja hari, dan tiba di stasiun Balapan Surakarta keesokan harinya kira-kira pukul 08.00 pagi. Rumah yang dituju adalah rumah pengulon “Dalem Pengulon”, di Kauman tempat Muhammad Adnan dulu pernah hidup bersama orang tuanya. Saat itu Dalem Pengulon dalam keadaan kosong setelah Ibunda Nyai Pengulu Tafsir Anom meninggal awal tahun 1945.
Pada tahun 1946 Muhammad Adnan kembali lagi ke Jakarta untuk membenahi kepindahan kantor Mahkamah Islam Tinggi dari Jakarta ke Surakarta. Bnyak kantor, jawatan, departemen-departemen yang sudah hijrah ke daerah-daerah yang aman, terutama ke Yogyakarta dan Surakarta. Pemindahan ini mengikuti kebijaksanaan pemerintahan Republik Indonesia yang menghijrahkan Pusat dari Jakarta ke Yogyakarta. Kemudian Yogyakarta menjadi ibukota revolusi. Dalam menghijrahkan MIT (Mahkamah Islam Tinggi) Muhammad Adnan dibantu oleh paniteranya, Muhammad Junaidi dan beberapa karyawan.
D. Perjuangan-perjuangan Muhammad Adnan
1. Bidang Pendidikan
Sepulangnya dari Makkah masyarakat muslim di Surakarta Sangat berharap agar Muhammad Adnan dapat mengamalkan dan meneruskan ilmu yang sudah dipelajarinya itu kepada masyarakat. Sedatangnya dari tanah suci Makkah, menjadi seorang putera mantu Haji Shafawi, Tegalsari, Muhammad Adnan sangat giat usaha amalnya untuk menggerakkan pelajaran Islam hingga berhasil baik. Kampung Tegalsari itu sekarang menjadi pusat pergerakan Islam, dan disitu didirikan masjid yang besar dan modern.
Sebenarnya Muhammad Adnan berkeinginan ingin mendirikan pesantren sendiri, akan tetapi karena ada tugas lain yang tak kalah pentingnya dengan mengelola pesantren. Meskipun demikian, ia tetap ingin menyebarluaskan ilmu agama Islam. Bidang yang dianggap tepat untuk menampung cita-citanya itu ialah bidang keguruan dan pendidikan. Muhammad Adnan sebenarnya kurang suka menjadi abdi dalem (pegawai kraton), priyayi atau pegawai negri. Berpangkal wasiat ayahandanya, telah mengantarkan Muhammad Adnan pada suratan takdir bahwa sampai akhir hayatnya ia harus membaktikan dirinya kepada Allah, bangsa dan negara melalui pegawai negri.
Banyak orang yang berdatangan di rumahnya. Orang-orang dari berbagai kalangan untuk beguru dan mempelajari agama Islam. Ada diantara mereka dari kalangan anak muda, orang tua dan wanita. Orang yang berlatar belakang awam, orang-orang sederhana dan ada yang tergolong intelek. Diantara golongan orang yang intelek terdapat guru-guru sekolah umum, misalnya Soemadi dan Koesban, keduanya adalah guru HIS. Mereka mengaji diluar jam kerja, yakni dari ashar sampai maghrib.
Melihat kegiatan pengajian yang padat itu, ayahandanya memerintahkan anak-anaknya untuk medirikan sekolah. Itu dipenuhi dengan mendirikan sekolah Bawaleksana (khusus putri), Madrasah Tarbiyatul Aitam (Pendidikan anak-anak yatim) dan madrasah Syari’ah (pendidikan Agama Islam, khusus laki-laki). Ketiga jenis sekolah itu semuanya memberikan pendidikan agama Islam. Sedangkan sekolah Bawaleksana yang hanya khusus putri itu memberikan pendidikan umum dan agama.
Sebagai pendidik Muhammad Adnan pernah diangkat menjadi guru pada sekolah Madrasah Islamiyah di Pasar Kliwon (1916-1923), yang kemudian menjadi Holland Arabische School. Beliau juga menjadi Mahaguru pada ”Kenkoku Gakuin” (Persiapan Sekolah Tinggi Hukum) zaman pendudukan Jepang.
Pada tahun 1948 Kementrian Agama RI, Muhammad Adnan diserahi membentuk SGHI (Sekolah Guru Hakim Islam) di Surakarta, yang kemudian pindah ke Yogyakarta dan berganti nama SGHA (Sekolah Guru Hakim Agama), kemudian menjadi PHIN (Pendidikan Hakim Islam Negeri) dan beliau sebagai ketuanya.
Muhammad Adnan pernah memimpin Madrasah Manba’ul Ulum Surakarta, setelah beliau kembali belajar dari Makkah. Madrasah Manba’ul Ulum pertama kali dipimpin dipimpin oleh oleh Kiai Arfah, setelah Muhammad Adnan diangkat menjadi Penghulu maka pada tahun 1919 madrasah itu dipimpin oleh K.H. Jumhur, dan pada tahun 1946 Manbaul Ulum dipimpin oleh K.H. Jalil Zamakhsari.
Pada tahun 1951 Muhmmad Adnan mempelopori berdirinya ”Al Djami’atul Islamiyah” Perguruan Tinggi Islam Indonesia (PTII) di Surakarta bersama KH. Imam Ghozali dan KH. As’at. Selanjutnya PTII Solo ini digabung dengan UII Yoyakarta dan dikenal kemudian dengan nama UII cabang Solo. Di tahun ini pula beliau diangkat sebagai Dewan Kurator/Pengawas serta diangkat sebagai Guru Besar tidak tetap pada Fakultas Hukum PTII.
Tahun 1950 ketika Perguruan Tinggi Agama Islam Negeri (PTAIN) diresmikan diberi kepercayaan menjadi ketuanya sampai perguruan tinggi itu menjadi IAIN (1960), selain itu beliau juga diangkat menjadi guru besar dalam bidang fiqh beliau juga menjadi dosen luar biasa di Univesitas Gajah Mada (UGM) Yogyakarta.
Dalam pendidikan keluarga, Muhammad Adnan memberikan pendidikan agama kepada anak-anaknya ada yang dilakukan dengan secara langsung dan ada pula yang dilaksanakan secara tidak langsung. Mulai usia 4 tahun, semua putranya diberikan pelajaran menghafal al-Fatihah ayat demi ayat, di teruskan dengan surat-surat dari juz ‘Amma yang pendek-pendek. Tuntunan menghafalkan firman Allah Swt. yang berupa surat-surat yang pendek itu diberikan langsung oleh Muhammad Adnan. Sesudah itu, ibu anak-anak melatih lagi hafalan-hafalan surat-surat pendek seperti surat al-Ikhlash, al-falaq dan yang lain-lain. Makin meningkat umur anak itu mangkin meningkat hafalannya.
Ketika di Jakarta, Muhammad Adnan memerintahkan kepada istrinya agar anak-anak ditingkatkan pendidikan agamanya, bukan hanya agar dapat membaca al-Qur’an saja melainkan perlu juga diberi pelajaran pokok-pokok ajaran Islam tentang Rukun Iman, Rukun Islam, tuntunan Ibadah dan Akhlak. Untuk melaksanakan maksud ini, anak-anak yang sudah agak besar (8-11 tahun) setiap sore sehabis sholat Ashar diberikan pendidikan dan pelajaran agama yang meliputi bidang tauhid, fiqh, dan Akhlaqul Karimah.
Buku rujukan (reference) yang digunakan Ibu adalah Aqidatul Awam untuk tauhid, Safinatun Najat untuk fiqh dan Hidayatul Islam karangan Muhammad Adnan sendiri untuk akhlaq. Kitab Hidayatul Islam adalah kitab karya Muhammad Adnan sendiri dengan memakai berbahasa Jawa berhuruf Arab Pegon, yang banyak juga disertai sumber-sumber Al-Qur’an dan Al-Hadis.
Dalam kebijaksanaan pendidikannya, meskipun Muhammad Adnan tergolong ulama, beliau tidak pernah mengharuskan putra-putranya memilih bidang studi tertentu. Ia tidak pernah memberi tekanan kepada anak-anaknya. Kalau beliau mempunyai pendapat tentang arah studi yang perlu ditempuh anak-anak, secara persuasif ia hanya menganjurkan dan bukan mewajibkan.
Muhammad Adnan juga tidak pernah memerintah anak-anaknya yang berlebihan, dikarenakan menjaga supaya anak-anaknya terhindar dari dosa. Sebab perkara yang mubah bisa menjadi wajib jikala perintah itu dari orang tua ditujukan kepada anak-anaknya. Jangan sampai membebani anak yang akhirnya mengakibatkan dosa bagi si anak jika tidak dikerjakan perintah tesebut.
2. Bidang Peradilan Agama
Ketika Mataram telah terpecah-pecah menjadi Kesultanan, Kasunanan, Mangkunegaran dan Pakualaman pada masa pemerintahan kerajaan tersebut juga masih dijumpai lembaga keagamaan yang disebut kepengulon yang diduduki oleh Abdi Dalem Pamethakan atau Abdi Dalem Yogaswara, dan lainnya, yang dikepalai oleh Penghulu Ageng (Kraton).
Kelompok Ulama pejabat atau disebut pula penghulu adalah ulama yang kedudukan peran sosial keagamaannya berada di jalur at-tasyri’ wal-qadla, yakni aktivitas sosial keagamaan yang menonjol sebagai pelaksana bidang kehakiman yang menyangkut hukum (syari’at) Islam.
Ternyata, jabatan penghulu tidak hanya ada di lingkungan kraton. Di kabupaten-kabupaten yang menjadi bawahan wilayah kekuasaan kerajaan juga didapati ulama yang menduduki jabatan penghulu. Sampai tiba saatnya tanah Jawa dikuasai orang-orang Eropa (Belanda) dan kemudian daerah kekuasaan tersebut dinamakan gubernemen. Oleh karena itu sejak abad 17, orang-orang Eropa sudah menjumpai apa yang disebut dengan penghulu, yang merekea namai Opper-priester dan chiefi priest. Priester atau priest adalah sebutan bagi ulama pejabat di mata orang-orang Eropa.
Sejak masa pemerintahan Gubernur Jenderal Daedles, penghulu di setiap kabupaten di wilayah kekuasan gubernemen mulai ditarik ke dalam lingkungan pengadilan negeri (landraad) yang dibentuk oleh pemerintah Belanda. Jabatan penghulu yang disandang dalam lingkungan pengadilan negeri adalah penasihat hukum adat, karena itu mereka di panggil dengan sebutan Kanjeng Penghulu Landraad. Rangkap jabatan ini hanya dikenakan kepada penghulu kepala (hoofd-penghulu) pada tiap-tiap kabupaten, dan rangkap jabatan ini tidak mengalami perubahan hingga pemerintah Belanda mengakhiri kekuasannya di Hindia Belnada (jawa).
Sejak masa pemerintahan Hindia Belanda, pemerintahan Jepang sampai masa pemerintahan Republik Indonesia. Muhammad Adnan mempunyai tugas sebagai hakim agama dalam lingkungan peradilan agama Islam.
Bermula beliau menjadi anggota luar biasa Pengadilan Agama di Surakarta berdasarkan besluit Gouverner Hindia Belanda yang berkedudukan di Bogor, No. 52 Tanggal 36-12-1919. kemudian dengan Besluit Residen Surakarta, No. 190 tanggal 9-10-1921, diangkat menjadi Adjunct Pengulu Landraad (pengadilan Negeri) Surakarta.
Tugas Penghulu Landraad antara lain melakukan pengambilan sumber terhadap terdakwa atau saksi yang diajukan ke Pengadilan negeri (Landraad). Disamping itu juga dimintai nasihat tentang perkara yang ada hubungannya dengan hukum Islam, misalnya yang menyangkut perkara warisan.
Untuk memperjuangkan hak-hak pengadilan Agama, Muhammad Adnan pada tahun 1937 mendirikan organisasi kepenguluan yang diberi nama Perhimpunan Pengoeloe dan Pegawainya, disingkat PPDP yang ruang lingkupnya meliputi wilayah Jawa dan Madura. Pada masa itu Pengadilan Agama hanya terdapat di Jawa dan Madura. Pada tahun 1940 perkumpulan ini berencana untuk mendirikan sekolah pendidikan penghulu di Surakarta disebut “Madrasah Pengoeloe”.
PPDP ini mempunyai cabang dimana-mana tempat, di seluruh Indonesia. Meskipun Muhammad Adnan menjadi ketua Mahkamah Islam Tinggi Jakarta, tetapi beliau tetap menjadi ketua pengurus besar PPDP, hanya pengerus harian tetap di Solo.
Setelah itu Dengan surat keputusan Gubernur jenderal Hindia-Belanda tanggal 11-8-1941 Nomor 6, terhitung mulai 1-8-1941. Muhammad Adnan diangkat menjadi ketua Mahkamah Islam Tinggi di Jakarta. Setelah Muhammad Isa, ketua Mahkamah Islam Tinggi pertama meninggal dunia.
Muhammad Adnan mengusulkan agar pemerintah membentuk suatu departemen yang khusus mengurusi dan memperhatikan urusan keislaman. Yang dihaapkan dapat memberikan penerangan tentang Islam dan memberikan bimbingan kepada umat muslim guna kemaslahatan bersama. Dengan adanya departemen urusan agama Islam diharapkan sebagaian urusan masyarakat, terutama yang berhubungan dengan Islam dan kaum Muslimin dapat terurus dengan seksama.
3. Perjuangan Muhammad Adnan pada Negara
Muhammad Adnan sebagai mantan Ketua PPDP yang sudah bubar masih sering dimintai saran-saran oleh organisasi yang mempersatukan perhimpunan-perhimpunan agama dan partai-partai Islam, yakni Majlis Islam A’la Indonesia (MIAI) yang didalamnya terdapat persyarikatan Muhammadiyah dan Nahdlatul Ulama. Partai Islam Indonesia (PII), diwakili para pemimpinnya W. Wondoamiseno (ketua majlis), Harsono Cokroaminoto, dr. Sukiman Wiyosanjoyo.
Pada zaman Jepang Muhammad Adnan diangkat menjadi anggota Jakarta Tokubetsu Si Sangi Kai (Dewan Kota) bersama-sama dengan A. Muhsin Dasaad (direktur perusahaan dagang “Kancil Mas”), dr Slamet Sudibyo (dokter swasta), Ir. Safwan (pegawai Denki Kosya), Thee Jin Seng (saudagar keturunan Tionghoa), R.H.O. Junaedi (pemimpin Harian Umum “Pembangun”).
Jepang mengharap keenam orang itu mencerminkan wakil masyarakat Indonesia, termasuk keturunan Cina. Pembesar-pembesar Jepang jika memerlukan informasi tentang masalah keislaman sering menghubungi Ketua Mahkamah Islam Tinggi yaitu Muhammad Adnan.
Muhammad Adnan, salah satu dari sepuluh orang ulama, yang mengajukan permohonan kepada pengusaha Jepang, agar diizinkan membentuk Barisan Penjaga Tanah Jawa yang diatur menurut Peraturan Islam.
Sepuluh orang ulama terkemuka tersebut adalah: (1) Kiai H. Mas mansur (2) Kiai R. H. Muhammad Adnan (3) Dr. H.A. Karim Amrullah (4) Guru H. Mansur (5) Guru H. Kholid (6) iai H. Abdul Majid (7) Guru H. Ya’kub (8) Kiai H. Junaidi (9) H. Mukhtar (10) H. Muhammad Sodri, sebagai wakil umat Islam pada tanggal13 september 2603 (1943 M) datang di Gunseikanbu (Kantor Pemerintah Militer Jepang) untuk menyampaikan surat kepada Seiko Sikikan (Panglima tentara Jepang. Surat itu antara berisi permohonan untuk mendirikan Barisan Penjaga Pulau Jawa yang diatur menurut peraturan Islam.
Pasukan sukarela pertama yang dikenal dengan nama ”Tentara Pembela Tanah Air” (Peta). Pasukan sukarela kedua kemudian dikenal dengan nama “hizbullah”, yang terdiri dari pemuda Islam.
Pada akhir penduduk Jepang, 1 April 1945, Muhammad Adnan diangkat menjadi Kepala Kantor Syumubu Dai Ni Kaityo. Syumubu adalah Departemen Urusan Agama, seperti yang pernah diusulkan pada awal kekuasaan Jepang. Di dalam Syumubu itu terdapat pula tokoh-tokoh Islam yang lain seperti Kiai Hasyim Asy’ari (yang kemudian mengundurkan diri) dan Kiai Abdul Kahar Muzakir.
Rumah Muhammad Adnan sering disinggahi gerilyawan dan putra-putrinya ikut bagian dalam perlawanan terhadap Belanda dan disitu masih tertinggal baret, sarung pistol dengan satu megazijn peluru vikers. Inilah yang menyebabkan Muhammad Adnan dan mertuanya ditahan, bahkan mertua Muhammad Adnan terpaksa ditahan satu malam di TBS (Territorial Batalion Surakarta).
Muhammad Adnan disuruh menghadap pejabat Sipil Belanda di Surakarta. (Asisten Residen) dan dibujuk agar mau bekerja dengan Belanda. Muhammad Adnan tetap bertahan sampai akhir masa pendudukan Belanda dan menjadi seorang muslim yang republikein.



4. Bidang Politik
Muhammad Adnan menjadi anggota DPA RI pada tahun 1947. Muhammad Adnan, seorang ulama yang hanya berpendidikan pesantren tanpa pendidikan Barat dengan tanpa ditanya lebih dahulu diangkat menjadi anggota Lembaga Tinggi Negara, yaitu Dewan Pertimbangan Agung (DPA). Pemberitahuan pengangkatan itu hanya diketik diatas sehelai kartu pos cetakan Jepang, tertanggal 28 September 1945 dan ditandatangani Sekretaris Negara Mr. A.G. Pringgodigto.
Pada masa Revolusi segala-galanya memang sederhana, bahkan sangat sederhana. Anggota DPA mendapat uang kehormatan 200 rupiah per bulan. Ini berlaku bagi mereka yang tidak merangkap pegawai negeri. Mereka yang merangkap jabatan sebagai pegawi negeri hanya memperoleh uang duduk (uang sidang) 20 rupiah sehari dan uang harian 15 rupiah.
Kemudian menjadi anggota DPR di Jakarta pada tahun 1950 – 1955. Selain itu pada tahun 1956 – 1959 beliau juga menjadi anggota Konstituante RI di Bandung hasil Pemilihan Umum pertama.
Pengalihan tugas dari DPA ke DPR menyebabkan Muhammad Adnan lebih banyak lagi berkecimpung dalam dunia politik. Karena Muhammad Adnan dulu diusulkan oleh Masyumi yang merupakan satu-satunya partai politik Indonesia yang didirikan berdasarkan keputusan muktamar Umat Islam di Yogyakarta pada tanggal 7 November 1945.
5. Diplomasi
Untuk menyampaikan keputusan sidang kabinet Hatta Pada tanggal 19 September 1945, Kiai H. Masykur pergi ke Surakarta untuk menemui Muhammad Adnan dan Syamsi. Dalam usaha mengirimkan misi haji Republik Indonesia yang pertama ke tanah suci Makkah pada musim haji 1948.
Pemerintah RI mengutus Muhammad Adnan menjadi Ketua Misi Haji dan Misi Diplomasi pertama ke Saudi Arabia/Timur Tengah bersama KH. Sholeh Saudi, H. Syamsir dan KH. Ismail Banda untuk mengadakan kontak dengan Raja Ibnu Saud dan pemimpin-pemimpin negara Islam yang sedang menjalankan ibadah haji, untuk merundingkan mendapat pengakuan Negara RI dan mengatur perjalanan haji yang pertama setelah Perang Dunia II.
6. Sosial Kemasyarakatan
Beliau menjadi penasehat PMI pusat Jakarta pada tahun 1947. Juga penasehat Syuriah PBNU serta Dewan Pimpinan Umum PBNU pada tahun 1950.
Muhammad Adnan selain sebagai pendidik beliau juga seorang arsitek yang merancang masjid jami’ Tegalsari. Pencetus gagasan untuk membangun masjid Jami’ Tegalsari adalah : K.H.R. Muhammad Adnan, H. Sonhaji, H. Djayadi, KH. A. Mudzakir, Ali Imron dan KH. M. Umar bin Akram. Semua orang tersebut di atas sudah wafat dan nama-nama beliau tertulis di prasasti tembok belakang masjid.
Setelah bangunan masjid berdiri Muhammad Adnan segera menghubungi penguasa kraton Surakarta untuk mengajukan izin mendirikan sholat jum’at. Atas beberapa pertimbangan, antara lain semakin banyaknya penduduk yang bermukim jauh dari masjid jami’ (masjid kraton) akhirnya pihak kraton memberikan izin kepada takmir masjid Tegalsari untuk menyelenggarakan shalat jum’at.
Pada tengah malam dinihari, selasa pon 24 juni 1969, pukul 03.30 Muhammad Adnan dipanggil oleh Allah Swt., setelah mencapai usia 80 tahun. Jenazahnya dimakamkan hari itu juga ke Pajang, Surakarta setelah dishalatkan di masjid Syuhada Yogyakarta dan masjid Tegalsari, Surakarta.
E. Karya-karya Muhammad Adnan
Muhammad Adnan aktif juga menulis baik dalam bahasa Indonesia atau bahasa Jawa karangannya antara lain:
1. Tafsir Al-Qur’an Suci Basa Jawi
Merupakan kitab tafsir Al-Qur’an lengkap 30 juz menggunakan bahasa Jawa dan memakai aksara roman yang diterbitkan oleh PT. Al-Ma’arif, Bandung. Kitab tafsir ini sudah mengalami beberapa kali cetak, pertama kali kitab ini ditulis dengan menggunakan bahasa Jawa aksara Arab pegon, kemudian disusun kembali dengan memakai aksara roman (latin)
2. Hidayatul Islam
Adalah kitab yang berisi tentang akhlaq (budi pekerti) yang ditulis dengan memakai berbahasa Jawa berhuruf Arab Pegon, yang banyak juga disertai sumber-sumber Al-Qur’an dan Al-Hadis.
3. Tuntunan Iman dan Islam
Buku ini merupakan rangkuman kuliah Agama Islam beliau waktu menjadi dosen di UGM Yogyakarta yang dibukukan. Kitab ini diterbitkan oleh penerbit Djajamurni, Jakarta, 1963.
4. Ilmu Fiqh dan Ushulnya
Merupakan pidato pengukuhan Perguruan Tinggi Agama Islam Negeri (atas pengangkatannja sebagai guru besar dalam ilmu fiqh pada upatjara dies natalis ke-V) 26 September 1956. Buku ini diterbitkan oleh Perguruan Tinggi Agama Islam Negeri, Yogjakarta, 1956.
5. Peringatan Hari-Hari Besar Islam
Buku ini memakai bahasa Indonesia. Diterbitkan oleh penerbit Sitti Sjamsijah, tahun 1969.
6. Khutbah Jum’at Basa Jawa
Pertama kali dicetak dengan bahasa Jawa dengan aksa Arab pegon kemudian selanjutnya dicetak dengan aksara latin dengan bahasa Jawa. Buku ini sampai tiga jilid.
7. Mutiara Hikmah
Merupakan pendapat, buah pikiran dari Muhammad Adnan yang ditulis beliau yang pernah maupun yang belum disiarkan dalam berbagai media masa baik surat kabar, majalah atau radio. Buku ini disusun oleh putranya yaitu Abdul Basit Adnan yang diterbitkan oleh penerbit Mardikintaka, Surakarta.
Dari keterangan atau ungkapan di atas tentang aktivitas Muhammad Adnan, baik sebagai penyiar agama Islam, pendidik, penulis buku dan kitab tafsir, serta perjuangannya terhadap negara di bidang politik, peradilan agama, dan diplomasi serta yang lainnya
Semua itu menunjukan bahwa, beliau adalah sebagai sosok seorang ulama yang berpengaruh di masyarakat, berbudi luhur dan berpengetahuan luas. Beliau menggunakan bahasa Jawa dan Indonesia dalam karangannya supaya mudah dicerna dan diamalkan bagi masyarakat luas.

Sabtu, 16 Januari 2010

Tujuan Belajar

Di sekolah, guru-guru kalian tentu mula-mula mengajar kalian membaca. Lalu kalian belajar angka-angka dan pelajaran matematika. Tetapi pernahkah kalian berpikir, untuk apa kalian pergi ke sekolah dan belajar ini semua?
Sebagian besar kalian akan berkata bahwa semua ini penting artinya untuk mendapatkan pekerjaan yang layak ketika kalian telah dewasa. Ini berarti kalian hampir memastikan akan dewasa suatu hari. Memang, akan datang suatu hari ketika anak-anak akan memanggil kalian, ”Bibi, kakek, atau paman...” seperti kalian memanggil bibi, kakek, atau paman kalian sekarang. Dengan kata lain, kalian suatu ketika akan dewasa jika Allah menghendaki kalian dewasa.
Namun, kalian tidak akan terus tumbuh dewasa selamanya. Setiap orang akan sedikit demi sedikit bertambah tua, lalu akan datang saat mereka harus meninggalkan dunia ini dan memulai kehidupan baru di akhirat. Ini juga akan terjadi pada kalian. Setelah masa kanak-kanak, kalian mungkin akan tumbuh menjadi remaja dan bahkan mencapai usia tua. Kemudian akan datang saat kalian harus hidup di akhirat.
Kalian pergi ke sekolah untuk mempersiapkan masa depan. Penting bagi setiap orang untuk melakukan persiapan seperti ini. Namun, semua usaha ini terbatas untuk hidup di dunia ini saja. Bagaimana dengan hal-hal yang kalian butuhkan untuk kehidupan berikutnya? Kalian harus mempersiapkan kehidupan akhirat kalian juga. Pernahkan kalian memikirkannya?
Ketika kalian dewasa, kalian perlu mencari nafkah, yang berarti kalian harus mempunyai pekerjaan. Itulah mengapa kalian bersekolah. Nah, begitu pulalah, agar kalian berbahagia di akhirat ada beberapa hal yang harus kalian lakukan. Yang paling penting dari semua itu adalah segera mulai mengenal Allah, Yang Maha Tinggi, dan bagaimana cara kita bersikap menurut yang dikehendaki oleh Allah. (by: Harun Yahya)

Jumat, 15 Januari 2010

shahih

A. Shahih
Kitab shihah adalah
Selain Shahih Bukhari , masih ada sejumlaah buku yang di sebut shahih yaitu : Shahih Muslim, Al Muwatha’ Karya Imam Malik, Al Mustadrak Karya Al Hakim. Dan ada beberapa kitab yang di susun dengan kriteria shahih oleh penulisnya yakni, “ Shahih Ibnu Khuzaimah”, karya abi Abdillah Muhammad Bin Ishaq dan “Shahih Ibnu Hibban”, karya Abu Hattim Muhammad Bin Hibban.
Disini kami memebahas salah satu kitab shahih yang tekenal , yakni kitab Shahih Bukhari.
Nama lengkap Bukhari adalah Abu Abdullah Muhammad bin Ismail bin Ibrahim bin al-Mughirah al-Ja’fari, dilahirkan Jum’at 13 Syawwal 194 H di Bukhara. Bapaknya Ismail adalah seorang muhadits yang termashur.
Imam Bukhari mulai belajar hadits pada saat beliau masih sangat remaja, bahkan belum mencapai usia sepuluh tahun. Sebelum mencapai usia 16 tahun, beliau telah berhasil menghafalkan beberapa buku tokoh ulama’. Beliau tidak hanya menghafal matan hadits dan buku ulama’ terdahulu, tetapi juga mengenal betul biografi para perawi yang mengambil penukilan sejumlah hadits, data tanggal lahir, meninggal, tempat lahir dan sebagainya.
Ketika Imam Bukhari tiba di Baghdad, para ulama’ berdesak-desakan untuk menguji kekuatan daya hafal beliau yang termashur. Mereka menunjuk sepuluh orang ulama’ untuk menguji hal tersebut. Setiap orang diantara mereka membacakan sepuluh hadits. Semua ulama’ tersebut mengganti sanad hadits yang dibacakan, dan menempatkannya secara acak pada matan yang berbeda. Setelah semua penanya selesai membacakan dan menanyakannya, Imam Bukhari secara sistematis menerangkan kepada mereka isnad mana yang tepat untuk matan hadits yang mereka bacakan dan tanyakan.
Pada masa akhir kehidupannya, Imam Bukhari banyak mengalami kekerasan dan dipaksa oleh pemerintah untuk meninggalkan negaranya. Imam Bukhari meninggal pada hari Sabtu malam hari raya pada tahun 256 H.
Hadits-hadits yang dimuat didalam shahih Bukhari ternyata berjumlah 9.082, namun jika dihitung tanpa pemuatan ulang, hadits tersebut hanya berjumlah 2.602. hadits tersebut tidak termasuk sejumlah hadits mauquf dan maqtu’.
Banyak ulama’ mengkritik karya Bukhari, kritik berkenaan tentang 80 perawi dan 110 hadits. Kritik menunjukkan bahwa meskipun hadits-hadits tersebut tidak bercacat (salah atau palsu) namun, ia tidak memenuhi standar tinggi yang telah digariskan oleh Bukhari.
Buku-buku lain yang disebut shahih selain shahih Bukhari, masih ada sejumlah buku yang disebut shahih, seperti : Shahih Ibnu HuzaimahShahih Ibnu Hibban, Shahih Ibnu al-Sakan, Shahih al-Sharki, Shahih Muslim, dan inilah kitab termashur setelah Shahih Bukhari.

B. Al- Sunnan
Al-sunnan yaitu “ kitab- kitab yang di susun berdasarkan bab-bab tentang fiqih, dan hanya memuat hadis yang marfu’ saja agar di jadikan sumber bagi para fuqaha’ dalam mengambil kesimpulan hukum.dalam al sunnan tidak terdaat pembahasan tentang aqidah, sirah, munaqib, dan lain sebagainya, tapi hanya terbatas hadis-hadis fiqih dan hadis-hadis hukum saja.
Adapun kitab – kitab sunan yang terkenal adalah, sunnan abi dawud, sunnan an- nassa’i, sunnan ibnu majah, sunnan asyafi’I, sunnan ad-darimi, sunnan ad-darruqudni, sunnan al baihaqi.
Disini kami hanya memebahas salah satu kitab sunan yang tekenal , yakni kitab Sunnan Abu Dawud
Nama lengkap Abu Dawud adalah Abu Dawud Sulaiman bin al-Asy’ats al-Azdi al-Sijistani. Dilahirkan pada tahun 202 H, ada suatu kepastian bahwa beliau telah belajar al-Quran dan literatur bahasa Arab, serta sejumlah materi lainnya sebelum beliau memulai belajar hadits. Dilaporkan, bahwa beliau pengembara ke Khurasan, Rayy, Harat, Kuffah, Baghdad, Tarsus, Damaskus, Mesir, dan Basrah. Beliau telah memulai pengembaraan itu sejak berusia kurang dari 20 tahun. Beliau menghabiskan 20 tahun di kota Tarsus.
Para ulama’ sangat menghargai kemampuan, kejujuran dan ketaqwaan beliau yang luar biasa. Abu Dawud tidak hanya sebagai seorang perawi, pengumpul dan penyusun hadits, tetapi juga seorang ahli hukum yang handal dan kritikus hadits yang baik.
Beliau menikah dan mempunyai beberapa orang putera.salah satu anak beliau biasa pergi bersama belia ketika ada perkumpulan dengan para ulama. Dan beliau wafat di Basrah, pada hari Jum’at, 15 Syawwal 275 H.
Karakteristik kitab sunnan ini adalah beliau tidak menulis atau membukukan lebih dari satu atau dua hadis dalam satu bab, walupun masih banyak hadis-hadis shahih lainya yang menerangkan tentang masalah itu. Beliau menyeleksi sebanyak 4.800 hadits dari 5.000 hadits untuk tujuan itu. Kitab sunan Abu Dawud banyak beredar pada masa hidup pengarangnya. Ali bin Hasan berkomentar bahwa beliau telah mempelajari kitab tersebut sebanyak enam kali dari Abu Dawud. Kitab sunan ini adalah salah satu dari kitab terbaik dan terlengkap dalam bidang hadits-hadits hukum.


D. Al Musnad
Al- musnad merupakan buku yang berisikan tentang kumpulan-kumpulan hadis setiap sahabat secara tersendiri. Jadi sistematika penyusunan kitab ini berdasarkan nama-nama rawi yang meriwayatkan hadis tersebut, Dan berisikan tentang hadis-hadis shahih, hasan,dan dhoif.
Urutan nama-nama sahabat dalam musnad kadang berdasarkan huruf hijaiyah atau alphabet-sebagaimana di lakukan oleh banyak ulama-, dan ini paling mudah di pahami, kadang juga berdsarkan kabilah dan suku, atau yang berdasrkan yang paling dulu masuk islam, atau berdasarakan Negara.
Pada sebagian musnad kadang hanya terdapat kumpulan hadis salah seorang sahabat saja, atau hadis sekelompok sahabat seperti sepuluh orang yang di jamin masuk surga. Al musnad yang di buat para ulama hadis jumlahnya banyak , menurut Al Kittani dalam bukunya Ar- Rislah Al Mutatharafah, dan diantara musnad –musnad yang terkelal yakni:Musnad Abu Dawud Sulaiman Bin Dawut At-Thayalisi(Wafat 204 H), Musnad Abu Bakar Abdullah Bin Az-Zubair Al-Huamidi (Wafat 219 H), Musnad Imam Ahmad Bin Hambal (Wafat 241 H), Musnad Abu Bakar Ahmad Bin Amru Al-Bazzar (Wafat292 H ), Musnad Abu Ya’la Bin Ali Mutsanna Al-Mushilli(Wafat 307 H).
Adapun dalam makalah ini kami hanya membahas salah satu musnad yang paling terkenal yaitu, Musnad Imam Ahmad Bin Hambal.
Bapak imam ahmad adalah sorang mujtahid yang hidup di basrah. Dia mengembara ke marwah, dan di sanalah ahmad di lahirkan, tanggal 20 rabi’ al awal 164 h. kemudian pada saat beliau masih kecil , beliau di bawa ke bagdad. Bapaknya meninggal ketika ahmad berusia tigapuluh tahun. Ibunya adalah shafiyah bin maymunah binti abdul malik asy-syabani.
Beliau belajar hadis sejak umur 16 tahun , dan beliau mengahfal berjuta-juta hadis sepanjang hidupnya.beliau adalah salah seorang pelopor dalam sejarah islam yang mengombinasikan hadis dengan ilmu fiqih.pada waktu itu beliau sangat membela islam dan menentang kekhalifahan pada masa itu, karena waktu itu aliran mu’tazilah –pemikir bebas islam-banyak berpengaruh terhadap diri khalifah ma’mun al mutasim dan al wasiq. dan akhirya beliau di masukan ke dalam penjara, dan sejumlah buku telah di tulis di dalam pengasinganya.
Adapun karakterisik musnad imam ahmad , yakni berisikan tentang rangkuman masalah hukum. Karya ini lebih merupakan sebuah koleksi hadis-hadis berdasarkan rujukan sahabat tertentu, dan di tempatkan di dalam bab khusus. Karenanya, para penyusunya berbeda satu dengan lainya dalam pengaturan nama-nama sahabat.banyak diantara mereka memulainya dari khulafa’ al rashidin, dan kemudian di ikuti dengan enam sahabat yan di janjilan masuk surga, lalu di ikuti para sahabat yang pertama masuk islam, dan seterusnya.
Para ahli memperkirakan jumlah hadis yang terkandung dalam musnad imam ahmad sekitar 30.000 – 40.000 hadis.dan barangkali ini jumlah hadis terbesar saat ini.dan kitab ini telah di publikasikan dalam 6 jilid pada tahun 1313 h. pada abad ini, ada dua orang tokoh ulama’ yang mengomentari musnad ini , dan telah merevisinya, salah satunya adalah Syaikh Ahmad ‘Abdurrahman Al Sa’ati, orang tua hasan Al Banna, beliu menyusun musnad ini ke dalam bab-bab hukum. Ulama lainya adalah Ahmad Syakir yang berusaha mempublikasikan ke dalam edisi kritis tentang musnad asli yang di karang ibnu hambal.
Kesimpulan dari uraian di atas, bahwasanya kitab - kitab musnad ini- sebagaimana di sebutkan sebelumya – tidak hanya berisi kumpulan hadis sahih saja, tetapi mencakup semua hadis shahih, hasan, dan dhaif, Dan tidak berurutan berdasarkan bab-bab fiqih. Maka tidak mudah penggunaan kitab ini, dan akan mempersulit seorang yang ingin memepelajarinya karena kesulitan mendapatkan hadis- hadis tentang hukum fikih, atu hadis-hadis tentang suatu permasalahan.

Selasa, 12 Januari 2010

HIK Catur

WARUNG NAGKRINGAN MAS CATUR
Rahmat Munazil: 30.06.4.1.005
"Bisnis" hik berkembang pesat di kota Solo dan Yogyakarta. Di setiap ruas jalan utama ataupun gang kampung dapat dengan mudah ditemui para pedagang nasi kucing dan berbagai lauk sederhana pendukungnya. Bahkan, jika dulu warung ini dikenal juga sebagai warung remang karena buka malam hari dengan penerangan lampu minyak, saat ini di siang hari pun telah mulai bertebaran di setiap sudut permukiman. Di tengah mencekiknya harga makanan, angkringan makin ramai. Mereka menjadi pilihan karyawan dan PNS di tanggal tua.
Di setiap emper pertokoan dan tikungan di Solo dan Yogyakarta kita selalu menemui gerobak angkringan. Di gerobak ini berbagai jenis makanan rakyat dijajakan: tahu, tempe, pisang goreng, singkong rebus, kacang bawang, sosis, bihun, ataupun bakmi goreng. Berbagai minuman juga tersedia: teh panas, kopi, dan wedang jahe. Dan yang paling khas adalah "nasi kucing", nasi yang dibungkus dengan porsi "minimalis" seperti jatah makan kucing.
Di Surakarta, pedagang angkringan sering dijuluki hik. Entah dari mana asal kata itu, yang pasti dulu mereka berjualan berkeliling kota sambil sesekali berteriak"hik!" untuk memanggil pembeli. Ada yang bilang hik itu dari "heik" bahasa Jepang yang berarti "ya".
Pedagang hik biasanya berjualan sepanjang malam. Meski bekerja sepanjang malam, penghasilan mereka tak seberapa. Sebab, sebagian besar dagangan mereka titipan. Pedagang hanya mendapat komisi dari penjualan makanan itu.
Berbeda dengan warung hiknya mas Catur ini, yang bernama lengkap Catur Hardiyanto lahir pada tanggal 17 November 1974 di Kartasura, yang beralamat di Kemasan Rt 01/ 07 Ngadirejo Kartasura, bapak dengan 2 orang anak ini, berdagang dengan sebagian besar dagangannya sendiri, tiap sore mas Catur memasak sendiri sebagian besar dagangannya sendiri yang dibantu oleh istrinya. Pedagang hik yang mangkal di pertigaan kemasan Rt 01/ 09 dekat SD Kartasura 4, Solo ini berkata: "Jangan dikira setiap hari kami dapat jutaan rupiah. Itu keliru. Paling banter cuma bisa bawa pulang 500 ribu hingga 700 ribu rupiah kotor."
Warung hik punya mas Catur ini berbeda dengan warung hik lainnya, yang biasanya hanya menggelar dagangan dengan memasang tutup gerobak tenda. tetapi mas Catur mempunyai tempat tetap mangkal sendiri yang berbentuk rumahan dan nasi kucing ditempat mas Catur ini tidak memakai bungkusan lagi tetapi memakai piring, walaupun memakai piring nuansa nasi kucingnya masih kental yaitu nasi putih dan secuil daging ikan bandeng.
Sebenarnya mas Catur lebih suka berjualan dangangan lain. Tapi apa boleh dikata, berbagai jenis usaha yang pernah dilakoninya gagal. "Mungkin ndak hoki," katanya sembari tertawa. "Barangkali memang bakat saya jualan wedang dan jajanan angkring."
Ia pernah merantau ke Sumatera dan pernah juga dia ke Jakarta, tapi gagal. Kemudian dia membuka warung hik tersebut mulai tahun 1999. Sejak harga kebutuhan sembilan bahan pokok mencekik leher, nasi kucing yang murah meriah menjadi alternatif. "Kandungan gizi tidak penting-penting amat. Pokoknya asal murah meriah dan kenyang," kata mas Catur sembari tertawa.
Sebagai seorang Muslim mas Catur menjalankan bisnisnya dengan ketentuan-ketentuan yang sudah disyariatkan Islam dia tidak mau melakukan hal-hal yang diharamkan oleh Islam, seperti melakukan hal-hal yang menipu pembeli dan menjual makanan yang diharamkan oleh Islam, seperti daging babi, dideh (darah yang dimasak) dan yang lainnya yang diharamkan oleh Islam, yang dijual di warung hiknya mas Catur ini semua halal.
Dulu mas Catur ini juga mempuyai pembantu untuk melayani pembeli, tetapi kemudian keluar. Dalam menggaji karyawannya ini mas Catur juga menggunakan sistem yang ada dalam Islam yaitu membayar "sebelum kering keringatnya" dia membayar sesuai dengan apa yang dia sudah sepakati dengan karyawannya itu dengan tidak mengundur-undur pembayaran.
Demikian tadi hasil wawancara kami dengan pedagang hik/ angkringan mas Catur. Angkringan yang dulu menjadi ikon kaum papa seperti pengayuh becak dan buruh kecil, kini menjadi warung alternatif bagi orang-orang yang mulai terbelit kesulitan ekonomi. Orang-orang kelas menengah seperti karyawan, pegawai negeri sipil, dan polisi atau anggota TNI pun tak jarang menyantap nasi kucing.

Sabtu, 09 Januari 2010

Islam vs Orientalis

Islam VS Orientalis

A. Pendahuluan

Orientalis bagi sebagian kalangan memang sering dipersepsikan sebagai "momok" yang harus diwaspadai dan disingkirkan jauh-jauh. Lepas dari keberadaannya yang problematis, memang kadang orientalis melakukan kajian atau analisis dengan tujuan untuk mendiskreditkan (menyempitkan) dan menghegemoni dunia Islam. Namun di sisi lain, diakui ataupun tidak mereka telah memberikan kontribusi yang sangat berharga bagi peradaban Timur dengan memperkenalkan metodologi analisis yang obyektif dalam menyorot sebuah paradigma.
B. Pembahasan
1. Pengertian Orientalis
Banyak definisi orientalisme di kalangan para pakar dan ulama. Menurut Dr. Muthabaqani, pakar orientalisme dari Fakultas Dakwah Universitas Imam Muhammad Ibnu Sa’ud Madinah, istilah orientalisme mulai muncul sejak dua abad yang lalu [abad ke-18 M], meski aktivitas kajian bahasa dan sastra ketimuran (khususnya Islam) telah terjadi jauh sebelumnya.
Menurut Rudi Paret (orientalis Jerman, lahir 1901) orientalisme adalah “ilmu ketimuran (‘ilmu al-syarq) atau ilmu tentang dunia timur (‘ilmu al-‘alam al-syarqiy).” Sementara A.J. Arberry menggunakan Kamus Oxford untuk mendefinisikan orientalis, yaitu “orang yang mendalami berbagai bahasa dan sastra dunia timur.”
Definisi lain yang lebih ideologis dikutip juga oleh Muthabaqani dari pendapat Ahmad Abdul Hamid, dalam kitabnya Ru`yah Islamiyah li Al-Istisyraq (hal. 7). Menurut Ahmad Abdul Hamid, orientalisme adalah “studi-studi akademis yang dilakukan oleh orang-orang Barat yang kafir –khususnya Ahli Kitab— terhadap Islam dan kaum muslimin, dari berbagai aspeknya : aqidah, syariah, budaya (tsaqafah), peradaban (hadharah), sejarah, sistem-sistem kehidupanya (nuzhum), kekayaaan alam, dan potensi-potensinya…”
Yang menarik dari definisi orientalisme Muthabaqani di atas, beliau memasukkan karya intelektual muslim yang dipengaruhi oleh orientalis, sebagai kegiatan orientalisme. Karena itu, Fazlurahman boleh juga disebut seorang orientalis, karena dia mengadopsi pikiran Joseph Schahcht tentang sejarah hukum Islam. Harun Nasution, juga seorang orientalis, karena memandang sunnah (hadits) dengan cara pandang orientalis, seperti Schacht dan Ignaz Goldziher. Nurcholish Madjid (murid Fazlurahman) juga tiada lain seorang orientalis, karena banyak mengadopsi pikiran sekuler dari Harvey Cox dalam bukunya The Secular City (1967). Walhasil, Luthfi Asy-Syaukanie juga hakikatnya seorang orientalis, karena banyak mengadopsi ide kaum orientalis seperti Arthur Jeffrey, Theodore Noldeke, dan Joseph Schacht.
2. Sejarah Munculnya Orietalis
Singkatnya, sejarah orientalisme memiliki beberapa tahapan. Sebelum negara-negara dunia ketiga merdeka, orientalisme memiliki misi melanggengkan penjajahan atau imperialisme dunia Eropa, dan dalam waktu yang sama melakukan da'wah Nasrani. Di abad ke-19 sampai awal 20 banyak Islamolog yang memiliki latar belakang gereja. Duncan mac Donald, sebagai contoh, adalah ilmuan islamologi handal seluruh hidupnya didedikasikan sebagai pendeta kenamaan di Amerika.
Dari banyak pendapat , yang lebih mendekati kebenaran Muthabaqani mengutip pendapat Dr. Ali an-Namlah dalam kitabnya Al-Istisyraq wa Al-Adabiyat Al-‘Arabiyah hal. 31-33 yang berkata,”Bahwa semua peristiwa-peristiwa itu hanyalah tanda-tanda awal (irhashat) bagi orientalisme. Apa yang datang setelah itu dapat dianggap sebagai pendalaman ide tentang orientalisme, perluasan orientalisme, dan peningkatan perhatian terhadap orientalisme.” Jadi, titik awal yang sesungguhnya dari orientalisme adalah sejak abad ke-16 M, yakni suatu masa di mana Eropa tengah mengalami kebangkitan dengan aktivitas Reformasi Gereja, Renaissance, dan Humanisme. Sejak abad ke-16 itulah di Eropa mulai banyak karya cetak berbahasa Arab, juga mulai banyak lembaga-lembaga kajian yang mengeluarkan berbagai karya berupa buku. Pada tahun 1632 telah terbentuk lembaga studi bahasa Arab di Cambridge, dan pada tahun 1638 terbentuk pula di Oxford.
3. Tujuan Orientalis
Keberadaan kaum orientalis bagi dunia Islam telah menimbulkan perdebatan panjang. Sebagian kaum muslim menolak karena mengangap bahwa kajian para orientalis dipandang sangat melecehkan Islam karena telah mewartakan bahwa Islam adalah agama "saduran" dari agama dan budaya sebelumnya. Namun di sisi lain terdapat umat muslim yang mengambil jalan kompromi, yakni memanfaatkan konsep-konsep positif yang ditelurkan oleh barat untuk memperkuat barisan Islam
Nilai positif yang sangat signifikan adalah bahwa dewasa ini adalah kesadaran baru dikalangan orientalis untuk menyajikan Islam sesuai dengan warna aslinya. Diantara mereka adalah Mitsuo Nakamura dari Jepang, Markwood Ward dari Arizona State University, AS, dan Jhon L. Esposito dari College of the Holy Cross. Imuan-ilmuan ini bahkan sangat bersimpati terhadap Islam, baik Islam sebagai realita sosial maupun sebagai agama.
Apa yang menjadi tujuan kaum orientalis dalam melakukan kegiatannya? Jelas, tujuan-tujuan orientalis ini beraneka ragam , Orientais itu sangat erat hubungannya dengan Kristenisasi semuanya termasuk akal pembaratan dan senjata perang kebudayaan yang mencolok. Keduanya mempunyai medannya sendiri-sendiri, tetapi mereka saling melengkapi dalam hal bahwa orientalisme mempersiapkan racun yang disebarluaskan oleh kristenisasi di lembaga-lembaga dan perguruan-perguruan tinggi.
Orientalis bertujuan mengabdi kepada penjajahan melalui jalan keilmuan, mempersiapkan semua teori yang digunakan untuk melemahkan dan menghinakan Islam, Rasulnya, sejarahnya, dan Kitabnya. Semua teori tersebut digunakan sebagai alat penipu oleh sebagian orientalis. Teori-teori tersebut ditegakan diatas landasan hawa nafsu dan keterpihakan, bukan pada metode ilmiah sebagaimana yang mereka gembar-gemborkan. Telaah umum diketahui bahwa mereka itu menetapkan hipotesis-hipotesis yang sesuai dengan hawa nafsu mereka, kemudian menggali dari Al-Qur'an, Hadits, dan berbagai riwayat (atsar) yang mendukung pandangan mereka, tak peduli dengan cara mencabut nash-nash dari konteksnya, ataupun dengan menyimpangkan artinya.
4. Pengaruh Orientalis Terhadap Islam
Suatu perkembangan menakjubkan dari gerakan kaum modernis adalah meningkatkan jumlah sarjana Muslim tertentu yang tunduk dibawah slogan "Islamic Researc", guna menerima validitas serta kebenaran semua usaha kaum orientalis dalam merongrong serta keyakinan serta praktek-praktek Islam fundamentalis dengan tanpa mempermasalahkannya. Keberhasilan penting dari pengaruh orientalisme modern ini ialah kemampuannya dalam merangsang para sarjana Muslim ternama melalui metode ilmiah "researc" yang denga berani menyatakan bahwa kitab suci al-Qur'an serta hadis, keduanya merupakan gabungan dan tidak merupakan wahyu yang diturunkan kepada Nabi suci. Dikatakan bahwa kitab suci al-Qur'an itu adalah tak ubahnya seperti Bibel dan kitab suci agama-agama lainnya yang telah mengalami perubahan dan modifikasi dengan aluran waktu.
Jika hal ini tidak bisa dibuktikan (yang seharusnya demikian), maka kaum orientalis menginginkan agar para sarjana muslim tersebut paling tidak akan membedakan secara tegas antara bagian-bagian sejarah dalam kirtab suci tersebut yang sesuai dengan masayarakat Arab yang primitif pada masa Nabi. Dan konsekuensinya adalah bahwa ajaran-ajaran yang terkandung didalamnya tidak sesuai lagi dengan masa sekarang serta prinsip-prinsip keabadian moral moral kebutuhan universal.
4. Respon Islam terhadap Orientalis
Jika saat ini orentalisme masih terlalu ampuh dibanding ilmuwan-ilmuwan dari Timur atau negara-negara berkembang, sesungguhnya hal ini menunjukan bahwa ilmuwan-ilmuwan timur masih terjajah oleh supremasi pengetahuan dan informasi dunia Barat. Dalam rangka memerdekakan diri secara total, disiplin ilmu baru oksidentalisme (occidentalism) sebagai tandingan orientalisme perlu dikembangkan. Tujuan utama oksidentalisme adalah, sebagaimana anjuran intelektual Muslim dari Mesir, Prof. Hassan Hanafi (1995), adalah upaya pembebasan atau dekolonisasi. Jika orientalisme adalah studi ketimuran dari dunia Barat, Oksidentalisme adalah studi tentang Barat dari dan oleh dunia Timur.
Oksidentalisme akan mengimbangi supremasi dunia Barat yang sudah terlalu dominan. Jika orientalis turut memperkuat Amerika sebagai polisi dan pusat dunia, oksidentalisme akan membangkitkan bangsa lemah dan negara-negara berkembang yang selama ini berada dipinggiran. Dengan oksidentalisme, dunia ketiga khususnya Indonesia akan mampu mempertahankan watak nasionalnya. Hal ini sangat penting karean tren globalisasi ternyata telah menindas dan menggilas budaya-budaya kecil dari negara-negagra adikuasa.
C. Kesimpulan
Aqidah Islam adalah aqidah yang jelas dan tegas, jauh dari keraguan dan sangkaan serta khayalan (imaginasi). Dengan aqidah yang betul, manusia mampu mengendalikan hawa nafsunya; dan aqidah inilah yang diperkokoh oleh akal supaya tetap baik dan sampai pada hakekat yang sebenamya.
Dengan begitu jelaslah bahwa Orientalisme adalah alat yang dipakai oleh musuh-musuh Islam yang ingin merusak dan menggerogoti da’wah dan ajaran Islam yang sangat sesuai dengan fitrah manusia tersebut.
Para Orientalis berusaha keras memerangi Islam dengan segala cara, gaya dan dayanya dan dengan berbagai bentuk; karena tujuan mereka terang-terangan anti dan ingin menghancurkan Islam itu sendiri. Syukur, Allah selalu melindungi ummat Islam dan menenangkan ummat Islam, betapapun benci dan lihainya orang kafir.
D. Daftar Pustaka
Badawi, Abdurrahman, Ensiklopedi Orientalis, Yogayakarta: LKIS, Cet II, 2003.
Muthabaqani, Mazin bin Shalah, Al-Istisyraq, (www.saaid.net)
Mas'ud, Abdurrahman Menuju Paradigma Islam Humanis, Yogyakarta: Gama Medika, 2003.

al-Jundi, Anwar, Pembaratan Di Dunia Islam, Diterjemah: Ahsin Muhammad, Bandung: PT. Rosdakarya, 1991.

Jameela, Maryam (Margaret Marcus), Islam Modernisme, penerjemah: A. Januri, Syafiq A. Mughni, Surabaya: Usaha Nasional, th..

Hermeneutik

METODE HERMENEUTIKS


A. Pendahuluan
Al- Quran alam Islam menampilkan kaidah- kaidah hukum yang abadi dalam menyiapkan segala yang diperlukan manusia baik yang berkaitan dengan spiritual maupun material. Tidak mengheraqnkan jika dikatakan bahwa Al- Qur'an adalah kitab yang kompleks dan berisi petunjuk yasng komprehensif dalam seluruh aktivitias kehidupan manusia, Dalam mengungkap isi kandungan Al- Quran maka manusia wajib mempelajari dan memahaminya. Untuk memahaminya adalah melalui apa yuang disebut dengan interpretasi atau penafsiran. Yakni, dalam hal ini manusia dengan segenap upaya dan keorisinalitas makna dan nilai yang terkandung tetap terjaga.

B. Pembahasan

Pengertian
Hermeneutika diambil dari bahasa Yunani, Hermeneus, yang secara etimologi berarti tafsir (interpretasi), terjemah, pemberitahuan, dan lain sebagainya. Spekulasi historis menyebutkan hermeneutika pada mulanya pada dewa Yunani Kuno, Hermes. Dalam sejarah Yunani, Hermes adalah utusan Tuhan. Ia diberi tugas untuk menyampaikan berita dari Sang Maha Dewa yang dialamatkan pada manusia. Menurut Hosain Nasr, Hermes tidak lain adalah Nabi Idris as., yang disebut dalam Al- Quran. Dalam legenda pekerjaan Nabi Idris adalah menenun (tukang tenun). Qomaruddin Hidayat menyebutkan bahwa kata kerja memintal, padanannya dalam bahasa latin adalah tegere, sedang produknya adalah texus, atau tex. Texus atau text merupakan isu sentral dalam kajian hermeneutik. Karenea itu hermeneutika berhubungan dengan penyampaian berita yang dapat dimengerti. Dengan demikian hermeneutika yang diambil daari peran Hermes adalah sebuah ilmu dan seni menginterpretasikan sebuah teks.
Hal senada juga dikemukakan oleh Zygmun Bauman, Bahwa Hermeneutika berasal dari Yunani yang berkaitan dengan "upaya menjelaskan dan menelusuri" pesan dan pengertian dasar dari sebuah ucapan atau tulisan yang tidak jelas, kabur, remang-remang dan kontradiktif, sehingga menimbuklkan keraguan dan kebingungan bagi pendengar atau pembaca.
Berangkat dari pemahaman tersebut, Hemeremneutiks itu ialah pembahasan tentang kaidah (teori) atau metode yang digunakan untuk memaknai atau menafsirkan suatu teks (pesan) agar didapatkan pemahaman yang benar, kemudian berusaha menyampaikan kepada audien sesuai tingkat dan daya serap mereka, hermeneutiks secara substansial tidak jauh berbeda dari Ilmu Tafsir, namun secara konseptual antara kedua istilah itu terdapat perbedaan yang amat mendasar.

Persamaan Dengan Ilmu Tafsir
Dalam sejarah hermeneutiks tafsir Al-Quran terbagi menjadi dua: pertama, hermeneutika Al-Quran tradisional perangkat metodologinya hanyas sebatas pada linguistik dan riwayat, jadi belum ada rajutan sitematikantara teks, penasfsir, dan audiens sasaran teks. kedua, hermeneutika Al-Quran kontemporer telah melakukan perumusan sistematis ketiga unsur tersebut. Di dalamnya, suatu proses penafsiran tidak lagi berpusat pada teks, tapi penafsir dan satu sisi, dan pembaca disisi yang lain secara metodologis merupakan bagian yang mandiri.
Kesamaannya dengan tafsir adalah bahwa setiap kata tidak mengandung dalam dirinya makna yang independen, sebaliknya kata senantiasa dikaitkan dengan kata yang laian guna melahirkan kata. Kata "khasyyah" digunakan dalam struktur yang berbeda dengan kata "khauf". Karena itu, disitu diperlukan adanya kaidah-kaidah kebahasaan, yang dalam ilmu tafsir dikenal dengaqn kaidah penafsiran. Sedang dlam hermeneutiks dikenal dengan kaidah sintagmantik dan paradigmatik.
Hermeneutiks mempunyai tujuan yang sangat luhur, yaitu ingin menjelaskan, kepada umat suatu ajaranm sejelas-jelasnyaan sejujurnya dalam bahasa yang dimengerti oleh umat itu sendri. Dari itu seorang hermeneunt harus mermahami secara mendalam dan utuh tentang teks yang akan disampaikan kepada umat. Hermeneutiks ada tiga unsur pokok yang harus dipenuhi (triadic struktur) yaitu teks, interpreter, dan audians (penerima tafsir).
Ketiga aspek itu secara implisit berisi tiga konsep pokok yakni 1) membicarakan hakikat sebuah teks; 2) apakah interpreternya memahami memahami teks dengan baik; dan 3) bagaimana suatu penafsiran dapat dibatasi oleh asumsi-asumsi dasar serta kepercayaan atau wawasan para audiens.
Sedangkan hermenutika kesentralan Al-Quran menurut Fazlur Rahman didasari pada dua pilar: pertama, teori kenabian dan hakikat wahyu, dan kedua, pemahaman sejarah. Kedua komponen itu merupakan hermeneutika umumnya terhadap Al-Quran.
Ketiga unsur pokok yang menjadi pilar utama dalam teori hermeneutiks itu tidak jauh beda dari yang dipakai para Ulama' Tafsir dalam menafskan Al-Quran. Ibnu Taumiyyah, misalnya, menyatakan bahwwa dalam setiap proses penafsiran harus diperhatikan tiga hal: 1) siapa yang menyabdakan; 2) kepada siapa ia diturunkan; dan 3) ditujukan kepada siapa.
Perbedaan Hermeneutika dengan Tafsir
Sebelum membahas perbedaan antara Hermeneutika dengan Tafsir, kita perlu tahu terlebih tentang definisi kedua istilah tersebut. untuk pengertian hermeneutik telah dijelaskan pada bab sebelumnya. adapun tafsir menurut Prof. Dr. Nashirudin Baidan adalah “ penjelasan atau keterangan terhadap maksud yang sukar memahaminya dari ayat-ayat Al-Quran. dengan demikian menafsirkan Al Quran ialah menjelaskan atau menerangkan makna-makan yang sulit pemahamannya dari ayat-ayat Al Quran tersebut.” Dari penjelasan diatas, kita telah tahu baik definisi hermeneutik maupun tafsir.
Dr. Ugi Sugiharto menandaskan: di dalam Al-Qur’an ada ayat-ayat yang muhkamat, ada ushul ajara Islam, ada hal-hal yang bersifat tsawabit, semua ayat-ayatnya adalah qhat’iy al tsubut al wurud. Dan bagian-bagiannya ada yang menunjukkan qoth’I al dilalah ada perkara-perkara yang termasuk dalam al ma’lum min al bin bi al dhoruroh. Ada sesuatu yang ijma’ mengenai Al Qur’an dan ada yang dipahami sebagai al Quranyang disampaikan dengan ajalan mutawatir, yang semuanya itu dapat dipahami dan dimengerti oleh kaum muslimin dengan derajat yakin bahwasanya itu adalah ajaran al Qur’an yang dikehendaki oleh Allah. Apabila filsafat Hermeneutika digunakan kepada al-Qur’an, maka yang muhkamat akan menjadi mutasyabihat, yang ushul menjadi furu’, yang tsawabit menjadi mutaqhayyarot, yang qoth’I menjadi dhonniy, yang ma’lum menjadi majhul, yang ijma’ menjadi ikhtilaf, yang mutawattir menjadi ahad, dan yang yakin menjadi dhonn, bahkan syakk.”
Nampaknya, tidak berlebihan apa yang diungkapkan Uki Sugiharto diatas. dalam hermeneutika, sebuah teks kitab suci (Al Qur’an) yang akan ditafsir haruslah dianggap atau diperlakukan seperti teks-teks lain, bukan sebagai teks atau kalam Illahi. Dalam hal ini mereka berpedoman dengan loggo mereka” Jika kitab suci diyakini sebagai tulisan tuhan sendiri, maka siapa yang mampu memahami maksud tuhan secara sempurna”. Berangkat dari asumsi ini para hermeneut (orang yang menafsirkan) berhak mengotak-atik atau mengubah teks kitab suci tersebut. Mereka beranggapan bahwa teks itu selalu lebih luas dari pada apa yang dimaksudkan oleh pengarangnya. Jika hal seperti ini diterapkan dalam al Qur’an, maka yang terjadi semua ayat al Qur’an bisa menjadi relatif maknanya, tidak ada kebenaran mutlamnya. Dan imbasnya tidak ada lagi yang namanya ayat-ayat muhkamat, qathiy dalalah, tsubut dan sebagainya.
Lebih jauh lagi, Prof. Dr. Narhirudin Baidan membedakan antara hermeneutika dengan tafsir, yang secara singkatnya sebagai berikut:
1. Jika dibandingkan antara posisi atau tugas hermes sebagai seorang utusan dewa, dengan Nabi Muhammad sebagai utusan tuhan, maka dalam posisinya sebagai utusan dewa hermes berwenang penuh dalam menyampaikan pesan yang dibawanya. Bahkan ia diberi lisensi untuk melakukan interpretasi bahkan penyaduran pesan selama hal itu sesui dengan audien. Itu berarti dia memperoleh kewenangan yang luar biasa dari dewa tersebut, sehingga terkesan semua yang dikatakannya harus diyakini itu berasal dari dewa. Jika hal ini terjadi maka pesan yang disampaikannya merupakan hasil rekayasa secara pribadi, karena hermes tersebut sudah lepas kontrol dari dewanya. Hal ini sangat berbeda dengan risalah yang dibawa Nabi Muhammad, disini Nabi Muhammad tidak mempunyai kewenangan mengubah sedikitpun risalah yang diterimanya kecuali hanya sekedar menyampaikan, dan menjelaskan apa-apa yang belum dipahami oleh umatnya, jadi dia tidak berhak sama sekali merefisinya. Dalam kaitan ini Allah menegaskan “sekiranya Muhammad berani merevisi sedikit saja (yang kami turunkan) niscaya akan kami cengkram dengan tangan kanan kami, kemudian untuk urat nadinya kami potong. tidak seorangpun diantara kalian yang mampu mempertahankannya.
kemudian lebih jelas lagi Pror. Dr. Nasrudin Baidan membedakan keduanya dalam sekema berikut:



Perbandingan Tugas Risalah-Risalah.
HERMENEUTIK (Hermes) ILMU TAFSIR ( Muhammad)
1. Berwenang Menginterpekasi dan menyedur risalah yang akan disampaikan 1. tidak berwenang mengubah sedikitpun risalah yang akan disampaikan kecuali hanya sebatas menyampikan apa adanya dan sekedar penjelasan kalau ada pesan yang kabur atau kurang jelas.
2. tidak ada kontrol dari risalah yang disampaikan apakah telah sesuai dengan norma yang berlaku apa tidak / belum 2. selalu dibawah kontrol Allah , sehingga Muhammad tidak boleh berbuat sesukannya sendiri

Posisi Rasul setelah Menerima Risalah

Hermeneutik Ilmu Tafsir






2. Dalam Proses penafsiran, hermeneutika tidak mementingkan urutan prosedural yang akan ditetapkan sebagaimana ditegaskan oleh Schleiemacher. “Kitab suci tidak membutuhkan tipe khusus prosedur penafsirannya. betapapu, permasalahan yang mendasar dalam memahami suatu teks adalah mengembangkan gramatika dasar dan kondisi psikologis”.
Dalam hal ini Prof. Dr. Nasrudin Baidan memaparkan bahwa kondisi semacam ini bertolak belakang dengan ilmu tafsir; dimana langkah-langkah prosedural dalam penafsiran Al Qur’an amat dibutuhkan.. Para ulama pada umumnya mengakui bahwa urutan penafsiran itu merupakan salah satu upaya untuk menghasilkan suatu produk tafsir yang representatif dan dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah. Urutan-urutan langlah penafsiran yang ditawarkan oleh ulama ialah menempatkan penafsiran Al Qur’an (ayat) dengan Al Qur’an(ayat) lain pada urutan pertama: kemudian penafsiran al Qur’an (ayat) dengan sunnah (hadits Rasul); kemudian penafsiran sholat dan selanjutnya Tabi’in.
Namun demikian menurutnya hal urutan prosedural seperti itu bukanlah mutlak dan satu-satunya. Artinya urutan-urutan seperti itu digunakan sekaligus atau permasalahan yang dihadapi memang mirip dengan yang terjadi pada tiga generasi itu; jika tidak ditemukan kasusnya pada masa-masa tersebut maka seorang mufassir harus mencari alternatif lain dengan memperhatikan teks, ayat dan konteks pembicaraan.
3. Ruang lingkup hermeneutika berkisar pada tiga elemen pokok yakni teks,interprenter dan audien (konteks, dan sebagainya) atau apa yang diistilahkan dengan triadic stucture yang berarti teori hermeneutik sangat simpel dan umum: tidak memberikan penjelasan yang rinci untuk membimbing para mufassir menemukan sebuah penafsiran yang benar dan representatif atau dalam istilah ilmu tafsir hermeneutik hanya sebatas asbab nuzul , peristiwa-peristiwa atau kondisi psikologis atau sosial yang melatar belakangi turunya suatu ayat yang dalam ilmu hadits tafsir jauh lebih detail dari pada kriteria yang dikembangkan dalam nermeneutik; bahkan mereka tidak hanya menetapkan kaidah-kaidah kebahasan yang berhubungan langsung dengan teks, melaikan menetapkan prasayaratan bagi seorang mufassir yakni selain dia harus mempunyai iktikat yang baik, tidak munafik, dan lain-lain, dia harus mempunyai ”ilmu mauwibah” yaitu ilmu yang dikaruniai Allah hamba-hambanya yang tekun.
4. dalam teori hermeneutik terkesan bahwa seorang hermeneut dapat menafsirkan semua teks tanpa terkecuali selama dia dapat menguasai ketiga unsur dalam herneutik secara baik. sedangkan dalam ilmu tafsir, tidak semua yang ada di dalam al-Qur’an dapat ditafsirkan , akan tetapi ada ayat yang menginformasikan alam Ghaib yang takmungkin dapat dijangkau oleh rasio. dilarangnya menafsirkan ayat yang suprarasional bukan untuk mengekang pemikiran mereka, melainkan untuk membimbing mereka bahwa hal semacam itu tidak terlalu urgen bagi mereka dalam memperoleh bahagia dunia dan akhirat.
5. Dalam teori hermeneutik seorang interpreter memahami diri penulis (pengarang) lebih baik dari pada penulis mengenai dirinya sendiri. Sebaliknya bila masuk kewilayah Al Qur’an teori ini sangat mustahil dapat dipakai sebab al Qur’an tidak dibuat oleh manusia (Muhammad), melainkan diturunkan langsung oleh Allah, sedikitpun tidak ada perubahan olehnya (Muhammad). sangat mustahil bagi manusia memiliki pengetahuan tentang Allah melebihi dari apa yuang diketahui Allah tentang diriNya. bahkan mengenai substansi makhlukNya saja manusia tidak ampu seperti hal-hal yang ghaib.
Urgensi
Dengan hermeneutika, makna yang merupakan konstruksi budaya dan makana yang dimaksud agama dapat dipisahkan satu sama lain. Demikian juga dengan hemermeneutika, makna bahasa akan senantiasa berdialektika dengan realitas budaya, sehingga bahasa akan senantiasa berdialektika dengan realitas budaya, sehingga bahasa akan kontekstual dengan diluar dirinya. Bahasa akan kontekstual, karena makna bahasa tidak tergantung pada hubungan dialektis antara bahasa dengan relitas. Ketika bahasa dibawa kedalam medan semantik yang berbeda dalam analisa semantiknya, maka makna kata juga akan mengalami perubahan. Demikian juga ketika kata dibawa kedalam susunan gramatika yang berbeda, maknanya juga akan berbeda.

C Penutup
Dapat disimpulkan bahwa hermeneutiks merupakan metode berfikir falsafi, radikal, dan ilmiah demi meraih kebenaran yang objektif. Mengingat yang demikian, maka teori-teori atau kaidah- kaidah yang dibahas dalam hermeneutiks lebih diandalkan untuk membantu mufasir dalam proses penelitian karya-karya tafsir, bukan untuk menafsirkan ayat-ayat suci karena dalam memahami ayat-ayat suci Al-Quran seseorang harus memiliki kaedah-kaedah dan teori-teori spesifik yang tidak dibahas dalam hermeneutiks.








D. Daftar Pustaka

Aminuddin, Luthfi Hadi dkk, Hermeneutika Al-Quran, Kodifikasi, Jurnal Penelitian Keagamaan dan Sosial-Budaya, volume 1 no. 1, STAIN Ponorogo.Tahun 2007.
Baidan, Nasruddin, Wawasan Baru Ilmu Tafsir, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 2005.

Jamil, M. Mukhsin, Tekstualitas Al- Quran Dan Problem Hermeneutika, Teologia, Jurnal Ilmu- ilmu Ushuluddin, Volume 17 Nomor 1, Januari, IAIN Walisongo, Semarang, 2006.
Ma'rif, Syamsul, Metode Hermeneutik Untuk Penelitian Agama, Teologia, Jurnal Ilmu- ilmu Ushuluddin, Volume 17 Nomor 1, Januari, IAIN Walisongo, Semarang, 2006.
Mansur, Membaca al-Quran Dengan Metode Baru, Dialogia, Jurnal Studi Islam Dan Sosial, Vol 4 No. 1 Januari-Juni , STAIN Ponorogo, 2006.
Rahman, Fazlur, Gelombang Perubahan Dalam Islam,Studi Fundamentalis Islam, Terjmahan, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2000.
Islamia, Vol. 2004

Tafsir Jalalain

KAJIAN TENTANG KITAB TAFSIR JALALAIN

A. Pendahuluan
Al-Qur'an laksana intan permata yang setiap ujungnya memancarkan cahaya berkilauan. Ilustrasi ini memberikan pengertian bahwa al-Qur'an merupakan mata air yang telah mengilhami munculnya berjilid-jilid kitab tafsir. Mereka, para mufasir yang menulis kitab tafsir itu, menggunakan beragam metode dalam menafsirkan al-Qur'an
Salah satu kitab tafsir yang sangat familier di Indonesia, terutama di kalangan pondok pesantren, adalah kitab tafsir Jalalain. Kitab ini sangat mudah dijumpai karena sampai sekarang pengkajian kitab ini masih dapat kita temukan di berbagai pondok di Indonesia. Dalam makalah ini akan dikaji tentang seluk beluk yang berkaitan dengan tafsir Jalalain.
B. Pembahasan
1. Biografi Pengarang
Kitab ini dikarang oleh dua orang Imam yang agung, yakni Jalaluddin al-Mahalli dan Jalaluddin al-Suyuthi.
Jalaluddin al-Mahalli bernama lengkap Muhammad bin Ahmad bin Muhammad bin Ibrahim bin Ahmad al-Imam al-Allamah Jalaluddin al-Mahalli. Lahir pada tahun 791 H/1389 M di Kairo, Mesir. Ia lebih dikenal dengan sebutan al-Mahalli yang dinisbahkan pada kampung kelahirannya. Lokasinya terletak di sebelah barat Kairo, tak jauh dari sungai Nil.
Sejak kecil tanda-tanda kecerdasan sudah mencorong pada diri Mahalli. Ia ulet menyadap aneka ilmu, misalnya tafsir, ushul fikih, teologi, fikih, nahwu dan logika. Mayoritas ilmu tersebut dipelajarinya secara otodidak, hanya sebagian kecil yang diserap dari ulama-ulama salaf pada masanya, seperti al-Badri Muhammad bin al-Aqsari, Burhan al-Baijuri, A'la al-Bukhari dan Syamsuddin bin al-Bisati. Al-Mahalli wafat pada awal tahun 864 H bertepatan dengan tahun 1455 M.
Sedangkan al-Suyuthi bernama lengkap Abu al-fadhl Abdurrahman bin Abi Bakr bin Muhammad al-Suyuthi al-Syafi'i. Beliau dilahirkan pada bulan Rajab tahun 849 H dan ayahnya meninggal saat beliau berusia lima tahun tujuh bulan. Beliau sudah hafal al-Qur'an di luar kepala pada usia delapan tahun dan mampu menghafal banyak hadis. Beliau juga mempunyai guru yang sangat banyak. Di mana menurut perhitungan muridnya, al-Dawudi, mencapai 51 orang. Demikian juga karangan beliau yang mencapai 500 karangan. Beliau meninggal pada malam Jum'at 19 Jumadil Awal 911 H di rumahnya.
2. Latar Belakang Penulisan
Riwayat hidup al-Mahalli tak terdokumentasi secara rinci. Hal ini disebabkan ia hidup pada masa kemunduran dunia Islam. Lagi pula ia tak memiliki banyak murid, sehingga segala aktivitasnya tidak terekam dengan jelas. Walau begitu, al-mahalli dikenal sebagai orang yang berkepribadian mulia dan hidup sangat pas-pasan, untuk tidak dikatakan miskin. Guna memnuhi kebutuhan sehari-hari, ia bekerja sebagai pedagang. Meski demikian kondisi tersebut tidak mengendurkan tekadnya untuk terus mengais ilmu. Tak mengherankan jika ia mempunyai banyak karangan yang salah satunya adalah Tafsir al-Qur'an al-'Adzim yang lebih dikenal dengan nama Tafsir Jalalain tetapi belum sempurna.
Sedangkan al-Suyuthi-lah yang menyempurnakan "proyek" gurunnya. Pada mulanya beliau tidak berminat menulis tafsir ini, tetapi demi memelihara diri dari apa yang telah disebutkan oleh firman-Nya:
(“dan barang siapa yang buta hatinya didunia ini, niscaya diakhirat nanti ia akan lebih buta dan lebih tersesat dari jalan yang benar”). (Qs, al-Isra’ :72)
maka dia menulis kitab ini, kitab ini selesai ditulis pada hari Ahad, tanggal 10 Syawal 870 Hijriah, Penulisannya di mulai pada hari rabo, awal ramadhan dalam tahun yang sama, kemudian konsep jadinya diselesaikan pada hari Rabu 8 Safar 871 Hijriah.
3. Bentuk, Metode dan Corak Tafsir Jalalain
Istilah bentuk penafsiran tidak dijumpai dalam kitab-kitab 'ulum al-Qur'an (ilmu tafsir) pada abad-abad yang silam bahkan sampai periode modern sekalipun tidak ada ulama tafsir yang menggunakannya. Oleh karenanya tidak aneh bila dalam kitab-kitab klasik semisal al-Burhan fi 'Ulum al-Qur'an karangan al-Zarkasyi, al-Itqan fi 'Ulum al-Qur'an karya al-Suyuthi, dan lain-lain tidak dijumpai term tersebut.
Namun menurut Nashruddin Baidan, dapat disimpulkan bahwa penafsiran yang diterapkan olah para mufasir sejak pada masa Nabi sampai dewasa ini dapat dikerucutkan menjadi dua macam, yakni tafsir bi al-ma'tsur dan bi al-ra'y.
Tafsir Jalalain merupakan tafsir yang menggunakan bentuk bi al-ra'y. Karena dalam menafsirkan ayat demi ayat menggunakan hasil pemikiran atau ijtihad para mufasir (meskipun tidak menafikan riwayat). Sebagai contoh ketika al-Jalalain menafsirkan penggalan ayat berikut ini:
(ولا تتبدلواالخبيث) الحرام (بالطيب) الحلال أى تأخذوه بدله كما تفعلون من أخذ الجيد من مال اليتيم وجعل الردئ من مالكم مكانه.
Di sini kelihatan dengan jelas bahwa ketika menafsirkan penggalan ayat tersebut al-Suyuthi murni menggunakan pemikirannya tanpa menyebut riwayat. Jika kita bandingkan dengan tafsir Ibnu katsir berikut ini, akan lebih jelas perbedaannya.
(ولا تتبدلواالخبيث بالطيب) قال سفيان الثورى عن أبى صالح :لا تعجل بالرزق الحرام قبل أن يأتيك الرزق الحلال الذى قدر لك وقال سعيد بن جبير:لا تتبدلواالحرام من أموال الناس بالحلال من أموالكم,يقول :لاتبدلوا أموالكم الحلال وتأكلوا أموالهم الحرامز.وقال سعيد بن المسيب والزهرى:ولا تعط مهزولا ولا تأخذ سمينا. وقال إبراهيم والنخعى والضحاك:لا تعط زيفا وتأخذ جيدا.وقال السدى: كان أحدهم يأخذ الشاة السمينة من غنم اليتيم, ويجعل مكانها الشاة المهزولة ويقول: شاة بشاة, ويأخذ الدرهم الجيد ويطرح مكانه الزيف ويقول درهم بدرهم
Di sini Ibnu Katsir menggunakan bentuk bi al-ma'tsur. Beliau ketika menafsirkan penggalan ayat tersebut langsung merujuk riwayat dari al-Tsauri, Sa'id bin Jubair, Sa'id bin al-Musayyab dan lain-lain. Sehingga seakan-akan beliau tidak punya pendapat sendiri tentang hal tersebut.
Hal inilah yang membedakan antara bentuk bi al-ma'tsur dengan bentuk bi al-ra'y. Tafsir yang menggunakan bentuk bi al-ma'tsur sangat tergantung dengan riwayat. Tafsir ini akan tetap ada selama riwayat masih ada. Berbeda dengan tafsir bi al-ra'y yang akan selalu berkembang dengan perkembangan zaman.
Adapun mengenai metode yang digunakan tafsir Jalalain menggunakan metode Ijmali (global). Sebagaimana diungkapkan oleh al-Suyuthi bahwa beliau menafsirkan sesuai dengan metode yang dipakai oleh al-Mahalli yakni berangkat dari qoul yang kuat, I'rab lafadz yang dibutuhkan saja, perhatian terhadap Qiraat yang berbeda dengan ungkapan yang simpel dan padat serta meninggalkan ungkapan-ungkapan bertele-tele dan tidak perlu.
Mufasir yang menggunakan metode ini biasanya menjelaskan ayat-ayat al-Qur'an secara ringkas dengan bahasa populer dan mudah dimengerti. Ia akan menafsirkan al-Qur'an secara sistematis dari awal hingga akhir. Di samping itu, penyajiannya diupayakan tidak terlalu jauh dari gaya (uslub) bahasa al-Qur'an, sehingga penbengar dan pembacanya seakan-akan masih tetap mendengar al-Qur'an, padahal yang didengarnya adalah tafsirnya.
Berbeda dengan metode yang digunakan oleh Ibnu Katsir sebagaimana terlihat dalam contoh. Dari contoh tersebut Ibnu Katsir menggunakan metode Tahlili (analitis). Perbedaannya terletak pada terget yang ingin dicapai. Jika yang diinginkan adalah hanya untuk mengetahui makna kosa kata, tidak memerlukan uraian yang luas, maka cukup menggunakan metode Ijmali seperti Tafsir Jalalain. Tetapi jika target yang ingin dicapai adalah suatu penafsiran yang luas tetapi tidak menuntaskan pemahaman yang terkandung dalam ayat secara komprehensif, maka metode yang cocok adalah metode Tahlili (analitis), sebagaimana tafsirnya Ibnu Katsir.
Corak penafsiran ialah suatu warna, arah, atau kecenderungan pemikiran atau ide tertentu yang mendominasi sebuah karya tafsir. Jadi kata kuncinya adalah terletak pada dominan atau tidaknya sebuah pemikiran ide tersebut. Bila sebuah kitab tafsir mengandung banyak corak (minimal tiga corak) dan kesemuanya tidak ada yang dominan karena porsinya sama, maka inilah yang disebut corak umum.
Adapun tafsir Jalalain karena uraiannya sangat singkat dan padat dan tidak tampak gagasan ide-ide atau konsep-konsep yang menonjol dari mufasirnya, maka jelas sekali sulit untuk memberikan label pemikiran tertentu terhadap coraknya. Karena itu pemakaian corak umum baginya terasa sudah tepat kerena memang begitulah yang dijumpai dalam tafsiran yang diberikan dalam kitab tersebut. Itu artinya bahwa dalam tafsirnya tidak didominasi oleh pemikiran-pemikiran tertentu melainkan menafsirkan ayat-ayat al-Qur'an sesuai dengan kandungan maknanya.
4. Karakteristik Tafsir Jalalain
Kitab ini terbagi atas dua juz. Juz yang pertama berisi tafsir surat al-Baqarah sampai surat al-Isra' yang disusun oleh Jalaluddin al-Suyuthi, sedangkan juz yang kedua berisi tafsir surat al-Kahfi sampai surat al-Naas ditambah dengan tafsir surat al-Fatihah yang disusun oleh Jalaluddin al-Mahalli.
Untuk mengetahui karakteristik tafsir ini perlu diperbandingkan dengan tafsir lain yang bercorak sama. Berikut disuguhkan perbandingan dengan Tafsir Marah Labid karya Nawawi al-Bantani dan juga Tafsir al-Baidhowi karya Imam Baidhowi.
• (وما يخادعون إلا أنفسهم) لأن وبال خداعهم راجع اليهم فيفتضحون فى الدنيا باطلاع الله نبيه على ما ابطنوه ويعاقبون فى الأخرة (وما يشعرون) يعلمون أن خداعهم لأنفسهم والمخادعة هنا من واحد كعاقبت اللص وذكر الله فيها تحسين وفى قرأة وما يخدعون
• (وما يخدعون) أى يكذبون (إلا أنفسهم) وهذه الجملة حال من ضمير يخادعون أى يفعلون ذلك والحال أنهم ما يضرون بذلك الا أنفسهم فان دائرة فعلهم مقصورة عليهم وقرأ عاصم وابن عمر وحمزة والكسائ وما يخدعون بفتح الياء وسكون الخاء وفتح الدال وقرأ الباقون بضم الياء وفتح الخاء مع المد وكسرالدال ولا خلاف فى قوله يخادعون الله فالجميع قرأ بضم الياء وفتح الخاء وبالألف بعدها وكسرالدال وأما الرسم فبغير ألف فى الموضعين (وما يشعرون) أن الله يطلع نبيه على كذبهم
• (وما يخادعون إلا أنفسهم) قرأة نافع وابن كثير وأبى عمر والمعنى ان دائرة الخداع راجعة اليهم وضررها يحيق بهم أو أنهم فى ذلك خدعوا أنفسهم لما غروها بذلك وخدعتهم أنفسهم حيث حدثتهم بالأماني الفازعة وحملتهم على مخادعة من لا يخفى عليه خافية وقرأ الباقون وما يخدعون لان المخادعة لا تتصور الا بين اثنين وقرئ ويخدعون من خدع ويخدعون بمعنى يختدعون ويخدعون ويخادعون على البناء للمفعول ونصب أنفسهم بنزع الخافض والنفس ذات الشيء وحقيقة ثم قيل للروح لان النفس الحي به وللقلب لانه محل الروح أو متعلقة وللدم لان قوامها به وللماء لفرط حاجتيا اليه وللرأى فى قولهم فلان يؤامر نفسه لانه ينبعث عنها أو يشبه ذاتا مرة وتشير عليه والمراد بالانفس ههنا ذواتهم ويحتمل حملها على أرواحهم وآرائهم (وما يشعرون) لا يحسون بذلك لتمادى غفلتهم جعل لحوق و بال الخداع ورجوع ضرره اليهم فى الظهو وكالمحسوس الذى لا يخفى الا على مؤوف الحواس والشعور الاحساس ومشاعرالانسان حواسه وأصله الشعر ومنه الشعار
Salah satu sisi yang ditampilkan dari ketiga contoh di atas adalah masalah Qira'at. Tetapi jika dilihat lebih lanjut terjadi perbedaan dalam penyajiannya. Jika dibandingkan dengan kedua tafsir di bawahnya, pembahasan yang ada dalam Tafsir Jalalain lebih ringkas, bahkan cenderung sepintas lalu. Rupanya Suyuthi tidak mau terjebak dalam pembicaraan yang bertele-tele, cukup hanya dengan menunjukkan adanya perbedaan qira'at. Sebagaimana yang ia sampaikan dalam muqaddimahnya.
Dari sini dapat disimpulkan bahwa karakteristik Tafsir Jalalain jika dibandingkan dengan tafsir lain yang bercorak sama adalah ungkapannya yang simpel dan padat dengan gaya bahasa yang mudah. Tujuannya adalah agar dapat dicerna dengan mudah oleh para pembaca tafsir. Hingga pantaslah kalau ada yang mengatakan bahwa antara al-Qur'an dengan tafsirannya hampir sama.
Bahkan, menurut pengarang kitab Kasyf al-Dzunun, ada sebagian ulama Yaman yang mengatakan bahwa hitungan huruf al-Qur'an dengan tafsirannya sampai surat al-Muzzammil adalah sama. Baru pada surat al-Muddatstsir dan seterusnya tafsir ini melebihi al-Qur'an.
Yang menarik dari kitab ini adalah penempatan tafsir Surat al-fatihah yang diletakkan paling akhir. Kedua mufassir juga tidak berbicara tentang basmalah sebagaimana tafsir-tafsir lainnya. Tidak ada keterangan yang menyebutkan tentang alasan tidak ditafsirkannya basmalah.
C. Penutup
Budaya tafsir-menafsir merupakan bagian dari peradaban Islam. Budaya ini yang menjadikan intelektual Islam menjadi terangkat namanya dalam kancah internasional. Salah satu tafsir yang populer di Indonesia adalah tafsir Jalalain. Tafsir ini begitu populernya, sehingga hukumnya "wajib" mengkaji tafsir ini di kalangan pesantren. Kesemuanya itu tak terlepas dari isi tafsir itu sendiri yang isinya singkat dan padat serta para mufasirnya yang begitu karismatik.

DAFTAR PUSTAKA
Amin, Ghofur Saiful , Profil Para Mufasir al-Qur'an, Yogyakarta, Puataka Insan Madani, 2008.

Baidan, Nashruddin, Metode Penafsiran Al-Qur'an, Yogyakarta, Pustaka Pelajar, 2002.

, Wawasan Baru Ilmu Tafsir, Yogyakarta, Pustaka Pelajar, 2005.

Al-Baidhowi, Abdullah bin 'Umar bin Muhammad , Tafsir al-Baidhowi, jilid I, Beirut, Dar Shadir, t.th.

Al-Dimasyqy, Ibnu Katsir , Tafsir al-Qur'an al-'Adzim, juz 1, Beirut, Maktabah al-Nur al-Ilmiah,1991.

Al-Dzahabi, Muhammad Husain , al-Tafsir wa al-Mufassirun, juz 1, Beirut, 1976.

Jalaluddin al-Suyuthi dan Jalaluddin al-Mahalli, Tafsir al-Qur'an al-'Adzim, Dar Ihya' al-Kutub al-'Arabiyah, t.th.

Nawawi al-Jawi, Muhammad , Marah Labid, Dar Ihya al-Kutub al-'Arabiyah, t.th.

Al-Qusthunthonni, Mushtafa bin Abdillah , Kasyf al-Dzunun, juz 1, Beirut, Dar al-Kutub al-'Ilmiyah, 1992.

Tafsir Jawahir

Kajian Tentang Kitab Tafsir Jawahir
A. Pendahuluan
Tak diragukan lagi bahwa banyak ayat-ayat al-Qur'an yang berbicara tentang alam raya. Tetapi hanya sedikit sekali tafsir yang berbicara dengan melakukan pendekatan ilmu pengaetahuan. Salah satu tafsir yang membuat terobosan baru adalah tafsir Jawahir. Terlepas dari kontroversi boleh tidaknya tafsir bil 'ilmi, yang pasti tafsir ini memberi kontribusi penting dalam dunia penafsiran.
B. Pembahasan
Biografi Pengarang
Pada tahun 1870 M di wilayah al-Ghar, Thanthawi Jauhari dilahirkan. Ia berasal dari keluarga petani yang sederhana. Namun orang tuanya menginginkannya tumbuh sebagai orang berpredikat terpelajar. Karena itu, setelah menamatkan serangkaian pendidikan formal di kota kelahirannya, ia dikirim ke universitas al-Azhar kairo untuk mendalami ilmu-ilmu agama.
Di universitas al-Azhar, ia bertemu dengan seoragng pembaharu terkemuka, Muhammad Abduh. Baginya, Abduh bukan sekedar guru, tetapi juga mitra dialog. Pergesekan pemikiran dengan Abduh memercikkan pengaruh besar pada pemikiran dan keilmuannya terutama dalam bidang tafsir.
Sebagai akademisi, Thanthawi aktif mencermati perkembangan ilmu pengetahuan. Caranya beragam, mulai dari membaca berbagai buku, menelaah artikel di media massa, hingga menghadiri berbagai seminar keilmuan. Dari beberapa ilmu yang dipelajarinya, ia tergila-gila pada ilmu tafsir.
Di samping itu, Thanthawi juga fasih berbicara tentang fisika. Menurutnya, ilmu itu harus dikuasai oleh umat Islam. Hanya dengan cara itu maka anggapan bahwa Islam adalah agama yang menentang ilmu pengetahuan dan teknologi dapat ditepis.


Latar Balakang Penulisan
Thanthawi termasyhur karena kegigihannya dalam gerakan pembaruan membangkitkan kepedulian masyarakat terhadap penguasaan ilmu pengetahuan. Karena itu, tidak berlebihan jika sejumlah kalangan menjulukinya "mufasir ilmu" lantaran ilmu yang dikuasainya sangat luas dan mendalam.
Dalam muqaddimah kitab tafsirnya, dijelaskan bahwa sejak dulu beliau sering menyaksikan kejaiban alam, mengagumi dan merindukan keindahannya baik yang ada di langit maupun yang ada di bumi, revolusi matahari, perjalanan bulan, bintang yang bersinar, awan yang berarak, kilat yang menyambar dan listrik yang membakar serta keajaiban-keajaiban lainnya.
Selanjutnya ia menyatakan :"Ketika aku berpikir tentang keadaan umat islam dan pendidikan-pendidikan agama, maka aku menuliskan surat kepada para pemikir (al-'Uqala') dan sebagian ulama-ulama besar (Ajillah al-Ulama') tantang makna-makna alam yang sering ditinggalkan dan tentang jalan keluarnya yang masih sering dilakukan dan dilupakan. Sedangkan sedikit sekali dari mereka yang mau berpikir tentang kejadian alam dan keanehan-keanehan yang melingkupinya".
Itulah yang mendorong Thanthawi menyusun pembahasan-pembahasan yang dapat mengkompromikan pemikiran Islam dengan kemajuan Studi Ilmu Alam.
Bentuk, Metode dan Corak
Untuk mengetahui bentuk, metode dan corak sebuah kirab tafsir, perlu diadakan perbandingan kitab aslinya dengan kitab tafsir yang lain. Kali ini akan diperbandingkan antara kitab Tafsir Jawahir (kitab asli), Tafsir al-Maraghi dan Tafsir al-Wadhih (semua teks terlampir).
1. Bentuk
Dalam berbagai macam literatur, istilah bentuk penafsiran tidak dijumpai dalam kitab-kitab 'ulum al-Qur'an (ilmu tafsir) pada abad-abad yang silam bahkan sampai periode modern sekalipun tidak ada ulama tafsir yang menggunakannya. Oleh karenanya tidak aneh bila dalam kitab-kitab klasik semisal al-Burhan fi 'Ulum al-Qur'an karangan al-Zarkasyi, al-Itqan fi 'Ulum al-Qur'an karya al-Suyuthi, dan lain-lain tidak dijumpai term tersebut.
Namun dalam buku Wawasan Ilmu Tafsir yang ditulis oleh Nashruddin Baidan, dapat ditarik sebuah kesimpulan bahwa penafsiran yang dilakukan olah para mufasir sejak pada masa Nabi sampai dewasa ini dapat dikelompokkan menjadi dua macam, yakni tafsir bi al-ma'tsur dan bi al-ra'y.
Berangkat dari sini, tafsir Jawahir ini jika dilihat dengan apa yang telah disimpulkan oleh Nasruddin Baidan tersebut, maka dapat dikatakan bahwa tafsir ini menggunakan bentuk bi al-ra'yi. Karena dalam menafsirkan suatu ayat, Thanthawi murni menggunakan pemikirannya sesuai dengan kemampuan dia selain ahli sebagai seorang mufassir, juga ahli dalam bidang fisika dan biologi. Hal ini dapat terlihat dalam contoh (terlampir), ketika dia menafsirkan penciptaan manusia dari 'alaq (علق), beliau murni menggunakan kemampuan dia sebagai seorang yang ahli biologi di samping sebagai seorang mufasir, tanpa menyebutkan suatu riwayat yang berhubungan dengan 'alaq (علق).
Ini berbeda dengan penafsiran dengan bentuk bi al-Ma'tsur. Tafsir yang menggunakan bentuk bi al-ma'tsur sangat tergantung dengan riwayat. Tafsir ini akan tetap eksis selama masih ada riwayat. Kebalikannya jika riwayat habis, tafsir bi al-ma'tsur juga akan hilang.
2. Metode
Munculnya beragam kitab tafsir tidak dapat dipisahkan dari perbedaan metode penafsiran al-Qur'an. Metode di sini diartikan dengan cara kerja yang dilakukan secara sistematis. Jadi metode tafsir adalah cara (langkah dan prosedur) yang digunakan oleh mufasir untuk memahami al-Qur'an.
Jika diamati secara cermat metode yang digunakan oleh Thanthawi dalam tafsir ini adalah metode tahlili (analitis). Metode ini berusaha menjelaskan kandungan ayat-ayat al-Qur'an dari seluruh aspeknya. Dengan metode ini, mufasir menjelaskan al-Qur'an secara luas dan rinci. Segala hal yang bertautan dengan al-Qur'an bisa dimasukkan dalam tafsir. Kata kunci penggunaan metode ini tidak terletak pada banyak tidaknya materi penafsiran, akan tetapi pada penafsiran yang runtut dan rinci. Ruang lingkup yang luas memungkinkan tafsir dengan metode ini memuat berbagai ide.
Demikian halnya dengan metode yang dipakai dalam tafsir ini. Thanthawi dengan analisisnya sebagai seorang mufasir sekaligus seorang yang menguasai ilmu-ilmu alam memberikan penafsiran secara runtut dan terperinci dengan ruang lingkup yang amat luas. Dalam contoh (terlampir) sudah terlihat dengan jelas, bagaimana dia ketika berusaha menjelaskan apa yang dinamakan 'alaq (علق). Dapat kita lihat betapa luasnya penjabaran yang dia berikan mengenai 'alaq (علق). Bahkan sampai mencakup tiga halaman sendiri.
Ini jelas berbeda dengan apa yang ada dalam tafsir al-Maraghi maupun dalam tafsir al-Wadhih. Meskipun keduanya menggunakan metode yang sama dengan metode yang dipakai dalam tafsir Jawahir. Namun uraiannya tentang 'alaq (علق) tidak seluas dengan apa yang ada dalam tafsir. Dapat dibayangkan jika dalam tafsir Jawahir untuk menguraikan tentang 'alaq saja membutuhkan tiga halaman, sedangkan dalam tafsir al-Maraghi maupun al-Wadhih hanya berkisar dua sampai tiga baris saja sungguh perbedaan yang amat mencolok. Karena seperti telah dijelaskan di atas meskipun sama-sama menggunakan metode tahlili, tetapi kata kuncinya bukan terletak pada banyaknya materi penafsiran, akan tetapi pada penafsiran yang rinci dan runtut.
3. Corak
Corak penafsiran ialah suatu warna, arah, atau kecenderungan pemikiran atau ide tertentu yang mendominasi sebuah karya tafsir. Jadi kata kuncinya adalah terletak pada dominan atau tidaknya sebuah pemikiran ide tersebut. Tetapi bila ada satu yang dominan maka disebut corak khusus.
Sedangkan corak yang digunakan dalam tafsir ini adalah corak tafsir bil 'ilmi. Meskipun para ulama berbeda pendapat tentang atafsir bil 'ilmi, ada yang menolaknya dengan alasan bahwa teori-teori ilmiah jelas bersifat nisbi (relatif) dan tidak pernah final. Tetap ada yang mendukungnya dengan alasan bahwa al-Qur'an justru menggalakkan penafsiran ilmiah.
Tetapi jika kita lihat dalam contoh, jika kita bandingkan dengan tasir lainnya, ketika ketiga tafsir sama-sama berbicara tentang 'alaq (علق) terlihat dengan jelas bahwa tafsir Jawahir ini memang menggunakan corak tafsir bil 'ilmi.
Sebagai contoh ketika ketiga tafsir berbicara tentang 'alaq (علق). Kedua tafsir (al-Maraghi dan al-Wadhih) seperti tafsir-tafsir lainnya mengartikan makna 'alaq (علق) sebagai darah yang membeku atau sepotong darah yang beku (دم جامد/قطعة دم جامدة) yang tidak mempunyai panca indra, tidak bergerak dan tidak mempunyai rambut.
Berbeda halnya ketika Thanthawi menafsirkan tentang 'alaq (علق), dia memulai dengan perbandingan antara telur yang ada pada binatang aves (sejenis burung) dengan sel telur yang ada pada manusia. Menurutnya apa yang terjadi pada binatang tersebut sama dengan apa yang ada pada manusia. Telur pada hewan jenis burung mempunyai apa yang dinamakan putih dan kuning telur. Dan apa yang dinamakan jurtsumah (جرثومة), di mana jurtsumah ini yang menjadi dasar pembentukan manusia.
Demikian juga apa yang terjadi pada indung telur seorang wanita. Indung ini mempunyai ukuran minimal 1/120 qirath dan maksimal 1/20 qirath. Sedangkan sel kuning telur ukurannya tidak lebih dari 1/700 qirath dan setetes jurtsumah ukurannya kurang lebih 1/3000 qirath.
(ولكن بيضة المرأة صغيرة جدا, وأصغرها۱\ ۰۲۱ من القيراط, وأكبرها ۱\ ۰۲ من القيراط, والمح لا يزيد عن ۱\ ۰۰٧من القيراط, والجرثومة التى أصل الإنسان ذرة من ذلك المح, كما يشاهد نظيرها فى مح البيض, قطرها ۱\۰۰۰۳ من القيراط)

Dari contoh tersebut dapat disimpulkan bahwa ketika Thanthawi menafsirkan kata tersebut dia menggunakan ilmu biologi, berbeda jauh dengan yang dipakai oleh Maraghi maupun Hijazi. Hal ini membuktikan bahwa memang corak yang dipakai oleh Thanthawi adalah corak bil 'ilmi, menafsirkan ayat-ayat al-Qur’an berdasarkan pendekatan ilmiah, atau menggali kandungannya berdasarkan teori-teori ilmu pengetahuan yang ada.
Namun yang perlu diingat adalah tidak ada ayat al-Qur'an yang bersifat ilmiah, karena al-Qur;an adalah wahyu dan kebenarannya berdifat mutlak. Sedangkan ilmu pengetahuan yang bersifat ilmiah kebenarannya bersifat relatif. Al-Qur'an bukanlah kitab ilmu melainkan kitab hudan bagi manusia. Tetapi petunjuk al-Qur'an ada yang berbentuk lafdzi, isyarat, kiasi dan yang tersurat berkenaan dengan ilmu pengetahuan guna mendukung fungsinya sebagai hudan.
KARAKTERISTIK
Kitab ini terdiri dari 13 jilid yang tersusun dari 26 juz. Kitab al-Jawahir ini ditulis berdasarkan urutan mushaf Utsmani. Sebelum menafsirkan surah al-Fatihah, Tanthawi terlebih dahulu merigutip surat Al-Nahl [16];89 dalam uraian "Kata Pendahuluan" (Mukaddimah). Berbeda dengan jilid kedua dan selanjutnya, di mana ia menjadikan ayat Al-Nahl [16]:44 sebagai 'motto' uraiannya. Hal itu sampai pada juz yang ke 25 saja, dan juz yang terakhir berisi pembahasan lain yang berisi tentang makna-makna yang terkandung dalam bismilah dan lain sebagainya.
Kitab ini memang sebuah terobosan baru dalam upaya penafsiran dengan menggunakan pendekatan ilmu pengetahuan. Jika kita lihat pada contoh, memang jauh sekali perbedaannya dengan tafsir al-Maraghi maupun tafsir al-Wadhih. Ini dikarenakan tafsir dengan pendekatan ilmu pengetahuan memang penjelasannya begitu rumit dan panjang sehingga tidak mudah untuk memahaminya, melainkan harus menguasai ilmunya.
Kitab ini juga dilengkapi gambar-gambar serta foto-foto untuk memperkuat argumentasinya dan menjadi media pelengkap ketika menjelaskan ayat-ayat al-Qur'an yang berhubungan dengan alam.



C. Penutup
Tidak ada metode tafsir yang terbaik, sebab masing-masing mempunyai karakteristik tersendiri, kekurangan dan kelebihan serta tergantung kebutuhan mufasir. Kalau kita ingin menuntaskan topik maka jawabnya ada pada metode tafsir mawdu’iy, namun bila kita ingin menerapkan kandungan suatu ayat dalam berbagai seginya maka jawabnya ada pada metode tahlily. Di samping itu, ketika kita ingin mengetahui pendapat para mufasir tentang suatu ayat atau surat sejak periode awal sampai periode moderen, maka metode yang tepat adalah muqarin, sedangkan ketika ingin mengetahui arti atau makna suatu ayat secara ringkas dan global, maka metode ijmaly-lah yang tepat.
DAFTAR PUSTAKA
Baidan, Nashruddin, Wawasan Baru Ilmu Tafsir, Yogyakarta, Pustaka Pelajar, 2005.

Ghofur, Saiful Amin ], Profil Para Mufasir al-Qur'an, Yogyakarta, Puataka Insan Madani, 2008.

Hijazi, Muhammad Mahmud, Tafsir al-Wadhih, jilid 3, Beirut, Dar al-Jil, 1993.

Jauhari, Thanthawi, al-Jawahir fi Tafsir al-Qur'an al-Karim, Beirut, Dar al-Fikr, t.th.

Al-Maraghi, Ahmad Mushthafa, Tafsir al-Maraghi Jilid 10, Beirut, Dar al-Fikr, t.th.