tanah airku

tanah airku tidak kulupakan.
kan kukenang selama hidupku...
biarpun aku pergi jauh...
tidak kan hilang dari kalbu...
tanah ku yang ku cintai...
tetap kusayangi....

Sabtu, 16 Januari 2010

Tujuan Belajar

Di sekolah, guru-guru kalian tentu mula-mula mengajar kalian membaca. Lalu kalian belajar angka-angka dan pelajaran matematika. Tetapi pernahkah kalian berpikir, untuk apa kalian pergi ke sekolah dan belajar ini semua?
Sebagian besar kalian akan berkata bahwa semua ini penting artinya untuk mendapatkan pekerjaan yang layak ketika kalian telah dewasa. Ini berarti kalian hampir memastikan akan dewasa suatu hari. Memang, akan datang suatu hari ketika anak-anak akan memanggil kalian, ”Bibi, kakek, atau paman...” seperti kalian memanggil bibi, kakek, atau paman kalian sekarang. Dengan kata lain, kalian suatu ketika akan dewasa jika Allah menghendaki kalian dewasa.
Namun, kalian tidak akan terus tumbuh dewasa selamanya. Setiap orang akan sedikit demi sedikit bertambah tua, lalu akan datang saat mereka harus meninggalkan dunia ini dan memulai kehidupan baru di akhirat. Ini juga akan terjadi pada kalian. Setelah masa kanak-kanak, kalian mungkin akan tumbuh menjadi remaja dan bahkan mencapai usia tua. Kemudian akan datang saat kalian harus hidup di akhirat.
Kalian pergi ke sekolah untuk mempersiapkan masa depan. Penting bagi setiap orang untuk melakukan persiapan seperti ini. Namun, semua usaha ini terbatas untuk hidup di dunia ini saja. Bagaimana dengan hal-hal yang kalian butuhkan untuk kehidupan berikutnya? Kalian harus mempersiapkan kehidupan akhirat kalian juga. Pernahkan kalian memikirkannya?
Ketika kalian dewasa, kalian perlu mencari nafkah, yang berarti kalian harus mempunyai pekerjaan. Itulah mengapa kalian bersekolah. Nah, begitu pulalah, agar kalian berbahagia di akhirat ada beberapa hal yang harus kalian lakukan. Yang paling penting dari semua itu adalah segera mulai mengenal Allah, Yang Maha Tinggi, dan bagaimana cara kita bersikap menurut yang dikehendaki oleh Allah. (by: Harun Yahya)

Jumat, 15 Januari 2010

shahih

A. Shahih
Kitab shihah adalah
Selain Shahih Bukhari , masih ada sejumlaah buku yang di sebut shahih yaitu : Shahih Muslim, Al Muwatha’ Karya Imam Malik, Al Mustadrak Karya Al Hakim. Dan ada beberapa kitab yang di susun dengan kriteria shahih oleh penulisnya yakni, “ Shahih Ibnu Khuzaimah”, karya abi Abdillah Muhammad Bin Ishaq dan “Shahih Ibnu Hibban”, karya Abu Hattim Muhammad Bin Hibban.
Disini kami memebahas salah satu kitab shahih yang tekenal , yakni kitab Shahih Bukhari.
Nama lengkap Bukhari adalah Abu Abdullah Muhammad bin Ismail bin Ibrahim bin al-Mughirah al-Ja’fari, dilahirkan Jum’at 13 Syawwal 194 H di Bukhara. Bapaknya Ismail adalah seorang muhadits yang termashur.
Imam Bukhari mulai belajar hadits pada saat beliau masih sangat remaja, bahkan belum mencapai usia sepuluh tahun. Sebelum mencapai usia 16 tahun, beliau telah berhasil menghafalkan beberapa buku tokoh ulama’. Beliau tidak hanya menghafal matan hadits dan buku ulama’ terdahulu, tetapi juga mengenal betul biografi para perawi yang mengambil penukilan sejumlah hadits, data tanggal lahir, meninggal, tempat lahir dan sebagainya.
Ketika Imam Bukhari tiba di Baghdad, para ulama’ berdesak-desakan untuk menguji kekuatan daya hafal beliau yang termashur. Mereka menunjuk sepuluh orang ulama’ untuk menguji hal tersebut. Setiap orang diantara mereka membacakan sepuluh hadits. Semua ulama’ tersebut mengganti sanad hadits yang dibacakan, dan menempatkannya secara acak pada matan yang berbeda. Setelah semua penanya selesai membacakan dan menanyakannya, Imam Bukhari secara sistematis menerangkan kepada mereka isnad mana yang tepat untuk matan hadits yang mereka bacakan dan tanyakan.
Pada masa akhir kehidupannya, Imam Bukhari banyak mengalami kekerasan dan dipaksa oleh pemerintah untuk meninggalkan negaranya. Imam Bukhari meninggal pada hari Sabtu malam hari raya pada tahun 256 H.
Hadits-hadits yang dimuat didalam shahih Bukhari ternyata berjumlah 9.082, namun jika dihitung tanpa pemuatan ulang, hadits tersebut hanya berjumlah 2.602. hadits tersebut tidak termasuk sejumlah hadits mauquf dan maqtu’.
Banyak ulama’ mengkritik karya Bukhari, kritik berkenaan tentang 80 perawi dan 110 hadits. Kritik menunjukkan bahwa meskipun hadits-hadits tersebut tidak bercacat (salah atau palsu) namun, ia tidak memenuhi standar tinggi yang telah digariskan oleh Bukhari.
Buku-buku lain yang disebut shahih selain shahih Bukhari, masih ada sejumlah buku yang disebut shahih, seperti : Shahih Ibnu HuzaimahShahih Ibnu Hibban, Shahih Ibnu al-Sakan, Shahih al-Sharki, Shahih Muslim, dan inilah kitab termashur setelah Shahih Bukhari.

B. Al- Sunnan
Al-sunnan yaitu “ kitab- kitab yang di susun berdasarkan bab-bab tentang fiqih, dan hanya memuat hadis yang marfu’ saja agar di jadikan sumber bagi para fuqaha’ dalam mengambil kesimpulan hukum.dalam al sunnan tidak terdaat pembahasan tentang aqidah, sirah, munaqib, dan lain sebagainya, tapi hanya terbatas hadis-hadis fiqih dan hadis-hadis hukum saja.
Adapun kitab – kitab sunan yang terkenal adalah, sunnan abi dawud, sunnan an- nassa’i, sunnan ibnu majah, sunnan asyafi’I, sunnan ad-darimi, sunnan ad-darruqudni, sunnan al baihaqi.
Disini kami hanya memebahas salah satu kitab sunan yang tekenal , yakni kitab Sunnan Abu Dawud
Nama lengkap Abu Dawud adalah Abu Dawud Sulaiman bin al-Asy’ats al-Azdi al-Sijistani. Dilahirkan pada tahun 202 H, ada suatu kepastian bahwa beliau telah belajar al-Quran dan literatur bahasa Arab, serta sejumlah materi lainnya sebelum beliau memulai belajar hadits. Dilaporkan, bahwa beliau pengembara ke Khurasan, Rayy, Harat, Kuffah, Baghdad, Tarsus, Damaskus, Mesir, dan Basrah. Beliau telah memulai pengembaraan itu sejak berusia kurang dari 20 tahun. Beliau menghabiskan 20 tahun di kota Tarsus.
Para ulama’ sangat menghargai kemampuan, kejujuran dan ketaqwaan beliau yang luar biasa. Abu Dawud tidak hanya sebagai seorang perawi, pengumpul dan penyusun hadits, tetapi juga seorang ahli hukum yang handal dan kritikus hadits yang baik.
Beliau menikah dan mempunyai beberapa orang putera.salah satu anak beliau biasa pergi bersama belia ketika ada perkumpulan dengan para ulama. Dan beliau wafat di Basrah, pada hari Jum’at, 15 Syawwal 275 H.
Karakteristik kitab sunnan ini adalah beliau tidak menulis atau membukukan lebih dari satu atau dua hadis dalam satu bab, walupun masih banyak hadis-hadis shahih lainya yang menerangkan tentang masalah itu. Beliau menyeleksi sebanyak 4.800 hadits dari 5.000 hadits untuk tujuan itu. Kitab sunan Abu Dawud banyak beredar pada masa hidup pengarangnya. Ali bin Hasan berkomentar bahwa beliau telah mempelajari kitab tersebut sebanyak enam kali dari Abu Dawud. Kitab sunan ini adalah salah satu dari kitab terbaik dan terlengkap dalam bidang hadits-hadits hukum.


D. Al Musnad
Al- musnad merupakan buku yang berisikan tentang kumpulan-kumpulan hadis setiap sahabat secara tersendiri. Jadi sistematika penyusunan kitab ini berdasarkan nama-nama rawi yang meriwayatkan hadis tersebut, Dan berisikan tentang hadis-hadis shahih, hasan,dan dhoif.
Urutan nama-nama sahabat dalam musnad kadang berdasarkan huruf hijaiyah atau alphabet-sebagaimana di lakukan oleh banyak ulama-, dan ini paling mudah di pahami, kadang juga berdsarkan kabilah dan suku, atau yang berdasrkan yang paling dulu masuk islam, atau berdasarakan Negara.
Pada sebagian musnad kadang hanya terdapat kumpulan hadis salah seorang sahabat saja, atau hadis sekelompok sahabat seperti sepuluh orang yang di jamin masuk surga. Al musnad yang di buat para ulama hadis jumlahnya banyak , menurut Al Kittani dalam bukunya Ar- Rislah Al Mutatharafah, dan diantara musnad –musnad yang terkelal yakni:Musnad Abu Dawud Sulaiman Bin Dawut At-Thayalisi(Wafat 204 H), Musnad Abu Bakar Abdullah Bin Az-Zubair Al-Huamidi (Wafat 219 H), Musnad Imam Ahmad Bin Hambal (Wafat 241 H), Musnad Abu Bakar Ahmad Bin Amru Al-Bazzar (Wafat292 H ), Musnad Abu Ya’la Bin Ali Mutsanna Al-Mushilli(Wafat 307 H).
Adapun dalam makalah ini kami hanya membahas salah satu musnad yang paling terkenal yaitu, Musnad Imam Ahmad Bin Hambal.
Bapak imam ahmad adalah sorang mujtahid yang hidup di basrah. Dia mengembara ke marwah, dan di sanalah ahmad di lahirkan, tanggal 20 rabi’ al awal 164 h. kemudian pada saat beliau masih kecil , beliau di bawa ke bagdad. Bapaknya meninggal ketika ahmad berusia tigapuluh tahun. Ibunya adalah shafiyah bin maymunah binti abdul malik asy-syabani.
Beliau belajar hadis sejak umur 16 tahun , dan beliau mengahfal berjuta-juta hadis sepanjang hidupnya.beliau adalah salah seorang pelopor dalam sejarah islam yang mengombinasikan hadis dengan ilmu fiqih.pada waktu itu beliau sangat membela islam dan menentang kekhalifahan pada masa itu, karena waktu itu aliran mu’tazilah –pemikir bebas islam-banyak berpengaruh terhadap diri khalifah ma’mun al mutasim dan al wasiq. dan akhirya beliau di masukan ke dalam penjara, dan sejumlah buku telah di tulis di dalam pengasinganya.
Adapun karakterisik musnad imam ahmad , yakni berisikan tentang rangkuman masalah hukum. Karya ini lebih merupakan sebuah koleksi hadis-hadis berdasarkan rujukan sahabat tertentu, dan di tempatkan di dalam bab khusus. Karenanya, para penyusunya berbeda satu dengan lainya dalam pengaturan nama-nama sahabat.banyak diantara mereka memulainya dari khulafa’ al rashidin, dan kemudian di ikuti dengan enam sahabat yan di janjilan masuk surga, lalu di ikuti para sahabat yang pertama masuk islam, dan seterusnya.
Para ahli memperkirakan jumlah hadis yang terkandung dalam musnad imam ahmad sekitar 30.000 – 40.000 hadis.dan barangkali ini jumlah hadis terbesar saat ini.dan kitab ini telah di publikasikan dalam 6 jilid pada tahun 1313 h. pada abad ini, ada dua orang tokoh ulama’ yang mengomentari musnad ini , dan telah merevisinya, salah satunya adalah Syaikh Ahmad ‘Abdurrahman Al Sa’ati, orang tua hasan Al Banna, beliu menyusun musnad ini ke dalam bab-bab hukum. Ulama lainya adalah Ahmad Syakir yang berusaha mempublikasikan ke dalam edisi kritis tentang musnad asli yang di karang ibnu hambal.
Kesimpulan dari uraian di atas, bahwasanya kitab - kitab musnad ini- sebagaimana di sebutkan sebelumya – tidak hanya berisi kumpulan hadis sahih saja, tetapi mencakup semua hadis shahih, hasan, dan dhaif, Dan tidak berurutan berdasarkan bab-bab fiqih. Maka tidak mudah penggunaan kitab ini, dan akan mempersulit seorang yang ingin memepelajarinya karena kesulitan mendapatkan hadis- hadis tentang hukum fikih, atu hadis-hadis tentang suatu permasalahan.

Selasa, 12 Januari 2010

HIK Catur

WARUNG NAGKRINGAN MAS CATUR
Rahmat Munazil: 30.06.4.1.005
"Bisnis" hik berkembang pesat di kota Solo dan Yogyakarta. Di setiap ruas jalan utama ataupun gang kampung dapat dengan mudah ditemui para pedagang nasi kucing dan berbagai lauk sederhana pendukungnya. Bahkan, jika dulu warung ini dikenal juga sebagai warung remang karena buka malam hari dengan penerangan lampu minyak, saat ini di siang hari pun telah mulai bertebaran di setiap sudut permukiman. Di tengah mencekiknya harga makanan, angkringan makin ramai. Mereka menjadi pilihan karyawan dan PNS di tanggal tua.
Di setiap emper pertokoan dan tikungan di Solo dan Yogyakarta kita selalu menemui gerobak angkringan. Di gerobak ini berbagai jenis makanan rakyat dijajakan: tahu, tempe, pisang goreng, singkong rebus, kacang bawang, sosis, bihun, ataupun bakmi goreng. Berbagai minuman juga tersedia: teh panas, kopi, dan wedang jahe. Dan yang paling khas adalah "nasi kucing", nasi yang dibungkus dengan porsi "minimalis" seperti jatah makan kucing.
Di Surakarta, pedagang angkringan sering dijuluki hik. Entah dari mana asal kata itu, yang pasti dulu mereka berjualan berkeliling kota sambil sesekali berteriak"hik!" untuk memanggil pembeli. Ada yang bilang hik itu dari "heik" bahasa Jepang yang berarti "ya".
Pedagang hik biasanya berjualan sepanjang malam. Meski bekerja sepanjang malam, penghasilan mereka tak seberapa. Sebab, sebagian besar dagangan mereka titipan. Pedagang hanya mendapat komisi dari penjualan makanan itu.
Berbeda dengan warung hiknya mas Catur ini, yang bernama lengkap Catur Hardiyanto lahir pada tanggal 17 November 1974 di Kartasura, yang beralamat di Kemasan Rt 01/ 07 Ngadirejo Kartasura, bapak dengan 2 orang anak ini, berdagang dengan sebagian besar dagangannya sendiri, tiap sore mas Catur memasak sendiri sebagian besar dagangannya sendiri yang dibantu oleh istrinya. Pedagang hik yang mangkal di pertigaan kemasan Rt 01/ 09 dekat SD Kartasura 4, Solo ini berkata: "Jangan dikira setiap hari kami dapat jutaan rupiah. Itu keliru. Paling banter cuma bisa bawa pulang 500 ribu hingga 700 ribu rupiah kotor."
Warung hik punya mas Catur ini berbeda dengan warung hik lainnya, yang biasanya hanya menggelar dagangan dengan memasang tutup gerobak tenda. tetapi mas Catur mempunyai tempat tetap mangkal sendiri yang berbentuk rumahan dan nasi kucing ditempat mas Catur ini tidak memakai bungkusan lagi tetapi memakai piring, walaupun memakai piring nuansa nasi kucingnya masih kental yaitu nasi putih dan secuil daging ikan bandeng.
Sebenarnya mas Catur lebih suka berjualan dangangan lain. Tapi apa boleh dikata, berbagai jenis usaha yang pernah dilakoninya gagal. "Mungkin ndak hoki," katanya sembari tertawa. "Barangkali memang bakat saya jualan wedang dan jajanan angkring."
Ia pernah merantau ke Sumatera dan pernah juga dia ke Jakarta, tapi gagal. Kemudian dia membuka warung hik tersebut mulai tahun 1999. Sejak harga kebutuhan sembilan bahan pokok mencekik leher, nasi kucing yang murah meriah menjadi alternatif. "Kandungan gizi tidak penting-penting amat. Pokoknya asal murah meriah dan kenyang," kata mas Catur sembari tertawa.
Sebagai seorang Muslim mas Catur menjalankan bisnisnya dengan ketentuan-ketentuan yang sudah disyariatkan Islam dia tidak mau melakukan hal-hal yang diharamkan oleh Islam, seperti melakukan hal-hal yang menipu pembeli dan menjual makanan yang diharamkan oleh Islam, seperti daging babi, dideh (darah yang dimasak) dan yang lainnya yang diharamkan oleh Islam, yang dijual di warung hiknya mas Catur ini semua halal.
Dulu mas Catur ini juga mempuyai pembantu untuk melayani pembeli, tetapi kemudian keluar. Dalam menggaji karyawannya ini mas Catur juga menggunakan sistem yang ada dalam Islam yaitu membayar "sebelum kering keringatnya" dia membayar sesuai dengan apa yang dia sudah sepakati dengan karyawannya itu dengan tidak mengundur-undur pembayaran.
Demikian tadi hasil wawancara kami dengan pedagang hik/ angkringan mas Catur. Angkringan yang dulu menjadi ikon kaum papa seperti pengayuh becak dan buruh kecil, kini menjadi warung alternatif bagi orang-orang yang mulai terbelit kesulitan ekonomi. Orang-orang kelas menengah seperti karyawan, pegawai negeri sipil, dan polisi atau anggota TNI pun tak jarang menyantap nasi kucing.

Sabtu, 09 Januari 2010

Islam vs Orientalis

Islam VS Orientalis

A. Pendahuluan

Orientalis bagi sebagian kalangan memang sering dipersepsikan sebagai "momok" yang harus diwaspadai dan disingkirkan jauh-jauh. Lepas dari keberadaannya yang problematis, memang kadang orientalis melakukan kajian atau analisis dengan tujuan untuk mendiskreditkan (menyempitkan) dan menghegemoni dunia Islam. Namun di sisi lain, diakui ataupun tidak mereka telah memberikan kontribusi yang sangat berharga bagi peradaban Timur dengan memperkenalkan metodologi analisis yang obyektif dalam menyorot sebuah paradigma.
B. Pembahasan
1. Pengertian Orientalis
Banyak definisi orientalisme di kalangan para pakar dan ulama. Menurut Dr. Muthabaqani, pakar orientalisme dari Fakultas Dakwah Universitas Imam Muhammad Ibnu Sa’ud Madinah, istilah orientalisme mulai muncul sejak dua abad yang lalu [abad ke-18 M], meski aktivitas kajian bahasa dan sastra ketimuran (khususnya Islam) telah terjadi jauh sebelumnya.
Menurut Rudi Paret (orientalis Jerman, lahir 1901) orientalisme adalah “ilmu ketimuran (‘ilmu al-syarq) atau ilmu tentang dunia timur (‘ilmu al-‘alam al-syarqiy).” Sementara A.J. Arberry menggunakan Kamus Oxford untuk mendefinisikan orientalis, yaitu “orang yang mendalami berbagai bahasa dan sastra dunia timur.”
Definisi lain yang lebih ideologis dikutip juga oleh Muthabaqani dari pendapat Ahmad Abdul Hamid, dalam kitabnya Ru`yah Islamiyah li Al-Istisyraq (hal. 7). Menurut Ahmad Abdul Hamid, orientalisme adalah “studi-studi akademis yang dilakukan oleh orang-orang Barat yang kafir –khususnya Ahli Kitab— terhadap Islam dan kaum muslimin, dari berbagai aspeknya : aqidah, syariah, budaya (tsaqafah), peradaban (hadharah), sejarah, sistem-sistem kehidupanya (nuzhum), kekayaaan alam, dan potensi-potensinya…”
Yang menarik dari definisi orientalisme Muthabaqani di atas, beliau memasukkan karya intelektual muslim yang dipengaruhi oleh orientalis, sebagai kegiatan orientalisme. Karena itu, Fazlurahman boleh juga disebut seorang orientalis, karena dia mengadopsi pikiran Joseph Schahcht tentang sejarah hukum Islam. Harun Nasution, juga seorang orientalis, karena memandang sunnah (hadits) dengan cara pandang orientalis, seperti Schacht dan Ignaz Goldziher. Nurcholish Madjid (murid Fazlurahman) juga tiada lain seorang orientalis, karena banyak mengadopsi pikiran sekuler dari Harvey Cox dalam bukunya The Secular City (1967). Walhasil, Luthfi Asy-Syaukanie juga hakikatnya seorang orientalis, karena banyak mengadopsi ide kaum orientalis seperti Arthur Jeffrey, Theodore Noldeke, dan Joseph Schacht.
2. Sejarah Munculnya Orietalis
Singkatnya, sejarah orientalisme memiliki beberapa tahapan. Sebelum negara-negara dunia ketiga merdeka, orientalisme memiliki misi melanggengkan penjajahan atau imperialisme dunia Eropa, dan dalam waktu yang sama melakukan da'wah Nasrani. Di abad ke-19 sampai awal 20 banyak Islamolog yang memiliki latar belakang gereja. Duncan mac Donald, sebagai contoh, adalah ilmuan islamologi handal seluruh hidupnya didedikasikan sebagai pendeta kenamaan di Amerika.
Dari banyak pendapat , yang lebih mendekati kebenaran Muthabaqani mengutip pendapat Dr. Ali an-Namlah dalam kitabnya Al-Istisyraq wa Al-Adabiyat Al-‘Arabiyah hal. 31-33 yang berkata,”Bahwa semua peristiwa-peristiwa itu hanyalah tanda-tanda awal (irhashat) bagi orientalisme. Apa yang datang setelah itu dapat dianggap sebagai pendalaman ide tentang orientalisme, perluasan orientalisme, dan peningkatan perhatian terhadap orientalisme.” Jadi, titik awal yang sesungguhnya dari orientalisme adalah sejak abad ke-16 M, yakni suatu masa di mana Eropa tengah mengalami kebangkitan dengan aktivitas Reformasi Gereja, Renaissance, dan Humanisme. Sejak abad ke-16 itulah di Eropa mulai banyak karya cetak berbahasa Arab, juga mulai banyak lembaga-lembaga kajian yang mengeluarkan berbagai karya berupa buku. Pada tahun 1632 telah terbentuk lembaga studi bahasa Arab di Cambridge, dan pada tahun 1638 terbentuk pula di Oxford.
3. Tujuan Orientalis
Keberadaan kaum orientalis bagi dunia Islam telah menimbulkan perdebatan panjang. Sebagian kaum muslim menolak karena mengangap bahwa kajian para orientalis dipandang sangat melecehkan Islam karena telah mewartakan bahwa Islam adalah agama "saduran" dari agama dan budaya sebelumnya. Namun di sisi lain terdapat umat muslim yang mengambil jalan kompromi, yakni memanfaatkan konsep-konsep positif yang ditelurkan oleh barat untuk memperkuat barisan Islam
Nilai positif yang sangat signifikan adalah bahwa dewasa ini adalah kesadaran baru dikalangan orientalis untuk menyajikan Islam sesuai dengan warna aslinya. Diantara mereka adalah Mitsuo Nakamura dari Jepang, Markwood Ward dari Arizona State University, AS, dan Jhon L. Esposito dari College of the Holy Cross. Imuan-ilmuan ini bahkan sangat bersimpati terhadap Islam, baik Islam sebagai realita sosial maupun sebagai agama.
Apa yang menjadi tujuan kaum orientalis dalam melakukan kegiatannya? Jelas, tujuan-tujuan orientalis ini beraneka ragam , Orientais itu sangat erat hubungannya dengan Kristenisasi semuanya termasuk akal pembaratan dan senjata perang kebudayaan yang mencolok. Keduanya mempunyai medannya sendiri-sendiri, tetapi mereka saling melengkapi dalam hal bahwa orientalisme mempersiapkan racun yang disebarluaskan oleh kristenisasi di lembaga-lembaga dan perguruan-perguruan tinggi.
Orientalis bertujuan mengabdi kepada penjajahan melalui jalan keilmuan, mempersiapkan semua teori yang digunakan untuk melemahkan dan menghinakan Islam, Rasulnya, sejarahnya, dan Kitabnya. Semua teori tersebut digunakan sebagai alat penipu oleh sebagian orientalis. Teori-teori tersebut ditegakan diatas landasan hawa nafsu dan keterpihakan, bukan pada metode ilmiah sebagaimana yang mereka gembar-gemborkan. Telaah umum diketahui bahwa mereka itu menetapkan hipotesis-hipotesis yang sesuai dengan hawa nafsu mereka, kemudian menggali dari Al-Qur'an, Hadits, dan berbagai riwayat (atsar) yang mendukung pandangan mereka, tak peduli dengan cara mencabut nash-nash dari konteksnya, ataupun dengan menyimpangkan artinya.
4. Pengaruh Orientalis Terhadap Islam
Suatu perkembangan menakjubkan dari gerakan kaum modernis adalah meningkatkan jumlah sarjana Muslim tertentu yang tunduk dibawah slogan "Islamic Researc", guna menerima validitas serta kebenaran semua usaha kaum orientalis dalam merongrong serta keyakinan serta praktek-praktek Islam fundamentalis dengan tanpa mempermasalahkannya. Keberhasilan penting dari pengaruh orientalisme modern ini ialah kemampuannya dalam merangsang para sarjana Muslim ternama melalui metode ilmiah "researc" yang denga berani menyatakan bahwa kitab suci al-Qur'an serta hadis, keduanya merupakan gabungan dan tidak merupakan wahyu yang diturunkan kepada Nabi suci. Dikatakan bahwa kitab suci al-Qur'an itu adalah tak ubahnya seperti Bibel dan kitab suci agama-agama lainnya yang telah mengalami perubahan dan modifikasi dengan aluran waktu.
Jika hal ini tidak bisa dibuktikan (yang seharusnya demikian), maka kaum orientalis menginginkan agar para sarjana muslim tersebut paling tidak akan membedakan secara tegas antara bagian-bagian sejarah dalam kirtab suci tersebut yang sesuai dengan masayarakat Arab yang primitif pada masa Nabi. Dan konsekuensinya adalah bahwa ajaran-ajaran yang terkandung didalamnya tidak sesuai lagi dengan masa sekarang serta prinsip-prinsip keabadian moral moral kebutuhan universal.
4. Respon Islam terhadap Orientalis
Jika saat ini orentalisme masih terlalu ampuh dibanding ilmuwan-ilmuwan dari Timur atau negara-negara berkembang, sesungguhnya hal ini menunjukan bahwa ilmuwan-ilmuwan timur masih terjajah oleh supremasi pengetahuan dan informasi dunia Barat. Dalam rangka memerdekakan diri secara total, disiplin ilmu baru oksidentalisme (occidentalism) sebagai tandingan orientalisme perlu dikembangkan. Tujuan utama oksidentalisme adalah, sebagaimana anjuran intelektual Muslim dari Mesir, Prof. Hassan Hanafi (1995), adalah upaya pembebasan atau dekolonisasi. Jika orientalisme adalah studi ketimuran dari dunia Barat, Oksidentalisme adalah studi tentang Barat dari dan oleh dunia Timur.
Oksidentalisme akan mengimbangi supremasi dunia Barat yang sudah terlalu dominan. Jika orientalis turut memperkuat Amerika sebagai polisi dan pusat dunia, oksidentalisme akan membangkitkan bangsa lemah dan negara-negara berkembang yang selama ini berada dipinggiran. Dengan oksidentalisme, dunia ketiga khususnya Indonesia akan mampu mempertahankan watak nasionalnya. Hal ini sangat penting karean tren globalisasi ternyata telah menindas dan menggilas budaya-budaya kecil dari negara-negagra adikuasa.
C. Kesimpulan
Aqidah Islam adalah aqidah yang jelas dan tegas, jauh dari keraguan dan sangkaan serta khayalan (imaginasi). Dengan aqidah yang betul, manusia mampu mengendalikan hawa nafsunya; dan aqidah inilah yang diperkokoh oleh akal supaya tetap baik dan sampai pada hakekat yang sebenamya.
Dengan begitu jelaslah bahwa Orientalisme adalah alat yang dipakai oleh musuh-musuh Islam yang ingin merusak dan menggerogoti da’wah dan ajaran Islam yang sangat sesuai dengan fitrah manusia tersebut.
Para Orientalis berusaha keras memerangi Islam dengan segala cara, gaya dan dayanya dan dengan berbagai bentuk; karena tujuan mereka terang-terangan anti dan ingin menghancurkan Islam itu sendiri. Syukur, Allah selalu melindungi ummat Islam dan menenangkan ummat Islam, betapapun benci dan lihainya orang kafir.
D. Daftar Pustaka
Badawi, Abdurrahman, Ensiklopedi Orientalis, Yogayakarta: LKIS, Cet II, 2003.
Muthabaqani, Mazin bin Shalah, Al-Istisyraq, (www.saaid.net)
Mas'ud, Abdurrahman Menuju Paradigma Islam Humanis, Yogyakarta: Gama Medika, 2003.

al-Jundi, Anwar, Pembaratan Di Dunia Islam, Diterjemah: Ahsin Muhammad, Bandung: PT. Rosdakarya, 1991.

Jameela, Maryam (Margaret Marcus), Islam Modernisme, penerjemah: A. Januri, Syafiq A. Mughni, Surabaya: Usaha Nasional, th..

Hermeneutik

METODE HERMENEUTIKS


A. Pendahuluan
Al- Quran alam Islam menampilkan kaidah- kaidah hukum yang abadi dalam menyiapkan segala yang diperlukan manusia baik yang berkaitan dengan spiritual maupun material. Tidak mengheraqnkan jika dikatakan bahwa Al- Qur'an adalah kitab yang kompleks dan berisi petunjuk yasng komprehensif dalam seluruh aktivitias kehidupan manusia, Dalam mengungkap isi kandungan Al- Quran maka manusia wajib mempelajari dan memahaminya. Untuk memahaminya adalah melalui apa yuang disebut dengan interpretasi atau penafsiran. Yakni, dalam hal ini manusia dengan segenap upaya dan keorisinalitas makna dan nilai yang terkandung tetap terjaga.

B. Pembahasan

Pengertian
Hermeneutika diambil dari bahasa Yunani, Hermeneus, yang secara etimologi berarti tafsir (interpretasi), terjemah, pemberitahuan, dan lain sebagainya. Spekulasi historis menyebutkan hermeneutika pada mulanya pada dewa Yunani Kuno, Hermes. Dalam sejarah Yunani, Hermes adalah utusan Tuhan. Ia diberi tugas untuk menyampaikan berita dari Sang Maha Dewa yang dialamatkan pada manusia. Menurut Hosain Nasr, Hermes tidak lain adalah Nabi Idris as., yang disebut dalam Al- Quran. Dalam legenda pekerjaan Nabi Idris adalah menenun (tukang tenun). Qomaruddin Hidayat menyebutkan bahwa kata kerja memintal, padanannya dalam bahasa latin adalah tegere, sedang produknya adalah texus, atau tex. Texus atau text merupakan isu sentral dalam kajian hermeneutik. Karenea itu hermeneutika berhubungan dengan penyampaian berita yang dapat dimengerti. Dengan demikian hermeneutika yang diambil daari peran Hermes adalah sebuah ilmu dan seni menginterpretasikan sebuah teks.
Hal senada juga dikemukakan oleh Zygmun Bauman, Bahwa Hermeneutika berasal dari Yunani yang berkaitan dengan "upaya menjelaskan dan menelusuri" pesan dan pengertian dasar dari sebuah ucapan atau tulisan yang tidak jelas, kabur, remang-remang dan kontradiktif, sehingga menimbuklkan keraguan dan kebingungan bagi pendengar atau pembaca.
Berangkat dari pemahaman tersebut, Hemeremneutiks itu ialah pembahasan tentang kaidah (teori) atau metode yang digunakan untuk memaknai atau menafsirkan suatu teks (pesan) agar didapatkan pemahaman yang benar, kemudian berusaha menyampaikan kepada audien sesuai tingkat dan daya serap mereka, hermeneutiks secara substansial tidak jauh berbeda dari Ilmu Tafsir, namun secara konseptual antara kedua istilah itu terdapat perbedaan yang amat mendasar.

Persamaan Dengan Ilmu Tafsir
Dalam sejarah hermeneutiks tafsir Al-Quran terbagi menjadi dua: pertama, hermeneutika Al-Quran tradisional perangkat metodologinya hanyas sebatas pada linguistik dan riwayat, jadi belum ada rajutan sitematikantara teks, penasfsir, dan audiens sasaran teks. kedua, hermeneutika Al-Quran kontemporer telah melakukan perumusan sistematis ketiga unsur tersebut. Di dalamnya, suatu proses penafsiran tidak lagi berpusat pada teks, tapi penafsir dan satu sisi, dan pembaca disisi yang lain secara metodologis merupakan bagian yang mandiri.
Kesamaannya dengan tafsir adalah bahwa setiap kata tidak mengandung dalam dirinya makna yang independen, sebaliknya kata senantiasa dikaitkan dengan kata yang laian guna melahirkan kata. Kata "khasyyah" digunakan dalam struktur yang berbeda dengan kata "khauf". Karena itu, disitu diperlukan adanya kaidah-kaidah kebahasaan, yang dalam ilmu tafsir dikenal dengaqn kaidah penafsiran. Sedang dlam hermeneutiks dikenal dengan kaidah sintagmantik dan paradigmatik.
Hermeneutiks mempunyai tujuan yang sangat luhur, yaitu ingin menjelaskan, kepada umat suatu ajaranm sejelas-jelasnyaan sejujurnya dalam bahasa yang dimengerti oleh umat itu sendri. Dari itu seorang hermeneunt harus mermahami secara mendalam dan utuh tentang teks yang akan disampaikan kepada umat. Hermeneutiks ada tiga unsur pokok yang harus dipenuhi (triadic struktur) yaitu teks, interpreter, dan audians (penerima tafsir).
Ketiga aspek itu secara implisit berisi tiga konsep pokok yakni 1) membicarakan hakikat sebuah teks; 2) apakah interpreternya memahami memahami teks dengan baik; dan 3) bagaimana suatu penafsiran dapat dibatasi oleh asumsi-asumsi dasar serta kepercayaan atau wawasan para audiens.
Sedangkan hermenutika kesentralan Al-Quran menurut Fazlur Rahman didasari pada dua pilar: pertama, teori kenabian dan hakikat wahyu, dan kedua, pemahaman sejarah. Kedua komponen itu merupakan hermeneutika umumnya terhadap Al-Quran.
Ketiga unsur pokok yang menjadi pilar utama dalam teori hermeneutiks itu tidak jauh beda dari yang dipakai para Ulama' Tafsir dalam menafskan Al-Quran. Ibnu Taumiyyah, misalnya, menyatakan bahwwa dalam setiap proses penafsiran harus diperhatikan tiga hal: 1) siapa yang menyabdakan; 2) kepada siapa ia diturunkan; dan 3) ditujukan kepada siapa.
Perbedaan Hermeneutika dengan Tafsir
Sebelum membahas perbedaan antara Hermeneutika dengan Tafsir, kita perlu tahu terlebih tentang definisi kedua istilah tersebut. untuk pengertian hermeneutik telah dijelaskan pada bab sebelumnya. adapun tafsir menurut Prof. Dr. Nashirudin Baidan adalah “ penjelasan atau keterangan terhadap maksud yang sukar memahaminya dari ayat-ayat Al-Quran. dengan demikian menafsirkan Al Quran ialah menjelaskan atau menerangkan makna-makan yang sulit pemahamannya dari ayat-ayat Al Quran tersebut.” Dari penjelasan diatas, kita telah tahu baik definisi hermeneutik maupun tafsir.
Dr. Ugi Sugiharto menandaskan: di dalam Al-Qur’an ada ayat-ayat yang muhkamat, ada ushul ajara Islam, ada hal-hal yang bersifat tsawabit, semua ayat-ayatnya adalah qhat’iy al tsubut al wurud. Dan bagian-bagiannya ada yang menunjukkan qoth’I al dilalah ada perkara-perkara yang termasuk dalam al ma’lum min al bin bi al dhoruroh. Ada sesuatu yang ijma’ mengenai Al Qur’an dan ada yang dipahami sebagai al Quranyang disampaikan dengan ajalan mutawatir, yang semuanya itu dapat dipahami dan dimengerti oleh kaum muslimin dengan derajat yakin bahwasanya itu adalah ajaran al Qur’an yang dikehendaki oleh Allah. Apabila filsafat Hermeneutika digunakan kepada al-Qur’an, maka yang muhkamat akan menjadi mutasyabihat, yang ushul menjadi furu’, yang tsawabit menjadi mutaqhayyarot, yang qoth’I menjadi dhonniy, yang ma’lum menjadi majhul, yang ijma’ menjadi ikhtilaf, yang mutawattir menjadi ahad, dan yang yakin menjadi dhonn, bahkan syakk.”
Nampaknya, tidak berlebihan apa yang diungkapkan Uki Sugiharto diatas. dalam hermeneutika, sebuah teks kitab suci (Al Qur’an) yang akan ditafsir haruslah dianggap atau diperlakukan seperti teks-teks lain, bukan sebagai teks atau kalam Illahi. Dalam hal ini mereka berpedoman dengan loggo mereka” Jika kitab suci diyakini sebagai tulisan tuhan sendiri, maka siapa yang mampu memahami maksud tuhan secara sempurna”. Berangkat dari asumsi ini para hermeneut (orang yang menafsirkan) berhak mengotak-atik atau mengubah teks kitab suci tersebut. Mereka beranggapan bahwa teks itu selalu lebih luas dari pada apa yang dimaksudkan oleh pengarangnya. Jika hal seperti ini diterapkan dalam al Qur’an, maka yang terjadi semua ayat al Qur’an bisa menjadi relatif maknanya, tidak ada kebenaran mutlamnya. Dan imbasnya tidak ada lagi yang namanya ayat-ayat muhkamat, qathiy dalalah, tsubut dan sebagainya.
Lebih jauh lagi, Prof. Dr. Narhirudin Baidan membedakan antara hermeneutika dengan tafsir, yang secara singkatnya sebagai berikut:
1. Jika dibandingkan antara posisi atau tugas hermes sebagai seorang utusan dewa, dengan Nabi Muhammad sebagai utusan tuhan, maka dalam posisinya sebagai utusan dewa hermes berwenang penuh dalam menyampaikan pesan yang dibawanya. Bahkan ia diberi lisensi untuk melakukan interpretasi bahkan penyaduran pesan selama hal itu sesui dengan audien. Itu berarti dia memperoleh kewenangan yang luar biasa dari dewa tersebut, sehingga terkesan semua yang dikatakannya harus diyakini itu berasal dari dewa. Jika hal ini terjadi maka pesan yang disampaikannya merupakan hasil rekayasa secara pribadi, karena hermes tersebut sudah lepas kontrol dari dewanya. Hal ini sangat berbeda dengan risalah yang dibawa Nabi Muhammad, disini Nabi Muhammad tidak mempunyai kewenangan mengubah sedikitpun risalah yang diterimanya kecuali hanya sekedar menyampaikan, dan menjelaskan apa-apa yang belum dipahami oleh umatnya, jadi dia tidak berhak sama sekali merefisinya. Dalam kaitan ini Allah menegaskan “sekiranya Muhammad berani merevisi sedikit saja (yang kami turunkan) niscaya akan kami cengkram dengan tangan kanan kami, kemudian untuk urat nadinya kami potong. tidak seorangpun diantara kalian yang mampu mempertahankannya.
kemudian lebih jelas lagi Pror. Dr. Nasrudin Baidan membedakan keduanya dalam sekema berikut:



Perbandingan Tugas Risalah-Risalah.
HERMENEUTIK (Hermes) ILMU TAFSIR ( Muhammad)
1. Berwenang Menginterpekasi dan menyedur risalah yang akan disampaikan 1. tidak berwenang mengubah sedikitpun risalah yang akan disampaikan kecuali hanya sebatas menyampikan apa adanya dan sekedar penjelasan kalau ada pesan yang kabur atau kurang jelas.
2. tidak ada kontrol dari risalah yang disampaikan apakah telah sesuai dengan norma yang berlaku apa tidak / belum 2. selalu dibawah kontrol Allah , sehingga Muhammad tidak boleh berbuat sesukannya sendiri

Posisi Rasul setelah Menerima Risalah

Hermeneutik Ilmu Tafsir






2. Dalam Proses penafsiran, hermeneutika tidak mementingkan urutan prosedural yang akan ditetapkan sebagaimana ditegaskan oleh Schleiemacher. “Kitab suci tidak membutuhkan tipe khusus prosedur penafsirannya. betapapu, permasalahan yang mendasar dalam memahami suatu teks adalah mengembangkan gramatika dasar dan kondisi psikologis”.
Dalam hal ini Prof. Dr. Nasrudin Baidan memaparkan bahwa kondisi semacam ini bertolak belakang dengan ilmu tafsir; dimana langkah-langkah prosedural dalam penafsiran Al Qur’an amat dibutuhkan.. Para ulama pada umumnya mengakui bahwa urutan penafsiran itu merupakan salah satu upaya untuk menghasilkan suatu produk tafsir yang representatif dan dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah. Urutan-urutan langlah penafsiran yang ditawarkan oleh ulama ialah menempatkan penafsiran Al Qur’an (ayat) dengan Al Qur’an(ayat) lain pada urutan pertama: kemudian penafsiran al Qur’an (ayat) dengan sunnah (hadits Rasul); kemudian penafsiran sholat dan selanjutnya Tabi’in.
Namun demikian menurutnya hal urutan prosedural seperti itu bukanlah mutlak dan satu-satunya. Artinya urutan-urutan seperti itu digunakan sekaligus atau permasalahan yang dihadapi memang mirip dengan yang terjadi pada tiga generasi itu; jika tidak ditemukan kasusnya pada masa-masa tersebut maka seorang mufassir harus mencari alternatif lain dengan memperhatikan teks, ayat dan konteks pembicaraan.
3. Ruang lingkup hermeneutika berkisar pada tiga elemen pokok yakni teks,interprenter dan audien (konteks, dan sebagainya) atau apa yang diistilahkan dengan triadic stucture yang berarti teori hermeneutik sangat simpel dan umum: tidak memberikan penjelasan yang rinci untuk membimbing para mufassir menemukan sebuah penafsiran yang benar dan representatif atau dalam istilah ilmu tafsir hermeneutik hanya sebatas asbab nuzul , peristiwa-peristiwa atau kondisi psikologis atau sosial yang melatar belakangi turunya suatu ayat yang dalam ilmu hadits tafsir jauh lebih detail dari pada kriteria yang dikembangkan dalam nermeneutik; bahkan mereka tidak hanya menetapkan kaidah-kaidah kebahasan yang berhubungan langsung dengan teks, melaikan menetapkan prasayaratan bagi seorang mufassir yakni selain dia harus mempunyai iktikat yang baik, tidak munafik, dan lain-lain, dia harus mempunyai ”ilmu mauwibah” yaitu ilmu yang dikaruniai Allah hamba-hambanya yang tekun.
4. dalam teori hermeneutik terkesan bahwa seorang hermeneut dapat menafsirkan semua teks tanpa terkecuali selama dia dapat menguasai ketiga unsur dalam herneutik secara baik. sedangkan dalam ilmu tafsir, tidak semua yang ada di dalam al-Qur’an dapat ditafsirkan , akan tetapi ada ayat yang menginformasikan alam Ghaib yang takmungkin dapat dijangkau oleh rasio. dilarangnya menafsirkan ayat yang suprarasional bukan untuk mengekang pemikiran mereka, melainkan untuk membimbing mereka bahwa hal semacam itu tidak terlalu urgen bagi mereka dalam memperoleh bahagia dunia dan akhirat.
5. Dalam teori hermeneutik seorang interpreter memahami diri penulis (pengarang) lebih baik dari pada penulis mengenai dirinya sendiri. Sebaliknya bila masuk kewilayah Al Qur’an teori ini sangat mustahil dapat dipakai sebab al Qur’an tidak dibuat oleh manusia (Muhammad), melainkan diturunkan langsung oleh Allah, sedikitpun tidak ada perubahan olehnya (Muhammad). sangat mustahil bagi manusia memiliki pengetahuan tentang Allah melebihi dari apa yuang diketahui Allah tentang diriNya. bahkan mengenai substansi makhlukNya saja manusia tidak ampu seperti hal-hal yang ghaib.
Urgensi
Dengan hermeneutika, makna yang merupakan konstruksi budaya dan makana yang dimaksud agama dapat dipisahkan satu sama lain. Demikian juga dengan hemermeneutika, makna bahasa akan senantiasa berdialektika dengan realitas budaya, sehingga bahasa akan senantiasa berdialektika dengan realitas budaya, sehingga bahasa akan kontekstual dengan diluar dirinya. Bahasa akan kontekstual, karena makna bahasa tidak tergantung pada hubungan dialektis antara bahasa dengan relitas. Ketika bahasa dibawa kedalam medan semantik yang berbeda dalam analisa semantiknya, maka makna kata juga akan mengalami perubahan. Demikian juga ketika kata dibawa kedalam susunan gramatika yang berbeda, maknanya juga akan berbeda.

C Penutup
Dapat disimpulkan bahwa hermeneutiks merupakan metode berfikir falsafi, radikal, dan ilmiah demi meraih kebenaran yang objektif. Mengingat yang demikian, maka teori-teori atau kaidah- kaidah yang dibahas dalam hermeneutiks lebih diandalkan untuk membantu mufasir dalam proses penelitian karya-karya tafsir, bukan untuk menafsirkan ayat-ayat suci karena dalam memahami ayat-ayat suci Al-Quran seseorang harus memiliki kaedah-kaedah dan teori-teori spesifik yang tidak dibahas dalam hermeneutiks.








D. Daftar Pustaka

Aminuddin, Luthfi Hadi dkk, Hermeneutika Al-Quran, Kodifikasi, Jurnal Penelitian Keagamaan dan Sosial-Budaya, volume 1 no. 1, STAIN Ponorogo.Tahun 2007.
Baidan, Nasruddin, Wawasan Baru Ilmu Tafsir, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 2005.

Jamil, M. Mukhsin, Tekstualitas Al- Quran Dan Problem Hermeneutika, Teologia, Jurnal Ilmu- ilmu Ushuluddin, Volume 17 Nomor 1, Januari, IAIN Walisongo, Semarang, 2006.
Ma'rif, Syamsul, Metode Hermeneutik Untuk Penelitian Agama, Teologia, Jurnal Ilmu- ilmu Ushuluddin, Volume 17 Nomor 1, Januari, IAIN Walisongo, Semarang, 2006.
Mansur, Membaca al-Quran Dengan Metode Baru, Dialogia, Jurnal Studi Islam Dan Sosial, Vol 4 No. 1 Januari-Juni , STAIN Ponorogo, 2006.
Rahman, Fazlur, Gelombang Perubahan Dalam Islam,Studi Fundamentalis Islam, Terjmahan, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2000.
Islamia, Vol. 2004

Tafsir Jalalain

KAJIAN TENTANG KITAB TAFSIR JALALAIN

A. Pendahuluan
Al-Qur'an laksana intan permata yang setiap ujungnya memancarkan cahaya berkilauan. Ilustrasi ini memberikan pengertian bahwa al-Qur'an merupakan mata air yang telah mengilhami munculnya berjilid-jilid kitab tafsir. Mereka, para mufasir yang menulis kitab tafsir itu, menggunakan beragam metode dalam menafsirkan al-Qur'an
Salah satu kitab tafsir yang sangat familier di Indonesia, terutama di kalangan pondok pesantren, adalah kitab tafsir Jalalain. Kitab ini sangat mudah dijumpai karena sampai sekarang pengkajian kitab ini masih dapat kita temukan di berbagai pondok di Indonesia. Dalam makalah ini akan dikaji tentang seluk beluk yang berkaitan dengan tafsir Jalalain.
B. Pembahasan
1. Biografi Pengarang
Kitab ini dikarang oleh dua orang Imam yang agung, yakni Jalaluddin al-Mahalli dan Jalaluddin al-Suyuthi.
Jalaluddin al-Mahalli bernama lengkap Muhammad bin Ahmad bin Muhammad bin Ibrahim bin Ahmad al-Imam al-Allamah Jalaluddin al-Mahalli. Lahir pada tahun 791 H/1389 M di Kairo, Mesir. Ia lebih dikenal dengan sebutan al-Mahalli yang dinisbahkan pada kampung kelahirannya. Lokasinya terletak di sebelah barat Kairo, tak jauh dari sungai Nil.
Sejak kecil tanda-tanda kecerdasan sudah mencorong pada diri Mahalli. Ia ulet menyadap aneka ilmu, misalnya tafsir, ushul fikih, teologi, fikih, nahwu dan logika. Mayoritas ilmu tersebut dipelajarinya secara otodidak, hanya sebagian kecil yang diserap dari ulama-ulama salaf pada masanya, seperti al-Badri Muhammad bin al-Aqsari, Burhan al-Baijuri, A'la al-Bukhari dan Syamsuddin bin al-Bisati. Al-Mahalli wafat pada awal tahun 864 H bertepatan dengan tahun 1455 M.
Sedangkan al-Suyuthi bernama lengkap Abu al-fadhl Abdurrahman bin Abi Bakr bin Muhammad al-Suyuthi al-Syafi'i. Beliau dilahirkan pada bulan Rajab tahun 849 H dan ayahnya meninggal saat beliau berusia lima tahun tujuh bulan. Beliau sudah hafal al-Qur'an di luar kepala pada usia delapan tahun dan mampu menghafal banyak hadis. Beliau juga mempunyai guru yang sangat banyak. Di mana menurut perhitungan muridnya, al-Dawudi, mencapai 51 orang. Demikian juga karangan beliau yang mencapai 500 karangan. Beliau meninggal pada malam Jum'at 19 Jumadil Awal 911 H di rumahnya.
2. Latar Belakang Penulisan
Riwayat hidup al-Mahalli tak terdokumentasi secara rinci. Hal ini disebabkan ia hidup pada masa kemunduran dunia Islam. Lagi pula ia tak memiliki banyak murid, sehingga segala aktivitasnya tidak terekam dengan jelas. Walau begitu, al-mahalli dikenal sebagai orang yang berkepribadian mulia dan hidup sangat pas-pasan, untuk tidak dikatakan miskin. Guna memnuhi kebutuhan sehari-hari, ia bekerja sebagai pedagang. Meski demikian kondisi tersebut tidak mengendurkan tekadnya untuk terus mengais ilmu. Tak mengherankan jika ia mempunyai banyak karangan yang salah satunya adalah Tafsir al-Qur'an al-'Adzim yang lebih dikenal dengan nama Tafsir Jalalain tetapi belum sempurna.
Sedangkan al-Suyuthi-lah yang menyempurnakan "proyek" gurunnya. Pada mulanya beliau tidak berminat menulis tafsir ini, tetapi demi memelihara diri dari apa yang telah disebutkan oleh firman-Nya:
(“dan barang siapa yang buta hatinya didunia ini, niscaya diakhirat nanti ia akan lebih buta dan lebih tersesat dari jalan yang benar”). (Qs, al-Isra’ :72)
maka dia menulis kitab ini, kitab ini selesai ditulis pada hari Ahad, tanggal 10 Syawal 870 Hijriah, Penulisannya di mulai pada hari rabo, awal ramadhan dalam tahun yang sama, kemudian konsep jadinya diselesaikan pada hari Rabu 8 Safar 871 Hijriah.
3. Bentuk, Metode dan Corak Tafsir Jalalain
Istilah bentuk penafsiran tidak dijumpai dalam kitab-kitab 'ulum al-Qur'an (ilmu tafsir) pada abad-abad yang silam bahkan sampai periode modern sekalipun tidak ada ulama tafsir yang menggunakannya. Oleh karenanya tidak aneh bila dalam kitab-kitab klasik semisal al-Burhan fi 'Ulum al-Qur'an karangan al-Zarkasyi, al-Itqan fi 'Ulum al-Qur'an karya al-Suyuthi, dan lain-lain tidak dijumpai term tersebut.
Namun menurut Nashruddin Baidan, dapat disimpulkan bahwa penafsiran yang diterapkan olah para mufasir sejak pada masa Nabi sampai dewasa ini dapat dikerucutkan menjadi dua macam, yakni tafsir bi al-ma'tsur dan bi al-ra'y.
Tafsir Jalalain merupakan tafsir yang menggunakan bentuk bi al-ra'y. Karena dalam menafsirkan ayat demi ayat menggunakan hasil pemikiran atau ijtihad para mufasir (meskipun tidak menafikan riwayat). Sebagai contoh ketika al-Jalalain menafsirkan penggalan ayat berikut ini:
(ولا تتبدلواالخبيث) الحرام (بالطيب) الحلال أى تأخذوه بدله كما تفعلون من أخذ الجيد من مال اليتيم وجعل الردئ من مالكم مكانه.
Di sini kelihatan dengan jelas bahwa ketika menafsirkan penggalan ayat tersebut al-Suyuthi murni menggunakan pemikirannya tanpa menyebut riwayat. Jika kita bandingkan dengan tafsir Ibnu katsir berikut ini, akan lebih jelas perbedaannya.
(ولا تتبدلواالخبيث بالطيب) قال سفيان الثورى عن أبى صالح :لا تعجل بالرزق الحرام قبل أن يأتيك الرزق الحلال الذى قدر لك وقال سعيد بن جبير:لا تتبدلواالحرام من أموال الناس بالحلال من أموالكم,يقول :لاتبدلوا أموالكم الحلال وتأكلوا أموالهم الحرامز.وقال سعيد بن المسيب والزهرى:ولا تعط مهزولا ولا تأخذ سمينا. وقال إبراهيم والنخعى والضحاك:لا تعط زيفا وتأخذ جيدا.وقال السدى: كان أحدهم يأخذ الشاة السمينة من غنم اليتيم, ويجعل مكانها الشاة المهزولة ويقول: شاة بشاة, ويأخذ الدرهم الجيد ويطرح مكانه الزيف ويقول درهم بدرهم
Di sini Ibnu Katsir menggunakan bentuk bi al-ma'tsur. Beliau ketika menafsirkan penggalan ayat tersebut langsung merujuk riwayat dari al-Tsauri, Sa'id bin Jubair, Sa'id bin al-Musayyab dan lain-lain. Sehingga seakan-akan beliau tidak punya pendapat sendiri tentang hal tersebut.
Hal inilah yang membedakan antara bentuk bi al-ma'tsur dengan bentuk bi al-ra'y. Tafsir yang menggunakan bentuk bi al-ma'tsur sangat tergantung dengan riwayat. Tafsir ini akan tetap ada selama riwayat masih ada. Berbeda dengan tafsir bi al-ra'y yang akan selalu berkembang dengan perkembangan zaman.
Adapun mengenai metode yang digunakan tafsir Jalalain menggunakan metode Ijmali (global). Sebagaimana diungkapkan oleh al-Suyuthi bahwa beliau menafsirkan sesuai dengan metode yang dipakai oleh al-Mahalli yakni berangkat dari qoul yang kuat, I'rab lafadz yang dibutuhkan saja, perhatian terhadap Qiraat yang berbeda dengan ungkapan yang simpel dan padat serta meninggalkan ungkapan-ungkapan bertele-tele dan tidak perlu.
Mufasir yang menggunakan metode ini biasanya menjelaskan ayat-ayat al-Qur'an secara ringkas dengan bahasa populer dan mudah dimengerti. Ia akan menafsirkan al-Qur'an secara sistematis dari awal hingga akhir. Di samping itu, penyajiannya diupayakan tidak terlalu jauh dari gaya (uslub) bahasa al-Qur'an, sehingga penbengar dan pembacanya seakan-akan masih tetap mendengar al-Qur'an, padahal yang didengarnya adalah tafsirnya.
Berbeda dengan metode yang digunakan oleh Ibnu Katsir sebagaimana terlihat dalam contoh. Dari contoh tersebut Ibnu Katsir menggunakan metode Tahlili (analitis). Perbedaannya terletak pada terget yang ingin dicapai. Jika yang diinginkan adalah hanya untuk mengetahui makna kosa kata, tidak memerlukan uraian yang luas, maka cukup menggunakan metode Ijmali seperti Tafsir Jalalain. Tetapi jika target yang ingin dicapai adalah suatu penafsiran yang luas tetapi tidak menuntaskan pemahaman yang terkandung dalam ayat secara komprehensif, maka metode yang cocok adalah metode Tahlili (analitis), sebagaimana tafsirnya Ibnu Katsir.
Corak penafsiran ialah suatu warna, arah, atau kecenderungan pemikiran atau ide tertentu yang mendominasi sebuah karya tafsir. Jadi kata kuncinya adalah terletak pada dominan atau tidaknya sebuah pemikiran ide tersebut. Bila sebuah kitab tafsir mengandung banyak corak (minimal tiga corak) dan kesemuanya tidak ada yang dominan karena porsinya sama, maka inilah yang disebut corak umum.
Adapun tafsir Jalalain karena uraiannya sangat singkat dan padat dan tidak tampak gagasan ide-ide atau konsep-konsep yang menonjol dari mufasirnya, maka jelas sekali sulit untuk memberikan label pemikiran tertentu terhadap coraknya. Karena itu pemakaian corak umum baginya terasa sudah tepat kerena memang begitulah yang dijumpai dalam tafsiran yang diberikan dalam kitab tersebut. Itu artinya bahwa dalam tafsirnya tidak didominasi oleh pemikiran-pemikiran tertentu melainkan menafsirkan ayat-ayat al-Qur'an sesuai dengan kandungan maknanya.
4. Karakteristik Tafsir Jalalain
Kitab ini terbagi atas dua juz. Juz yang pertama berisi tafsir surat al-Baqarah sampai surat al-Isra' yang disusun oleh Jalaluddin al-Suyuthi, sedangkan juz yang kedua berisi tafsir surat al-Kahfi sampai surat al-Naas ditambah dengan tafsir surat al-Fatihah yang disusun oleh Jalaluddin al-Mahalli.
Untuk mengetahui karakteristik tafsir ini perlu diperbandingkan dengan tafsir lain yang bercorak sama. Berikut disuguhkan perbandingan dengan Tafsir Marah Labid karya Nawawi al-Bantani dan juga Tafsir al-Baidhowi karya Imam Baidhowi.
• (وما يخادعون إلا أنفسهم) لأن وبال خداعهم راجع اليهم فيفتضحون فى الدنيا باطلاع الله نبيه على ما ابطنوه ويعاقبون فى الأخرة (وما يشعرون) يعلمون أن خداعهم لأنفسهم والمخادعة هنا من واحد كعاقبت اللص وذكر الله فيها تحسين وفى قرأة وما يخدعون
• (وما يخدعون) أى يكذبون (إلا أنفسهم) وهذه الجملة حال من ضمير يخادعون أى يفعلون ذلك والحال أنهم ما يضرون بذلك الا أنفسهم فان دائرة فعلهم مقصورة عليهم وقرأ عاصم وابن عمر وحمزة والكسائ وما يخدعون بفتح الياء وسكون الخاء وفتح الدال وقرأ الباقون بضم الياء وفتح الخاء مع المد وكسرالدال ولا خلاف فى قوله يخادعون الله فالجميع قرأ بضم الياء وفتح الخاء وبالألف بعدها وكسرالدال وأما الرسم فبغير ألف فى الموضعين (وما يشعرون) أن الله يطلع نبيه على كذبهم
• (وما يخادعون إلا أنفسهم) قرأة نافع وابن كثير وأبى عمر والمعنى ان دائرة الخداع راجعة اليهم وضررها يحيق بهم أو أنهم فى ذلك خدعوا أنفسهم لما غروها بذلك وخدعتهم أنفسهم حيث حدثتهم بالأماني الفازعة وحملتهم على مخادعة من لا يخفى عليه خافية وقرأ الباقون وما يخدعون لان المخادعة لا تتصور الا بين اثنين وقرئ ويخدعون من خدع ويخدعون بمعنى يختدعون ويخدعون ويخادعون على البناء للمفعول ونصب أنفسهم بنزع الخافض والنفس ذات الشيء وحقيقة ثم قيل للروح لان النفس الحي به وللقلب لانه محل الروح أو متعلقة وللدم لان قوامها به وللماء لفرط حاجتيا اليه وللرأى فى قولهم فلان يؤامر نفسه لانه ينبعث عنها أو يشبه ذاتا مرة وتشير عليه والمراد بالانفس ههنا ذواتهم ويحتمل حملها على أرواحهم وآرائهم (وما يشعرون) لا يحسون بذلك لتمادى غفلتهم جعل لحوق و بال الخداع ورجوع ضرره اليهم فى الظهو وكالمحسوس الذى لا يخفى الا على مؤوف الحواس والشعور الاحساس ومشاعرالانسان حواسه وأصله الشعر ومنه الشعار
Salah satu sisi yang ditampilkan dari ketiga contoh di atas adalah masalah Qira'at. Tetapi jika dilihat lebih lanjut terjadi perbedaan dalam penyajiannya. Jika dibandingkan dengan kedua tafsir di bawahnya, pembahasan yang ada dalam Tafsir Jalalain lebih ringkas, bahkan cenderung sepintas lalu. Rupanya Suyuthi tidak mau terjebak dalam pembicaraan yang bertele-tele, cukup hanya dengan menunjukkan adanya perbedaan qira'at. Sebagaimana yang ia sampaikan dalam muqaddimahnya.
Dari sini dapat disimpulkan bahwa karakteristik Tafsir Jalalain jika dibandingkan dengan tafsir lain yang bercorak sama adalah ungkapannya yang simpel dan padat dengan gaya bahasa yang mudah. Tujuannya adalah agar dapat dicerna dengan mudah oleh para pembaca tafsir. Hingga pantaslah kalau ada yang mengatakan bahwa antara al-Qur'an dengan tafsirannya hampir sama.
Bahkan, menurut pengarang kitab Kasyf al-Dzunun, ada sebagian ulama Yaman yang mengatakan bahwa hitungan huruf al-Qur'an dengan tafsirannya sampai surat al-Muzzammil adalah sama. Baru pada surat al-Muddatstsir dan seterusnya tafsir ini melebihi al-Qur'an.
Yang menarik dari kitab ini adalah penempatan tafsir Surat al-fatihah yang diletakkan paling akhir. Kedua mufassir juga tidak berbicara tentang basmalah sebagaimana tafsir-tafsir lainnya. Tidak ada keterangan yang menyebutkan tentang alasan tidak ditafsirkannya basmalah.
C. Penutup
Budaya tafsir-menafsir merupakan bagian dari peradaban Islam. Budaya ini yang menjadikan intelektual Islam menjadi terangkat namanya dalam kancah internasional. Salah satu tafsir yang populer di Indonesia adalah tafsir Jalalain. Tafsir ini begitu populernya, sehingga hukumnya "wajib" mengkaji tafsir ini di kalangan pesantren. Kesemuanya itu tak terlepas dari isi tafsir itu sendiri yang isinya singkat dan padat serta para mufasirnya yang begitu karismatik.

DAFTAR PUSTAKA
Amin, Ghofur Saiful , Profil Para Mufasir al-Qur'an, Yogyakarta, Puataka Insan Madani, 2008.

Baidan, Nashruddin, Metode Penafsiran Al-Qur'an, Yogyakarta, Pustaka Pelajar, 2002.

, Wawasan Baru Ilmu Tafsir, Yogyakarta, Pustaka Pelajar, 2005.

Al-Baidhowi, Abdullah bin 'Umar bin Muhammad , Tafsir al-Baidhowi, jilid I, Beirut, Dar Shadir, t.th.

Al-Dimasyqy, Ibnu Katsir , Tafsir al-Qur'an al-'Adzim, juz 1, Beirut, Maktabah al-Nur al-Ilmiah,1991.

Al-Dzahabi, Muhammad Husain , al-Tafsir wa al-Mufassirun, juz 1, Beirut, 1976.

Jalaluddin al-Suyuthi dan Jalaluddin al-Mahalli, Tafsir al-Qur'an al-'Adzim, Dar Ihya' al-Kutub al-'Arabiyah, t.th.

Nawawi al-Jawi, Muhammad , Marah Labid, Dar Ihya al-Kutub al-'Arabiyah, t.th.

Al-Qusthunthonni, Mushtafa bin Abdillah , Kasyf al-Dzunun, juz 1, Beirut, Dar al-Kutub al-'Ilmiyah, 1992.

Tafsir Jawahir

Kajian Tentang Kitab Tafsir Jawahir
A. Pendahuluan
Tak diragukan lagi bahwa banyak ayat-ayat al-Qur'an yang berbicara tentang alam raya. Tetapi hanya sedikit sekali tafsir yang berbicara dengan melakukan pendekatan ilmu pengaetahuan. Salah satu tafsir yang membuat terobosan baru adalah tafsir Jawahir. Terlepas dari kontroversi boleh tidaknya tafsir bil 'ilmi, yang pasti tafsir ini memberi kontribusi penting dalam dunia penafsiran.
B. Pembahasan
Biografi Pengarang
Pada tahun 1870 M di wilayah al-Ghar, Thanthawi Jauhari dilahirkan. Ia berasal dari keluarga petani yang sederhana. Namun orang tuanya menginginkannya tumbuh sebagai orang berpredikat terpelajar. Karena itu, setelah menamatkan serangkaian pendidikan formal di kota kelahirannya, ia dikirim ke universitas al-Azhar kairo untuk mendalami ilmu-ilmu agama.
Di universitas al-Azhar, ia bertemu dengan seoragng pembaharu terkemuka, Muhammad Abduh. Baginya, Abduh bukan sekedar guru, tetapi juga mitra dialog. Pergesekan pemikiran dengan Abduh memercikkan pengaruh besar pada pemikiran dan keilmuannya terutama dalam bidang tafsir.
Sebagai akademisi, Thanthawi aktif mencermati perkembangan ilmu pengetahuan. Caranya beragam, mulai dari membaca berbagai buku, menelaah artikel di media massa, hingga menghadiri berbagai seminar keilmuan. Dari beberapa ilmu yang dipelajarinya, ia tergila-gila pada ilmu tafsir.
Di samping itu, Thanthawi juga fasih berbicara tentang fisika. Menurutnya, ilmu itu harus dikuasai oleh umat Islam. Hanya dengan cara itu maka anggapan bahwa Islam adalah agama yang menentang ilmu pengetahuan dan teknologi dapat ditepis.


Latar Balakang Penulisan
Thanthawi termasyhur karena kegigihannya dalam gerakan pembaruan membangkitkan kepedulian masyarakat terhadap penguasaan ilmu pengetahuan. Karena itu, tidak berlebihan jika sejumlah kalangan menjulukinya "mufasir ilmu" lantaran ilmu yang dikuasainya sangat luas dan mendalam.
Dalam muqaddimah kitab tafsirnya, dijelaskan bahwa sejak dulu beliau sering menyaksikan kejaiban alam, mengagumi dan merindukan keindahannya baik yang ada di langit maupun yang ada di bumi, revolusi matahari, perjalanan bulan, bintang yang bersinar, awan yang berarak, kilat yang menyambar dan listrik yang membakar serta keajaiban-keajaiban lainnya.
Selanjutnya ia menyatakan :"Ketika aku berpikir tentang keadaan umat islam dan pendidikan-pendidikan agama, maka aku menuliskan surat kepada para pemikir (al-'Uqala') dan sebagian ulama-ulama besar (Ajillah al-Ulama') tantang makna-makna alam yang sering ditinggalkan dan tentang jalan keluarnya yang masih sering dilakukan dan dilupakan. Sedangkan sedikit sekali dari mereka yang mau berpikir tentang kejadian alam dan keanehan-keanehan yang melingkupinya".
Itulah yang mendorong Thanthawi menyusun pembahasan-pembahasan yang dapat mengkompromikan pemikiran Islam dengan kemajuan Studi Ilmu Alam.
Bentuk, Metode dan Corak
Untuk mengetahui bentuk, metode dan corak sebuah kirab tafsir, perlu diadakan perbandingan kitab aslinya dengan kitab tafsir yang lain. Kali ini akan diperbandingkan antara kitab Tafsir Jawahir (kitab asli), Tafsir al-Maraghi dan Tafsir al-Wadhih (semua teks terlampir).
1. Bentuk
Dalam berbagai macam literatur, istilah bentuk penafsiran tidak dijumpai dalam kitab-kitab 'ulum al-Qur'an (ilmu tafsir) pada abad-abad yang silam bahkan sampai periode modern sekalipun tidak ada ulama tafsir yang menggunakannya. Oleh karenanya tidak aneh bila dalam kitab-kitab klasik semisal al-Burhan fi 'Ulum al-Qur'an karangan al-Zarkasyi, al-Itqan fi 'Ulum al-Qur'an karya al-Suyuthi, dan lain-lain tidak dijumpai term tersebut.
Namun dalam buku Wawasan Ilmu Tafsir yang ditulis oleh Nashruddin Baidan, dapat ditarik sebuah kesimpulan bahwa penafsiran yang dilakukan olah para mufasir sejak pada masa Nabi sampai dewasa ini dapat dikelompokkan menjadi dua macam, yakni tafsir bi al-ma'tsur dan bi al-ra'y.
Berangkat dari sini, tafsir Jawahir ini jika dilihat dengan apa yang telah disimpulkan oleh Nasruddin Baidan tersebut, maka dapat dikatakan bahwa tafsir ini menggunakan bentuk bi al-ra'yi. Karena dalam menafsirkan suatu ayat, Thanthawi murni menggunakan pemikirannya sesuai dengan kemampuan dia selain ahli sebagai seorang mufassir, juga ahli dalam bidang fisika dan biologi. Hal ini dapat terlihat dalam contoh (terlampir), ketika dia menafsirkan penciptaan manusia dari 'alaq (علق), beliau murni menggunakan kemampuan dia sebagai seorang yang ahli biologi di samping sebagai seorang mufasir, tanpa menyebutkan suatu riwayat yang berhubungan dengan 'alaq (علق).
Ini berbeda dengan penafsiran dengan bentuk bi al-Ma'tsur. Tafsir yang menggunakan bentuk bi al-ma'tsur sangat tergantung dengan riwayat. Tafsir ini akan tetap eksis selama masih ada riwayat. Kebalikannya jika riwayat habis, tafsir bi al-ma'tsur juga akan hilang.
2. Metode
Munculnya beragam kitab tafsir tidak dapat dipisahkan dari perbedaan metode penafsiran al-Qur'an. Metode di sini diartikan dengan cara kerja yang dilakukan secara sistematis. Jadi metode tafsir adalah cara (langkah dan prosedur) yang digunakan oleh mufasir untuk memahami al-Qur'an.
Jika diamati secara cermat metode yang digunakan oleh Thanthawi dalam tafsir ini adalah metode tahlili (analitis). Metode ini berusaha menjelaskan kandungan ayat-ayat al-Qur'an dari seluruh aspeknya. Dengan metode ini, mufasir menjelaskan al-Qur'an secara luas dan rinci. Segala hal yang bertautan dengan al-Qur'an bisa dimasukkan dalam tafsir. Kata kunci penggunaan metode ini tidak terletak pada banyak tidaknya materi penafsiran, akan tetapi pada penafsiran yang runtut dan rinci. Ruang lingkup yang luas memungkinkan tafsir dengan metode ini memuat berbagai ide.
Demikian halnya dengan metode yang dipakai dalam tafsir ini. Thanthawi dengan analisisnya sebagai seorang mufasir sekaligus seorang yang menguasai ilmu-ilmu alam memberikan penafsiran secara runtut dan terperinci dengan ruang lingkup yang amat luas. Dalam contoh (terlampir) sudah terlihat dengan jelas, bagaimana dia ketika berusaha menjelaskan apa yang dinamakan 'alaq (علق). Dapat kita lihat betapa luasnya penjabaran yang dia berikan mengenai 'alaq (علق). Bahkan sampai mencakup tiga halaman sendiri.
Ini jelas berbeda dengan apa yang ada dalam tafsir al-Maraghi maupun dalam tafsir al-Wadhih. Meskipun keduanya menggunakan metode yang sama dengan metode yang dipakai dalam tafsir Jawahir. Namun uraiannya tentang 'alaq (علق) tidak seluas dengan apa yang ada dalam tafsir. Dapat dibayangkan jika dalam tafsir Jawahir untuk menguraikan tentang 'alaq saja membutuhkan tiga halaman, sedangkan dalam tafsir al-Maraghi maupun al-Wadhih hanya berkisar dua sampai tiga baris saja sungguh perbedaan yang amat mencolok. Karena seperti telah dijelaskan di atas meskipun sama-sama menggunakan metode tahlili, tetapi kata kuncinya bukan terletak pada banyaknya materi penafsiran, akan tetapi pada penafsiran yang rinci dan runtut.
3. Corak
Corak penafsiran ialah suatu warna, arah, atau kecenderungan pemikiran atau ide tertentu yang mendominasi sebuah karya tafsir. Jadi kata kuncinya adalah terletak pada dominan atau tidaknya sebuah pemikiran ide tersebut. Tetapi bila ada satu yang dominan maka disebut corak khusus.
Sedangkan corak yang digunakan dalam tafsir ini adalah corak tafsir bil 'ilmi. Meskipun para ulama berbeda pendapat tentang atafsir bil 'ilmi, ada yang menolaknya dengan alasan bahwa teori-teori ilmiah jelas bersifat nisbi (relatif) dan tidak pernah final. Tetap ada yang mendukungnya dengan alasan bahwa al-Qur'an justru menggalakkan penafsiran ilmiah.
Tetapi jika kita lihat dalam contoh, jika kita bandingkan dengan tasir lainnya, ketika ketiga tafsir sama-sama berbicara tentang 'alaq (علق) terlihat dengan jelas bahwa tafsir Jawahir ini memang menggunakan corak tafsir bil 'ilmi.
Sebagai contoh ketika ketiga tafsir berbicara tentang 'alaq (علق). Kedua tafsir (al-Maraghi dan al-Wadhih) seperti tafsir-tafsir lainnya mengartikan makna 'alaq (علق) sebagai darah yang membeku atau sepotong darah yang beku (دم جامد/قطعة دم جامدة) yang tidak mempunyai panca indra, tidak bergerak dan tidak mempunyai rambut.
Berbeda halnya ketika Thanthawi menafsirkan tentang 'alaq (علق), dia memulai dengan perbandingan antara telur yang ada pada binatang aves (sejenis burung) dengan sel telur yang ada pada manusia. Menurutnya apa yang terjadi pada binatang tersebut sama dengan apa yang ada pada manusia. Telur pada hewan jenis burung mempunyai apa yang dinamakan putih dan kuning telur. Dan apa yang dinamakan jurtsumah (جرثومة), di mana jurtsumah ini yang menjadi dasar pembentukan manusia.
Demikian juga apa yang terjadi pada indung telur seorang wanita. Indung ini mempunyai ukuran minimal 1/120 qirath dan maksimal 1/20 qirath. Sedangkan sel kuning telur ukurannya tidak lebih dari 1/700 qirath dan setetes jurtsumah ukurannya kurang lebih 1/3000 qirath.
(ولكن بيضة المرأة صغيرة جدا, وأصغرها۱\ ۰۲۱ من القيراط, وأكبرها ۱\ ۰۲ من القيراط, والمح لا يزيد عن ۱\ ۰۰٧من القيراط, والجرثومة التى أصل الإنسان ذرة من ذلك المح, كما يشاهد نظيرها فى مح البيض, قطرها ۱\۰۰۰۳ من القيراط)

Dari contoh tersebut dapat disimpulkan bahwa ketika Thanthawi menafsirkan kata tersebut dia menggunakan ilmu biologi, berbeda jauh dengan yang dipakai oleh Maraghi maupun Hijazi. Hal ini membuktikan bahwa memang corak yang dipakai oleh Thanthawi adalah corak bil 'ilmi, menafsirkan ayat-ayat al-Qur’an berdasarkan pendekatan ilmiah, atau menggali kandungannya berdasarkan teori-teori ilmu pengetahuan yang ada.
Namun yang perlu diingat adalah tidak ada ayat al-Qur'an yang bersifat ilmiah, karena al-Qur;an adalah wahyu dan kebenarannya berdifat mutlak. Sedangkan ilmu pengetahuan yang bersifat ilmiah kebenarannya bersifat relatif. Al-Qur'an bukanlah kitab ilmu melainkan kitab hudan bagi manusia. Tetapi petunjuk al-Qur'an ada yang berbentuk lafdzi, isyarat, kiasi dan yang tersurat berkenaan dengan ilmu pengetahuan guna mendukung fungsinya sebagai hudan.
KARAKTERISTIK
Kitab ini terdiri dari 13 jilid yang tersusun dari 26 juz. Kitab al-Jawahir ini ditulis berdasarkan urutan mushaf Utsmani. Sebelum menafsirkan surah al-Fatihah, Tanthawi terlebih dahulu merigutip surat Al-Nahl [16];89 dalam uraian "Kata Pendahuluan" (Mukaddimah). Berbeda dengan jilid kedua dan selanjutnya, di mana ia menjadikan ayat Al-Nahl [16]:44 sebagai 'motto' uraiannya. Hal itu sampai pada juz yang ke 25 saja, dan juz yang terakhir berisi pembahasan lain yang berisi tentang makna-makna yang terkandung dalam bismilah dan lain sebagainya.
Kitab ini memang sebuah terobosan baru dalam upaya penafsiran dengan menggunakan pendekatan ilmu pengetahuan. Jika kita lihat pada contoh, memang jauh sekali perbedaannya dengan tafsir al-Maraghi maupun tafsir al-Wadhih. Ini dikarenakan tafsir dengan pendekatan ilmu pengetahuan memang penjelasannya begitu rumit dan panjang sehingga tidak mudah untuk memahaminya, melainkan harus menguasai ilmunya.
Kitab ini juga dilengkapi gambar-gambar serta foto-foto untuk memperkuat argumentasinya dan menjadi media pelengkap ketika menjelaskan ayat-ayat al-Qur'an yang berhubungan dengan alam.



C. Penutup
Tidak ada metode tafsir yang terbaik, sebab masing-masing mempunyai karakteristik tersendiri, kekurangan dan kelebihan serta tergantung kebutuhan mufasir. Kalau kita ingin menuntaskan topik maka jawabnya ada pada metode tafsir mawdu’iy, namun bila kita ingin menerapkan kandungan suatu ayat dalam berbagai seginya maka jawabnya ada pada metode tahlily. Di samping itu, ketika kita ingin mengetahui pendapat para mufasir tentang suatu ayat atau surat sejak periode awal sampai periode moderen, maka metode yang tepat adalah muqarin, sedangkan ketika ingin mengetahui arti atau makna suatu ayat secara ringkas dan global, maka metode ijmaly-lah yang tepat.
DAFTAR PUSTAKA
Baidan, Nashruddin, Wawasan Baru Ilmu Tafsir, Yogyakarta, Pustaka Pelajar, 2005.

Ghofur, Saiful Amin ], Profil Para Mufasir al-Qur'an, Yogyakarta, Puataka Insan Madani, 2008.

Hijazi, Muhammad Mahmud, Tafsir al-Wadhih, jilid 3, Beirut, Dar al-Jil, 1993.

Jauhari, Thanthawi, al-Jawahir fi Tafsir al-Qur'an al-Karim, Beirut, Dar al-Fikr, t.th.

Al-Maraghi, Ahmad Mushthafa, Tafsir al-Maraghi Jilid 10, Beirut, Dar al-Fikr, t.th.

mutasyabih

KAJIAN TENTANG
AYAT-AYAT MUTASYABIH











Makalah Ini Disusun Guna Memenuhi Tugas
Mata Kuliah Ulumul Qur'an I

Dosen Pengampu : Masnukhin, S.Ag



Oleh:
Cholid Abdullah
NIM 30.06.4.1.002








JURUSAN USHULUDDIN/TH
SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI (STAIN)
SURAKARTA
2007

AYAT-AYAT MUTASYABIH

A. Pendahuluan
Allah menurunkan al-Qur’an kepada hambanya agar ia menjadi pemberi peringatan bagi semesta alam. Ia menggariskan bagi mahlukNya itu akidah yang benar dan prinsip-prinsip yang lurus dalam ayat-ayat yang tegas keterangannya dan jelas ciri-cirinya. Itu semua merupakan karuniaNya kepada umat manusia. Dimana ia menetapkan bagi mereka pokok-pokok agama untuk menyelamatkan akidah mereka dan menerang kanjalan lurus yang harus mereka tempuh.
Pokok-pokok agama tersebut dibeberapa tempat dalam al-Qur’an terkadang datang dengan lafaz, ungkapan dan uslub (gaya bahasa) yang berbeda-beda tetapi maknanya tetap satu. Maka sebagiannya serupa dengan sebagian yang lain tetapi maknnya cocok dan serasi. Tak ada kontradiktif didalamnya. Adapun mengenai masalah cabang (furu’) agama yang bukan masalah pokok, ayat-ayatnya ada yang bersifat umum dan samar-samar (mutasyabih) yang memberikan peluang bagi para mujtahid yang handal ilmunya untuk dapat mengembalikannya kepada yang tegas maksudnya (muhkam) dengan cara mengembalikan masalah cabang kepada masalah pokok.

B. Pembahasan
I. Definisi Mutasyabih
Mutasyabih menurut bahasa diambil dari kata masdar tasyabuh, yakni bila salah satu dari dua hal yang serupa dengan yang lain. Sedangkan Syubhah adalah keadaan di mana satu dari dua hal itu tidak dibedakan dengan yang lain karena ada kemiripan secara kongkrit ataupun secara makna.
Sedangkan secara istilah terjadi banyak perbedaan pendapat para ulama’ tentang definisi mutasyabih. Pertama, mutasyabih adalah ayat yang samar yang tidak diketahui maknanya baik secara akal maupun dengan nash, karena hanya Allah yang mengetahuinya. Pendapat ini disandarkan pada segolongan ulama hanafiah. Kedua, mutasyabih adalah ayat yang mengandung banyak makna. Pendapat ini banyak dipakai para ahli ushuluddin. Ketiga, mutasyabih adalah ayat yang tidak dapat berdiri sendiri tetapi butuh terhadap penjelasan, karena banyaknya perbedaan dalam penakwilannya. Pendapat ini diceritakan dari Imam Ahmad. Sedangkan menurut Fakhrurrozi mutasyabih adalah ayat yang dalilnya tidak kuat (marjuh), yaitu yang mengandung lafadz yang musytarok, mujmal dan mu’awwal.
Thabathaba’i mengemukakan dua pengertian yang berbeda antara golongan Sunni dan Syi’ah tentang mutasyabih. Menurut golongan Sunni, mutasyabih adalah ayat yang makna lahirnya berbeda dengan yang dimaksud, sedangkan makna hakikinya yang merupakan ta’wilnya tidak ada yang dapat mengetahui maknanya kecuali Allah. Menurut Syi’ah, hampir sama dengan Sunni, tetapi Rasulullah dan Ahlul Bait juga dapat mengetahui makna hakikinya dengan tepat.

II. Ruang Lingkup Mutasyabih
Apabila diamati secara seksama, maka akan dijumpai paling tidak tiga bentuk tasyabuh dalam ayat-ayat al-Qur’an, yaitu:
a. Tasyabuh dari segi lafadz saja.
Tasyabuh ini terbagi menjadi dua, yaitu:
1. Tasyabuh dalam kata-kata tunggal (mufrad) baik karena artinya yang asing, seperti الاب dan يزفّون, ataupun karena lafadznya memiliki arti yang banyak (isytirak), seperti اليد dan اليمين
2. Tasyabuh dalam kata-kata gabung (kalam murakkab). Tasyabuh ini terkadang timbul karena untuk menyingkat kalimat (ikhtisar),seperti:
وان خفتم الاّ تقسطوا فى اليتامى فانكحوا ماطاب لكم من النساء
atau untuk memperpanjang kalimat, seperti:ليس كمثله شيئ
atau karena susunan kalimatnya, seperti:
الحمد لله الذى انزل على عبده الكتاب ولم يجعل له عوجا * قيما
b. Tasyabuh dari segi makna saja
Tasyabuh dari segi makna ini seperti ayat-ayat yang menjelaskan tentang sifat-sifat Allah, keadaan hari kiamat, nikmat-nikmat surga, siksa-siksa neraka. Sifat-sifat ini tidak bisa digambarkan di dalam jiwa dan tidak disa dirasakan karena tidak ada yang pernah mengalaminya.
c. Tasyabuh dari segi lafadz dan makna
Berkata Imam Raghib al-Ishfahani bahwa tasyabuh ini terbagi atas lima bagian, yaitu:
1. Tasyabuh antara yang umum dan yang khusus, seperti: اقتلوا المشركين
2. Tasyabuh antara yang wajib dan yang sunnah, seperti:
فانكحوا ماطاب لكم من النساء
3. Tasyabuh karena faktor waktu, seperti ayat-ayat nasikh dan mansukh.
4. Tasyabuh karena lokasi dan peristiwa yang terjadi di dalamnya, seperti:
وليس البرّ بأن تأتوا البيوت من ظهورها
5. Tasyabuh antara syarat-syarat yang mensahkan sebuah perbuatan atau membatalkannya, seperti syarat sahnya sholat dan nikah.

III. Macam-macam Mutasyabih
Apabila kita teliti lebih jauh lagi, dari pengertian tentang ayat mutasyabih yang sudah diterangkan sebelumnya maka memungkinkan bagi kita untuk membagi ayat-ayat mutasyabih menjadi tiga macam, yaitu:
1. ayat mutasyabih yang mana manusia tidak akan bisa sampai pada pengetahuan yang sebenarnya. Seperti: pengetahuan tentang dzat Allah dan hakekat-hakekat sifat Allah, pengetahuan tentang waktu hari kiamat dan lain sebagainya dari hal-hal ghaib yang hanya Allah yang mengetahuinya.
2. ayat mutasyabih yang mana manusia mampu untuk mengetahuinya dengan jalan pembahasan dan pembelajaran. Seperti ayat yang tasyabuhnya timbul karena keijmalannya, karena panjangnya kalimat, karena susunan kalimat dan lain sebagainya.
3. ayat mutasyabih yang hanya diketahui oleh ulama’ khusus bukan seluruh ulama’. Berkata Imam Raghib al-Ishfahani bahwa ayat ini hanya diketahui oleh orang mendalam ilmunya (arrosikhuuna fil ‘ilmi) dan masih samar bagi selain mereka.

IV. Sikap Ulama’ Terhadap Ayat-Ayat Mutasyabih
Menghadapi ayat-ayat mutasyabih yang tergabung dalam tiga kategori di atas, para ulama’ mempunyai pendapat yang berbeda-beda, khususnya berkenaan dengan ayat-ayat tentang sifat Tuhan. Tetapi secara garis besar pendapat pendapat tersebut terbagi kedalam tiga kelompok juga, yaitu:
1. Madzhab Salaf
Madzhab ini disebut juga madzhab al-Mufawwidhoh. Mereka adalah golongan yang menyerahkan saj maknanya kepada Allah. Mereka menerima dan memercayai begitu saja secara apriori tanpa mau mempermasalahkan.
2. Madzhab Khalaf
Madzhab ini juga disebut madzhab al-Mu’awwilah. Pada periode Khalaf ini Ulama’ sudah mulai toleran dan berlapang dada dalam menghadapi pemikiran-pemikiran yang tumbuh berkenaan dengan pemahaman ayat-ayat mutasyabih. Golongan ini terbagi atas dua kelompok. Pertama dipelopori oleh Abu Hasan al-‘Asy’ari, yang menakwilkan ayat-ayat mutasyabih sesuai dengan sifat-sifat yang diterima (dari-Nya) tanpa diketahui maksudnya secara tegas (pasti).
Kelompok kedua menakwilkan ayat-ayat mutasyabih itu sesuai dengan makna atau sifat-sifat yang dimaklumi manusia. Dengan demikian kelompok ini berusaha memalingkan makna yang terkandung dalam ayat-ayat mutasyabih kepada makna yang dipahami manusia, tetapi pantas dengan keagungan Allah ditinjau dari segi logika dan agama. Imam Haramain pernah menganut pendapat ini, tetapi kemudian ia menarik kembali pendapatnya itu dan berkata dalam Risalah al-Nizhamiyah: “Pendapat yang memuaskan kita secara religius dan dengan berpegang kepada agama Allah ialah mengikuti pendapat ulama’ salaf, di mana mereka berusaha menghindar dari pemberian interpretasi terhadapnya (ayat-ayat mutasyabih)”.
3. Madzhab al-Mutawassithun
berkata Imam Assuyuthi bahwa Ibn Daqiq al-‘Iid menganut madzhab ini dan berkata: “Bila penakwilan itu dekat dengan pemahaman bahsa Arab tak dapat diinkari (keberadaannya), tetapi bila jauh, maka tidak bisa menerima dan kita harus mengimani makna yang dikandungnya sekaligus mensucikan Allah sehingga tidak serupa dengan makhlukNya”.

V. Hikmah Adanya Ayat-Ayat Mutasyabih
Seperti telah kita ketahui bahwa macam-macam ayat-ayat mutasyabih terbagi menjadi tiga, maka dapat kita bagi hikmah yang terkandung dalam ayat-ayat mutasyabih menjadi dua kriteria.
1. Hikmah yang terkandung dalam ayat-ayat mutasyabih yang takwilannya hanya diketahui oleh Allah (jenis yang pertama).
• sebagai rahmat Allah terhadap manusia yang lemah yang tidak mampu mengetahui hakikat segala sesuatu.
• sebagi ujian dan memberi kabar bagi manusia apakah mereka percaya dengan yang ghaib sebagi bentuk kepercayaan terhadap Nabi atau tidak.
• memperjelas dalil atas kelemahan dan kebodohan manusia serta menjadi saksi atas kekuasaan Allah yang luar biasa.
• karena yang menjadi tujuan al-Qur’an adalah mengikat hubungan manusia dengan Allah, maka ikatan ini tidak mungkin terjadi kecuali dengan mengguyurkan topik-topik yang ada kaitannya dengan alam ghaib sehingga menjadi motifasi bagi manusia untuk melangkah lebih jauh ke alam tempat ia akan bergerak ke sana.
2. Hikmah yang terkandung dari ayat-ayat mutasyabih yang takwilannya diketahui oleh Allah dan orang-orang tertentu (jenis yang kedua dan ketiga).
• menguatkan tentang mukjizat al-Qur’an.
• sebagaimana dikatakan Imam Fahrur Razi bahwa ketika ayat-ayat mutasyabih itu ada maka untuk sampai pada pengetahuan yang hakiki membutuhkan pemikiran yang lebih sulit dan lebih sukar. Dan semakin bertambah sukar maka semakin bertambah pula pahalanya.
• menujukkan keutamaan dan selisih derajat bagi orang yang berkecamuk dengan masalah ini dengan orang lain. Karena kalau al-Qur’an itu muhkam semua tentulah tidak butuh takwil dan pengamatan sehingga kedudukan manusia itu sama dan tidak tampak keutamaan orang yang Alim dengan yang lain.
• al-Qur’an sengaja membuka akal manusia dengan masalah-masalah baru, seperti masalah-masalah alam, manusia, konsep-konsep ghaib supaya ia bisa memecahkan hakikat dan menyingkapkan misterinya yang masih gelap, atau mendekatinya sesuai dengan pengetahuan.

VI. Urgensi Mempelajari Ayat-Ayat Mutasyabih
Apabila direnungkan lebih mendalam eksistensi ayat-ayat mutasyabih dalam al-Qur’an maka akan terasa bahwa kedudukannya sangat strategis dan teramat penting. Hal ini terutama dalam rangka mengembangkan potensi akal budi dan nalar pikiran. Dengan adanya ayat-ayat mutasyabih yang kurang terang pemahamannya, maka para ulama, pakar ilmuwan an sebagainya berusaha mengerahkan segenap kemampuan daya pikir dan zikir mereka untuk mengetahui makna-makna yang terselubung di balik ungkapan yang samara-samar itu.
Dengan demikian, terjadilah usaha-usaha yang kreatif dan inovatif secara berkesinambungan untuk mencapai suatu cita-cita. Kondisi inilah kemudian yang membuat peradaban Islam berkembang sebagaimana tercatat dalam sejarah dunia, khususnya pada abad-abad pertengahan yang terkenal dengan zaman keemasan Islam.
Memang perkembangan peradaban sebagaimana digambarkan itu bukan disebabkan semata-mata oleh adanya ayat-ayat mutasyabih, tapi sebagai pendorong pertama untuk memotivasi para ulama agar menggunakan nalar mereka, hal ini tak dapat dilepaskan dari pengaruh adanya ayat-ayat mutasyabih itu. agaknya inilah peranan penting yang patut dicatat dari keberadaan ayat-ayat mutasyabih itu dalam al-Qur’an.

C. Penutup
Setelah diuraikan lebih lanjut sebelumnya, maka tampak jelaslah bahwa ayat-ayat yang terkandung di dalam al-Qur’an (walaupun masih terjadi perbedaan pendapat para ulama’) terbagi ke dalam dua kriteria, yaitu muhkam dan i apapun itu pengertiannya. Di mana keduanya ini saling mendukung dan melengkapi.
Perbedaan di kalangan para ulama’ janganlah dijadikan alasan untuk saling menguatkan pendapat golongan masing-masing. Tapi yang lebih penting perbedaan itu merupakan keunikan tersendiri di dalam dunia Islam dan hendaknya dijadikan sebagai tonggak untuk menggali lebih dalam lagi al-Qur’an, terutama di abad modern ini, dan adanya ayat-ayat mutasysbih justru lebih menguntungkan bagi umat Islam karena di dalamnya masih banyak rahasia yang belum terungkap. Wallahu a’lam.

D. Referensi
1. Jalaluddin Asssuyuthi, al-Itqan fii Uluum al-Qur’an, Kairo, Dar al-Fikr, Juz II, 1951.
2. Mannaa’ al-Qaththaan, Mabaahis fii ‘Uluum al-Qur’an, Beirut, Er-Risalah, 1997.
3. M. Baqir Hakim, Ulumul Quran, Al-huda, Jakarta, 2006.
4. Muhammad ‘Abd al-‘Azhim al-Zarqoni, Manaahil al-‘Irfan fii ‘Ulum al-Qur’an, Dar El-Fikr, Juz II, t.th.
5. Muhammad Chirzin, Al-Qur’an dan Ulumul Qur’an, PT Dana Bhakti Prima Yasa,Yogyakarta, 1998.
6. Nashruddin Baidan, Wawasan Baru Ilmu Tafsir, Yogyakarta, Pustaka Pelajar, 2005.

Al-Qur'an

ORISINALITAS AL-QUR'AN


PENDAHULUAN
Allah SWT telah memuliakan umat Muhammad dengan menurunkan kepada mereka sebuah kitab yang dapat dipakai untuk melemahkan argumen-argumen orang yang menentangnya, sebagai akhir dari kitab-kitab samawi, agar kitab tersebut dapat digunakan sebagai undang-undang bagi kehidupan mereka, sebagai obat dari kebingungan-kebingungannya serta sebagai penyembuh dari penyakit-penyakit mereka. Dan kitab tersebut bernama al-Qur’an yang telah diturunkan kepada nabi Muhammad SAW sebagai petunjuk bagi manusia.
Al-Quran adalah sumber dari segala sumber hukum Islam yang berlaku ditengah masyarakat. Karena al-Qur’an langsung diturunkan oleh Allah SWT. Itu berarti bahwa setiap perumusan hukum haruslah mengacu pada al-Qur’an terlebih dahulu. Andaikan tidak ditemukan di dalam al-Qur’an, barulah mengacu pada al-Hadits dan lain sebagainya sesuai dengan tingkatannya masing-masing.

PEMBAHASAN
Keotentikan al-Qur'an dapat dilihat dari segi-segi berikut :
1. Proses Turunnya Al-Qur'an
Al-Qur'an diturunkan dua kali. yang pertama : diturunka dari lauhul mahfut ke langit dunia ( dalam satu waktu ) pada malam lailatul qodar.kedua, di turunkan dari langit dunia ke bumim secara beransur-ansur selama dua tiga tahun, adapun turunnya turunnya Al-qur'an yang pertama terjadi pada malam yang penuh berkah, malam lailatil qodar, secara sempurna ke langit dunia yang dinamakan baitul 'Izzah, banayk sekali ayat-ayat Al-qur'an yang menunjukan kejadian tersebut. ( lihat surat Ad-Dukhon 1-3; surat Al-qodar 1-2; surat al-BAqoroh 185 ).
2. Penulisan Al-Quran
Kerinduan nabi terhadap kedatangan tidak saja diekspresekan melalui hafalan, tetapi juga dalam bentuk tulisan, nabi memilki sekretaris pribadi yang khusus bertugas mencatat wahyu, yaitu Abu Bakar, Umar, Ustman, Ali, Abban bin Said, kholid bin Al- Walid, dan Muawwiyah bin Abi Sofyan. proses penulisan Ali-Qur'an pada masa nabi sungguh sangat sederhana, mereka menggunakan alat tulis sederhana dan berupa lontaran kayu, pelepah kurma, tulang belulang, dan batu.
kegiatan tulis menulis qur'an pada masa nabi di samping dilakukan oleh para sekretaris nabi juga dilakukan oleh para sahabat lainnya, kegiatan itu di dasarkan pada hadist nabi sebagaimana yang telah diriwayatkan oleh Muslim yang berbunyi:


Artinya : janganlah kamu menulis sesuatu yang berasal dariku, kecuali Al-Qur'an. barang siapa telah menulis dariku selain Al-Qur'an hendaklah dia menghapusnya ( HR. Muslim ).
faktor yang mendorong penulisan al-Qur'an pada masa nabi adalah :
1. pembukuan hafalan yang telah dilakukan oleh nabi dan para sahabatnya.
2. mempresentasikan wahyu dengan cara yang paling sempurna.
Hal ini karena hafalan para sahabat saja tidak cukup, terkadang mereka lupa ataub sebagian dari mereka ada yang sudah wafat. adapun tulisan akan tetap terpelihara walaupun pada masa nabi, penulisan Al-Qur'an tidaklah pada satu tempat.
uraian diatas memperlihatkan bahwa pada masa nabi Al-Quran tidak di tulis pada satu tempat, melainkan pada tempat terpisah-pisah. hal ini berdasarkan dua alasan berikut ini :
1. proses penurunan Al-Qur'an masih berlanjut, sehingga masih ada kemungkinan ayat yang tureun belakangan " menghapus " redaksi dan ketentuan hukum ayat yang sudah turun terdahulu.
2. penyusunan ayat dan surat Al-Qur'an tidak bertolak dari kronologi turunnya, tetapi bertolak dari keserasian antara satu ayat dengan ayat lainnya, atau antara satu surat dan surat lainnya. terkadang ayat atau surat yang turun belakangan di tulis lebih dahulu ketimbang ayat atau surat yang turun terlebih dahulu.
3. Penulisan al-Qur'an
a) Penulisan al-Qur'an pada masa Abu Bakar Assidiq
pada dasarnya, seluruh Al-Qur'an sudah di tulis pada masa nabi hanya saja, surat dan ayatnya masih terpencar-pencar, dan orang pertama kali yang menyusunnya dalam mushaf adalah Abu bakar Assidiq, Abu Abdillah Al-Muhasubi. berkata dalam kitabnya, fahm sunah, penulisan Al-Qur'an bukanlah sesuatu yang baru, sebab Rosul sendiri pernah memerintahkannya. hanya saja, saat itu penulisa Al-Qur'an terpencar-pencar pada pelepah kurma, batu halus, kulit, tulang unta dan bantalan dari kayui. Abu bakarlah yang kemudian berinisiatuf menghimpun semuanya.
usaha pengumpulan Al-Qur'an yang di lakikan Abu BAaakar setelah perang yamamah pada tahun 12 H. peperangan yang bertujuan menuntas para pemurtad yang merupakan pengikut mesailamat Al-kaddab yang telah menyebabkan 70 orang sahabat penghafal Al-Q ur'an mati Syahid, khawatir akan hilangnya para penghafal Al-Qur'an yang mengancam kelestarian Al-Qur'an, Umar menemui kholifah pertama Abu bakar dan memintanya menginstrusikan pengumpulan Al-Qur'an dari berbagai sumber, baik yang tersimpan dalam hafalan maupun tulisan.
Zait bin sabit salah seorang sekertaris Nabi, berdasarkan riwayat Al Bukhori (kitab fadoil Al Quran, bab 3 dan 4: kitab Al Ahkam, bab XXXVII), mengisahkan bahwa setelah peristiwa berdarash yang menimpa sekitar 70 orang penghafal Al Quran, yang di panggil Abu Bakar. turut hadir dalam pertemuan itu Umar bin Khattab. dalam pertemuan itu, Abu Bakar mengatakan umar telah mendatangiku dan mengatakan bahwa peperangan yamamah telah berlangsung sengit dan meminta korban sejumlah qori Al Quran.
b) pada masa Usman bin Affan
Hadist Nabi yang diriwayatkan Al Bukhori, tentang alasan untuk menetapkan bentuk Al Quran, menyiratkan terjadinya perbedaan-perbedaan serius di berbagai wilayah dalam qiraat ( cara membaca ) Al Quran yang terdapat dalam salinan -salinan Al Qurean pada masa Usman Bin Affan.
4. Penyempurnaan dan pemeliharaan al-Qur'an
Sepeninggal Utsman, mushaf al-Qur'an belum diberi tanda baca seperti baris (harakat) dan tanda pemisah ayat. karena daerah kekuasaan Islam semakin berbagai penjuru yang berlainan dialek dan bahasanya, dirasa perlu adanya tindakan preventif dalam memelihara umat dari kekeliruan membaca dan memahami al-Qur'an.
Upaya tersebut baru terealisir pada masa khalifah Muawiyah bin Abi Sufyan (40-60 H) oleh Imam Abu al-Aswat al-Duali, yang memeberi harakat atau baris yang berupa titik merah pada muahaf al-Qur'an.
5. Tantangan al-Qur'an
Bagaimanapun pintarnya akal manusia, jelas tidak akan mampu mennyusun kitab yang demikian rapi dan sistematis dalam kopndisi sangat bersahaja tersebut. Di sinilah terletak kemukjizatan al-Qur'an yang tak dapat ditandingi oleh siapapun dalam penyusunannya.tak sorang pun menyusun sebuah kitab yang rapi yang entrinya terpencar-pencar dalam berbagai material selama lebih dari 20 tahun. Sebagaimana tersurat dalam surat al-Baqarah ayat 23:

(Dan jika kalian masih dalam keraguan tentang al-Qur'an yang kami turunkan kepada hamba Kami, maka kemukakan oleh kalian sebuah surat dari semisal al-Qur'an dan ajaklah penolong-penolong kalian selain Allah, jika kalian benar) .
6. Kandungan Al-Qur'an
Kandungan al-Qur'an memuat beberapa ilmu yang tidak mungkin diketahui oleh seorang Ummiy (nabi Muhammad) yang tidak pandai membaca dan menulis. Al-Qur'an mengandung realitas ilmiah tentang kejadian bumi dan langit, juga mengandung kisah-kisah orang terdahulu yang sudah dibuktikan oleh sejarah maupun yang belum. Ini membuktikan bahwa al-Qur'an benar-benar dari Allah dan masih otentik sampai sekarang.
7. Janji Allah
Allah telah berjanji di dalam al-Qur'an dalam surat al-Hijr ayat 9 yang berbunyi :

( Sesungguhnya Kami-lah yang menurunkan Al Quran, dan sesungguhnya Kami benar-benar memeliharanya ).
Ayat ini memberikan jaminan tentang kesucian dan kemurnian Al Quran selama-lamanya.
PENUTUP
Al-Qur'an mempunyai multifungsi, selain berisi pelajaran yang amat berharga juga berfungsi mengokohkan akidah tauhid dan sekaligus menentramkan jiwa serta menetapkan pendirian dalam berjuang, bahkan dapat pula berfungsi sebagai penghibur jiwa dan pelipur lara, terutama bila berhadapan dengan tantangan yang keras dari umat dan penolakan mereka.
Dengan al-Qur’an kita dapat mencapai hidup bahagia yang sempurna di dunia untuk bekal akherat kelak. Dan dengan al-Qur’an pula kita menentukan jalan hidup yang berlainan dari yang lain dan mencapai keridlaan Allah semata.karena itu wajib bagi kita untuk selau berpegang teguhkepada hukum-hukum yang telah dikeluarkan oleh al-Qur’an.

REFERENSI
1. M. Abu Zahrah, Ushul Fiqhi, (Kairo: Dar al-Fikr al-Arabiy).
2. Muhammad ‘Ali al- shobuny, Al tibyan fi ,ulumil Qur’an, (Damaskus: Dar al Qolam,1408 H).
3. Muhammad bin Abu Sya'bah, Al-Madkhol lin dirasat Al-Qqur'an Al-Karim, Maktabah sunnah, kairo, 1992.
4. Nashruddin Baidan, Wawasan Baru Ilmu Tafsir, Yogyakarta, Pustaka Pelajar, 2005.

Tafsir al-Qurthubi

TAFSIR AL-QURTHUBI

A. Pendahuluan

Tafsir Al Qurthubi biasa juga disebut dengan "Al Jami'u Li Ahkamil Qur'an", karya Imam Abu Abdullah Al Qurthubi (w. 671 H).
Sesuai dengan namanya tafsir ini menafsirkan semua ayat-ayat Al Qur'an, bedanya dengan kitab-kitab tafsir lain ia konsenterasi menafsirkan secara khusus ayat-ayat yang mengandung hukum di dalam Al Qur'an.
Tafsir ini merupakan salah satu kitab tafsir terbaik yang menafsirkan ayat-ayat hukum di dalam Al Qur'an, merupakan kitab tafsir langkah dibidangnya.

B. Pembahasan
a. Biografi pengarang tafsir al-Qurthubi
Al-Qurthubi adalah Ulama besar seorang faqih besar dan mufassir (ahli tafsir al-Qir'an) dari abad ke- 7 H yang terkenal, sebagai hamba Allah yang saleh dan warak. Nama lengkapnya adalah Abu Abdillah Muhammad bin Ahmad bin Abi Bakr bin Farh al-Anshari al-Khazraji al-Andalusi al-Qurthubi. Ia termasuk ulama fikih besar yang memiliki kearifan dan wawasan luas. Ia berperilaku zuhud (tidak menjadikan kesenangan dan kemewahan dalam hidup keduniaan sebagai cita-cita, harapan , dan dambaan). Untuk menggambarkan kezuhudan, para penulis biografinya menyebutkan bahwa Imam Al-Qurthubi senantiasa meninggalkan atau menghindari kesenangan duniawi. Ketika ia berjalan, ia merasa cukup dengan hanya mengenakan sehelai kain dan kopyah.
Dari buku tafsirnya banyak diketahui pemikirannya tentang hukum , sebagai seorang Ulama' al-Qurthubi termasuk fakih dari golongan madzhab "Maliki". Ia meninggalkan sifat fanatisme jauh-jauh serta serta menghargai setinggi-tingginya perbedan pendapat. Imam al-Qhurthubi tidak senantiasa sependapat dengan imam madzhabnya dan ulama' lain baik didalam maupun diluar madzhabnya.
b. Latar Belakang Penulisan Tafsir al-Qurthubi
Berangkat dari pencarian ilmu dari para Ulama' (seperti Abu al-Abbas bin Umar al-Qurthubi Abu al-Hasan bin Muhammad bin Muhammad al-Bakhri), kemudian Imam al-Qurthubi diasumsikan berhasrat besar untuk menyusun kitab Tafsir yang jiga bernuansa fiqh dengan menampilkan pendapat imam-imam madzhab fiqh dan juga menampilkan hadis yang sesuai dengan masalah yang dibahas. Selain itu kitab tafsir yang telah ada sedikit sekali yang bernuansa fiqh. Karena itulah Imam al-Qurthubi menyusun kitabnya, dan ini akan mempermudah masyarakat, karena disamping menemukan tafsir beliau juga akan mendapatkan banyak pandangan imam madzhab fiqh, hadis-hadis Rasulullah saw maupun pandangan para Ulam' mengenai masalah itu.
Imam Adz-Dzahabi pernah berkata, "Al Qurthubi telah mengarang sebuah kitab tafsir yang sangat spektakuler".
Diantara kelebihanya.
1. Menghimpun ayat, hadits dan aqwal ulama pada masalah-masalah hukum. Kemudian beliau mentarjih salah satu di antara aqwal tersebut
2. Sarat dengan dalil-dalil 'aqli dan naqli
3. idak mengabaikan bahasa Arab, sya'ir Arab dan sastra Arab.
Diantara kekurangannya:
1. Banyak mencantumkan hadits-hadits dha'if tanpa diberi komentar (catatan), padahal beliau adalah seorang muhaddits (ahli hadits)
2. Penulis menta'wil beberapa ayat yang berbicara tentang sifat Allah SWT.
c. Bentuk Penafsiran al- Qurthubi
Tafsir Al Qurthubi biasa juga disebut dengan "Al Jami'u Li Ahkamil Qur'an", kitab yang saya teliti ini adalah kitab yang diterbitkan oleh penerbit "Dar al-Kutub al-Ilmiah", Bairut, Lebanon tahun 1413-1993 H.. kitab ini tersiri dari 10 jilid dan seriap jilid ada 2juz, jadi jumlahnya ada 20 juz tafsir ini lengkap 30 juz.
Bentuk penafsiran al-Qurthubi bi al-Ma'tsur (periwayatan). Karena kebanyakan dalam penafsirannya menampilkan hadis-hadis nabi dan bahkan sebelum al-Qurthubi mengambil keputusan atau hasil dari ayat-ayat yang akan ditafsirkan beliau mengemukakan pendapat para ulama.
Sesuai dengan namanya tafsir ini menafsirkan semua ayat-ayat Al Qur'an, bedanya dengan kitab-kitab tafsir lain ia konsenterasi menafsirkan secara khusus ayat-ayat yang mengandung hukum di dalam Al Qur'an.
Tafsir ini merupakan salah satu kitab tafsir terbaik yang menafsirkan ayat-ayat hukum di dalam Al Qur'an, merupakan kitab tafsir langkah dibidangnya.
d. Methode Penafsiran al-Qurthubi
Al Qurthubi menjelaskan metode yang dipergunakan dalam tafsir-nya, antara lain : menjelaskan sebab turunnya ayat, menyebutkan perbedaan bacaan dan bahasa serta menjelaskan tata bahasanya, mengungkapkan periwayatan hadits, mengungkapkan lafaz-lafaz yang gharib di dalam Al Qur'an, memilah-milih perkataan fuqaha, dan mengumpulkan pendapat ulama salaf dan pengikutnya.
Dan argumentasi-argumentasinya banyak dikuatkan dengan sya'ir arab, mengadopsi pendapat-pendapat ahli tafsir pendahulunya setelah menyari dan mengomentarinya, seperti Ibnu Jarir, Ibnu Athiya, Ibnu al Arabi, Ilya Al Harasi, Al Jasshash. Al Qurthubi juga dalam metode penafsirannya menconter kisah-kisah ahli tafsir, riwat-riwat ahli sejarah dan periwayat-periwayat israiliyat, sekalipun banyak juga mengambil dari sisi-sisi itu dalam tafsirnya. Dan ia juga menantang pendapat-pendapat filosof, mu'tazila dan sufi kolotan serta aliran-aliran lainnya.
Ia menyebutkan pendapat-pendapat ulama mazhab dan mengomentarinya, ia juga tidak ta'assub dengan mazhab Malikianya. Sebaliknya Al Qurthubi terbuka dalam tesisnya, jujur dalam argumentasinya, santun dalam mendebat musuh-musuhnya dengan penguasaan ilmu tafsir dan segala perangkapnya, serta penguasaan ilmu syariat yang mendalam.
Metode pembahasannya merupakan kepiawaian dan posisinya dibisang tefsir dan pengambilan hukum dari ayat-ayat al-Qur'an sebagai sumber pertama humum Islam. Adapun metode yang dipakaidalam menafsirkan ayat-ayat al-Qer'an yakni metode tematik atau maudhu', karena sisitematikanya dalam melakukan penafsiran terhadap ayat al-Qur'an dengan menjelaskan kosa kata yang rumit.
d. Corak Penafsiran Tafsir al-Qurthubi
Imam al-Qurthubi dalam menafsirkan alQur'an ad salah satu yang dominan yaitu banyak menonjolkan masalah fiqh jadi corak penafsirannya adalah khusus, atau juga bisa disebut dengan corak fiqhi yaitu corak tafsir yang berorientasimasalah fiqh. Karena banyak sekali pemikiran fiqh Imam al-Qurthubi didalam kitab tafsirnya, yang pada umumnya beliau mengemukakan pemikirn fiqh ketika beliau menyimpulkan pendapat-pendapat ulama' tentang suatu masalah.
Contohnya dalam surt al-Maidah ayat 5:
والمحصنات من الذين أوتوا الكتاب من قبلكم إذا اتيتمو هنّ أجورهنّ.........( الماءدة :۵)
قوله تعالى : "والمحصنات"....... والتحصن: التمن : ومنه الحصن لأ نه يمتنع فيه, ومنه قوله تعالى : "وعلمناه صنعة لبوس لكم لتحصنكم من بأسكم " (الانبياء: ٧۰) اى لتمنكم , ومنه الحصان للفرس (بكسر الحاء) لانه يمنع صاحبه من الهلاك . والحصان (بفتح الحاء) : المرأة العفيفة لمنعها نفسها من الهلاك. وحصنت المرأة تحصن فهى حصان.
وروي عن ابن عباس فى قوله تعالى : "والمحصنات من الذين أوتوا الكتاب ". هو على العهد دون دار الحرب فيكون خاصا. وقال غيره : يجوز نكاح الذمية والحربية لعموم الاية. وروى عن ابن عباس انه قال: "المحصنات " العفيفات العاقلات. وقال الشعبى : هو أن تحصن فرجها فلا نزنى, وتغتسل من الجنابة. وقرأ الشعبى "والمحصنات" بكسر الصاد, وبه قرأ الكسائ. وقال مجاهد: "المحصنات" الحرائر , قال أبو عبيد : يذب الى أنه لا يحل نكاح إماء أهل الكتاب, لقوله تعالى: " فمن ما ملكت أيما نكم من فتياتكم المؤمنات" (النساء : ۲۵) وهذا القول الذى عليه جلة العلماء.
(المحصنات) ……..al-tahashun adalah sesuatu yang terpelihara dan tejaga baik: dari akar kata ini diambil kosa kata al-hisn (benteng) karena dengan benteng itu orang dapat bertahan dan selamat. Dalam konteks ini Allah berfirman: "Dan kami mengajarinya (Nabi Dawud) membuat baju besi agar dapat menyelamatkan kau dalam pertempuran" (al-Anbiya': 80) artinya dengan berbaju itu kamu menjadi terpelihara dan terjaga (dari cidera dalam pertempuran). Lafal al-hishan (dengan huruf ha' berbaris dibawah الحيصان) yang berarti kuda jantan juga berasal dari akar kata ini karena kuda memang dapat mencegah pemiliknya dari kecelakaan. Tapi al-hashan (dengan huruf ha' berbaris diatas الحصان) berarti al-afifat (perempuan baik-baik) karena kepribadianny yang baik itu dpat menjaga darinya kehancuran. Perempuan yang pandai menjaga dirinya akan selalu terpelihar sehingga dia menjadi seorang yang terpelihara baik
Diriwayatkan dari Ibnu Abbas berkenaan dengan firman Allah (san perempuan baik-baik dari mereka yang telah diberi kitab) yaitu mereka yang m,empunyai perjanjian damai dengan pemerintahan Islam bukan yang berada diwilayah perang; jadi ayat itu berkonotasi khusus, (tidak umum bagi semua perempuan kaafir). Tapi ada yang berpendapat bahwa konotasi ayat itu umum pada senua perempuan kafir, baik yang zimmiyah, maupun yang harbiyat.
Dari contoh penafsiran ayat diatas Bentuk penafsiran al-Qurthubi bi al-Ma'tsur (periwayatan). Karena kebanyakan dalam penafsirannya menampilkan hadis-hadis nabi dan bahkan sebelum al-Qurthubi mengambil keputusan atau hasil dari ayat-ayat yang akan ditafsirkan beliau mengemukakan pendapat para ulama.
Kita badingkan penafsiran tersebtu dengan kitab yang sama coraknya yaitu fiqh, kita bendingkan dengan kitabTafsir Ahkam al-Qur'an al-Jashshsash didalam kitab al-Jashshash:
Kata Abu bakar, terdapat bergam pendapat ulama' tentang konotasi kosakata al-mushshanat dalam ayat ini. Diriwayatkan dari al-Hasan, al-Sy'bi, Ibrahim, dan al-Euddi, bahw yang dimaksud dengannya adalah: "perempuan-perempuan baik-baik", makna serupa juga ditampilkan oleh sebuah riwayat Umar; Yakni Hadis yang diampaikan oleh ja'far bin Muhammad bin al-Yaman; dari al-Shalt bin Bahram; dari Syaqiq bin Salamat; katanya; Hudzaifah pernah mengawini seorang perempuan Yahudi; lalu Umar menulis surat kepadanya agar dia menceraikannya: Apakah Haram hukumnya mengawininya? 'Umr menjawabnya: tidak, akan tetapi saya khawatir kalian terjebak mengawini wanita-wanita bejat diantara nereka, kata Abu Ubayd yakni pezina.
Dalam dua kitab ini yakni al-Qhurthubi dan al-Jhashshash mempunyai meethide corak yang sama akan tetapi yang membedakan keduanya adlah pemikiran mereka ya'ni Al-Qhurthubi menganut madzhab Maliki dan al-Jhashshash pemikirannya bermadzhab Hanbali.
C. Penutup
Al Qurthubi juga dalam metode penafsirannya menconter kisah-kisah ahli tafsir, riwat-riwat ahli sejarah dan periwayat-periwayat israiliyat, sekalipun banyak juga mengambil dari sisi-sisi itu dalam tafsirnya. Dan ia juga menantang pendapat-pendapat filosof, mu'tazila dan sufi kolotan serta aliran-aliran lainnya.
Ia menyebutkan pendapat-pendapat ulama mazhab dan mengomentarinya, ia juga tidak ta'assub dengan mazhab Malikianya. Sebaliknya Al Qurthubi terbuka dalam tesisnya, jujur dalam argumentasinya, santun dalam mendebat musuh-musuhnya dengan penguasaan ilmu tafsir dan segala perangkapnya, serta penguasaan ilmu syariat yang mendalam.
Kitab tafsir ini istimewa dari kitab-kitab tafsir ahkam Al Qur'an sebelumnya karena tidak terbatas menafsirkan ayat-ayat hukum dan persoalan fiqhi saja, tetapi lebih dari itu tafsir ini mencakup semua aspek tafsir. Kitab ini sangat dibutuhkan oleh dunia intelektual dan cendekia-cendekia muda.
D. Daftar Pustaka
Baidddan, Nashruddin, Wawsan Baru Ilmu Tafsir (Yogyakarta Pustaka Pelajar, 2005) h. 404.

Adz-Dzahabi, Muhammad Husain, Al-Tafsir wa Al-Mufassirun, Kairo, Maktabah Wahbah; juz 2: 2000. h. 336

Ensiklopedi Islam, dewan Redaksi, Ensiklopedi Islam (Jakarta, Ikhtiar Baru Van Hoeve, cet 4, th 1997) juz 5, h. 1464

http://ahperpus.multiply.com/reviews/item/5
(http://www.tafsir.org/vb/showthread.php?t=6418
http://bukukuningku.blogspot.com/2006/12/tafsir-al-qurthubi_24.html

Al-Jashshash, Ahkam al-Qur'an, ed. 'Abd al-Salam Syahin, al-'Ilmiyyat, II, cet. Ke-I, 1994, h. 408.

al-Qurthubi , Abu Abdillah Muhammad bin Ahmad al-Anshari , Al-Jami' li Ahkam al-Qur'an (Bairut: dar al-Kutub al-Ilmiah th. 1413-1993 H)